1
1

Saat Ini Indonesia Lebih Siap Hadapi Kenaikan Suku Bunga di AS 

The Fed. | Foto: Ist

Media Asuransi, JAKARTA – Normalisasi pertumbuhan ekonomi dan normalisasi kebijakan moneter menjadi tema utama pasar global di tahun ini. Kenaikan massif pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat di 2021 yang disertai oleh kenaikan inflasi mendorong bank sentralnya (The Fed) untuk melakukan penyesuaian kebijakan moneter. Fundamental makro ekonomi Indonesia sangat baik dan lebih siap dalam menghadapi potensi kenaikan suku bunga di AS.

“Arah kebijakan The Fed terlihat semakin hawkish, mempercepat laju tapering menjadi USD30 miliar per bulan (USD20 miliar US Treasury dan USD10 miliar Agency Mortgage-Backed Securities) dari sebelumnya hanya USD15 miliar per bulan,” kata Senior Portfolio Manager Fixed Income, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Syuhada Arief, dalam keterangan resmi yang dikutip Media Asuransi, Selasa, 1 Februari 2022.



Selain itu, dia tambahkan, risalah rapat The Fed juga mengindikasikan ekspektasi kenaikan suku bunga acuan sampai tiga kali di tahun ini. Sebetulnya langkah ini sudah sedikit banyak diantisipasi oleh pelaku pasar, terlihat dari data konsensus yang sudah memperkirakan kenaikan suku bunga di tahun ini lebih dari dua kali bahkan sejak bulan November lalu. 

|Baca juga: BI Pertahankan Suku Bunga Acuan BI7DRR 3,50%

Faktor high base berpotensi untuk meredakan tekanan inflasi dan menyebabkan moderasi terhadap rilis data ekonomi ke depannya, sehingga komunikasi bank sentral akan sangat krusial terutama di tengah dinamika pandemi dan normalisasi ekonomi. “Sinyal dovish akan dianggap kurang peka terhadap kondisi yang ada, sementara sinyal yang terlalu hawkish dapat memberikan sentimen negatif bagi pemulihan ekonomi dan pasar finansial. Keseimbangan akan menjadi kunci,” jelas Syuhada.

Saat ini, seperti halnya dengan dengan sebagian besar negara di Asia, Indonesia berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan tahun 2013 ketika The Fed mengumumkan pengurangan program kuantitatif. Indikator stabilitas makroekonomi seperti suku bunga riil, inflasi, neraca transaksi berjalan dan cadangan devisa menunjukkan perbaikan yang sangat berarti sehingga kondisi ini dapat membuat Indonesia menjadi lebih kuat dalam menghadapi normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat. “Selama proses normalisasi dikomunikasikan dengan baik, berjalan sesuai rencana dan kenaikan imbal hasil US Treasury terjadi secara bertahap maka Indonesia terlihat siap dalam menghadapi normalisasi ini,” katanya.

Senior Portfolio Manager Fixed Income, MAMI, menambahkan bahwa secara teoritis, dalam periode siklus kenaikan suku bunga, kelas aset obligasi akan menghadapi lebih banyak tantangan. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa suku bunga dan harga obligasi berbanding terbalik. Namun yang perlu dicermati adalah fundamental makro ekonomi Indonesia sangat baik dan lebih siap dalam menghadapi potensi kenaikan suku bunga didukung oleh beberapa hal:

 1.    Berkurangnya target penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di 2022 menjadi IDR991.3 triliun.

2.    Pemulihan ekonomi dan rencana pemerintah untuk menekan defisit anggaran di bawah 3 persen di 2023 berpotensi mengurangi tekanan pembiayaan dan penerbitan SBN ke depannya. Sejauh ini pemulihan ekonomi berdampak positif terhadap penerimaan negara, di mana pada 2021 penerimaan pajak –untuk pertama kalinya dalam dua belas tahun– melebihi target APBN sebesar 14,9 persen.

3.    Rendahnya kepemilikan asing – sudah turun ke level 19 persen vs 37 persen di 2018, karena pada tahun tersebut juga terjadi kenaikan suku bunga– dapat mengurangi risiko foreign portfolio outflowketika kondisi sentimen global memburuk.

4.    Berlanjutnya skema burden sharing antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan yang dapat mengurangi tekanan pembiayaan di pasar perdana. Selama tahun 2021 Bank Indonesia melakukan pembelian SBN melalui mekanisme burden sharing sebesar IDR358.3 triliun.

5.    Pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar IDR269.2 triliun –lebih besar dari rata-rata SAL dalam 10 tahun terakhir di IDR146.3 triliun– dapat digunakan untuk menutupi kekurangan dalam pembiayaan di 2022.

Mengenai penerbitan obligasi rupiah, Syuhada Arief menjelaskan bahwa secara historis obligasi denominasi dolar lebih banyak dipengaruhi oleh pergerakan imbal hasil US Treasury, namun beberapa katalis obligasi rupiah yang telah disampaikan sebelumnya juga berdampak positif pada obligasi dolar. Rendahnya rencana penerbitan obligasi dolar yang hanya sekitar 11-14 persen dari total penerbitan SBN dapat mengurangi jumlah pasokan di pasar. Di samping itu obligasi dolar juga didorong oleh mulai stabilnya pergerakan credit default swap Indonesia tenor lima tahun yang berada <80 basis poin, lebih rendah dibandingkan rerata dalam 3 bulan terakhir di 81.15 basis poin.

Dalam kondisi ini, Syuhada mengingatkan beberapa hal yang perlu dicermati, yakni: erkembangan varian baru pandemi dan efektivitas vaksin, komunikasi pemerintah dan bank sentral akan perubahan kebijakan moneter dan fiskal –besaran dan kecepatannya– serta volatilitas pergerakan imbal hasil US Treasury adalah beberapa faktor risiko utama yang perlu dicermati ke depannya. “Kualitas rilis data ekonomi dalam beberapa bulan mendatang akan mempengaruhi bagaimana normalisasi kebijakan moneter global akan dilakukan. Terutama untuk domestik, percepatan pertumbuhan ekonomi yang dapat berdampak pada laju pertumbuhan kredit menjadi salah satu faktor yang perlu dicermati mengingat selama ini bank menjadi pembeli mayoritas SBN,” tuturnya.

Lantas apa strategi portofolio yang dapat diterapkan di tahun 2022 ini? Guna menghasilkan alpha pada kinerja portofolio, pengelolaan akan didasari pada pendekatan top-down –analisa makro ekonomi global dan domestik dan kekuatan analisa bottom-up–untuk pembentukan portofolio yang optimal. Menurut Syuhada Arief, strategi investasi akan memperhatikan beberapa aspek:

1. Duration management. Mengedepankan pengelolaan aktif dan stabilitas kinerja, di mana durasi portofolio akan sangat dinamis  Overweight atau Underweight terhadap tolok ukur, bergantung dari outlook dan view terhadap prospek pasar.

  1. Security selection. Mengurangi porsi off the run series guna menjaga likuiditas dan imbal hasil optimal.
  2. Yield enhancement. Memaksimalkan potensi imbal hasil pada porsi kas portofolio dengan penempatan pada obligasi korporasi pasar uang dengan credit worthiness yang kuat dan terpercaya

 

“Di samping itu juga terus mencermati likuiditas dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi memberikan hasil optimal dengan risiko yang terkendali,” jelasnya.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post OJK Setor Pajak dan Sisa Anggaran ke Negara  Rp450 M pada 2021
Next Post MARKET BRIEF: Bursa Wall Street di Zona Positif

Member Login

or