Media Asuransi, JAKARTA – Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan Selasa (5/7). Namun setelahnya, rupiah berfluktuasi, bolak balik di zona hijau dan merah.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka rupiah langsung menguat 0,1% ke Rp 14.950/US$. Setelahnya, rupiah berbalik melemah tipis 0,07% ke Rp 14.975/US$. Rupiah bolak balik di kisaran level tersebut hingga pukul 9:05 WIB.
Baca juga: Heboh Selewengkan Dana Kemanusian, Ini Dia Sosok Dibalik Pemilik ACT
Tekanan yang dialami rupiah belakangan ini juga menjadi perhatian Bank Indonesia (BI). Gubernur BI, Perry Warjiyo memberikan sinyal akan mengeluarkan kebijakan baru dalam menyikapi perkembangan ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan mempengaruhi kondisi dalam negeri.
Hal ini disampaikan Perry dalam siaran pers yang diterbitkan Senin (4/7). Sederet ketidakpastian global ditandai dengan risiko stagflasi seiring kenaikan suku bunga kebijakan secara global di tengah ekonomi yang baru pulih, serta makin luasnya kebijakan proteksionisme oleh berbagai negara.
“Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik, merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan stabilitas keuangan, termasuk penyesuaian lebih lanjut stance kebijakan bila diperlukan, serta terus memperkuat sinergi dengan Pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional,” jelasnya.
Baca juga: Fitch Afirmasi Peringkat XL Axiata (EXCL) BBB Outlook Stabil
Kalimat “penyesuaian lebih lanjut stance” bisa menjadi indikasi BI mulai mempertimbangkan menaikkan suku bunga guna menjaga stabilitas rupiah, serta inflasi yang mulai menanjak.
Pada bulan Juni inflasi tercatat tumbuh 4,35% year-on-year (yoy), tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Tetapi kenaikan inflasi inti tidak setinggi inflasi headline, sebesar 2,63% (yoy).
Hal ini bisa menjadi indikasi daya beli masyarakat yang lemah, dan data indeks keyakinan konsumen (IKK) yang akan dirilis pekan ini menjadi perhatian pelaku pasar.
Pada bulan lalu BI merilis hasil Survei Konsumen. Hasilnya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Mei 2022, yang bertepatan dengan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri, berada di 128,9. Naik tajam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 113,1 dan menjadi rekor tertinggi.
IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Jika di bawah 100, maka artinya konsumen pesimistis memandang prospek perekonomian saat ini hingga enam bulan mendatang.
Dengan inflasi yang meninggi bulan lalu, tentunya akan berdampak pada keyakinan konsumen. Jika menunjukkan penurunan maka akan menjadi kabar yang kurang bagus.
Sebab, semakin tinggi IKK, konsumen cenderung akan semakin banyak belanja yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Begitu juga sebaliknya.
Belanja rumah tangga merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) berdasarkan pengeluaran, dengan porsi mencapai 53,65% di kuartal I-2022.
Ketika konsumen mengurangi belanjanya, maka akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Apalagi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jabodetabek kembali dinaikkan menjadi level 2, yang tentunya bisa lebih membatasi kegiatan masyarakat. Aha
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News