Media Asuransi, JAKARTA – Di tengah libur Hari Raya Idulfitri di Indonesia, tanggal 4 Mei 2022 kemarin rapat FOMC memutuskan kenaikan suku bunga Fed funds rate sebesar 50 basis points (bps). Keputusan ini mesti disikapi dengan penuh kehai-hatian oleh para pelaku pasar, pelaku bisnis, maupun pengambil kebijakan, karena diperkirakan akan ada dampaknya terhadap perekonomian Indonesia.
Penurunan tingkat pengangguran yang substansial dan inflasi yang masih sangat tinggi menjadi pertimbangan penting keputusan tersebut. FOMC juga melihat perang Rusia-Ukraina dan kebijakan isolasi Covid-19 di China sebagai risiko lain yang dapat meredam aktivitas ekonomi dan meningkatkan inflasi lebih lanjut.
Selain kenaikan suku bunga, FOMC juga mengumumkan di bulan Juni mendatang akan mulai mengurangi neracanya, yang berarti pengurangan likuiditas di pasar domestik Amerika Serikat. Pengurangan yang diawali sebesar USD47,5 miliar per bulan akan ditingkatkan satu kuartal kemudian menjadi USD95 miliar per bulan.
|Baca juga: Membaca Arah Pasar Setelah Kenaikan Suku Bunga Acuan The Fed
Menurut Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan, kenaikan suku bunga sebesar 50 bps tersebut sesuai dengan konsensus perkiraan pasar. Kejelasan komunikasi juga ditunjukkan Ketua The Fed yang menyatakan ke depannya masih mungkin ada beberapa kali kenaikan 50bp, namun kemungkinan kenaikan 75bp sekaligus sampai saat ini belum menjadi pertimbangan.
Walaupun demikian, beberapa kondisi terkini membuat pasar memperkirakan prospek inflasi Amerika Serikat masih sulit dikendalikan, seperti misalnya peningkatan inflasi terkait dampak perang Rusia-Ukraina, peningkatan inflasi akibat terhambatnya rantai pasokan dari China terkait isolasi Covid-19 yang sangat ketat, serta langkah Uni Eropa yang menghentikan impor minyak dari Rusia.
“Kondisi ini membuat pasar berspekulasi, seberapa agresif The Fed akan berupaya melawan inflasi melalui kenaikan suku bunga. Lantas bagaimana dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, serta apakah kita harus mulai mempertimbangkan kemungkinan resesi,” katanya dalam keterangan resmi yang dikutip Media Asuransi, Jumat, 13 Mei 2022.
Kekhawatiran dan spekulasi inilah yang menurut Katarina, membuat pasar finansial terkoreksi tajam dan imbal hasil US Treasury 10 tahun meningkat 20 bps ke 3,12 persen. Pasca pengumuman hasil rapat FOMC sampai tanggal 6 Mei, pasar saham Amerika Serikat, Asia Pasifik di luar Jepang, dan negara-negara berkembang terkoreksi antara 3-6 persen.
Koreksi tajam di berbagai pasar utama dunia mendorong penurunan pasar finansial hari pertama perdagangan 9 Mei 2022. IHSG turun 4,42 persen, LQ45 turun 5,48 persen, sementara rupiah melemah 0,8 persen sejak penutupan tanggal 4 Mei. “Kami melihat hal tersebut lebih merupakan proses penyesuaian pasar dan bukan mencerminkan pelemahan fundamental ekonomi Indonesia,” jelasnya.
Data-data terkini menunjukkan fundamental yang masih solid untuk menopang pemulihan dan melanjutkan pembukaan ekonomi tahun 2022 ini. “Indonesia mendapatkan manfaat dari penguatan harga komoditas, neraca perdagangan menunjukkan surplus sebesar USD9,3 miliar pada kuartal pertama 2022, mendorong cadangan devisa untuk naik ke USD139 miliar, atau setara dengan 7 bulan impor dan pembayaran utang pemerintah. PDB Indonesia tumbuh 5,01 persen pada kuartal I/2022 dan PDB riil telah melampaui tingkat PDB riil sebelum pandemic Covid-19,” tutur Katarina Setiawan.
Lebih lanjut dia jelaskan bahwa indeks harga konsumen April meningkat 0,95 persen dari bulan lalu ke level 3,47 persen. Jika harga-harga yang dikendalikan pemerintah atau administered prices seperti BBM, TDL, dan harga gas masih naik, MAMI memperkirakan inflasi bahkan bisa mencapai 4,4-4,8 persen.
|Baca juga: Libur Lebaran Usai, IHSG Langsung Longsor
“Memang angka ini lebih tinggi dari biasa, namun secara relatif dibandingkan dengan negara-negara lain dan dibandingkan dengan kondisi Indonesia satu dekade lalu, misalnya di tahun 2013 yang sempat mencapai 8 persen, kondisi inflasi Indonesia jauh lebih baik. Ditopang oleh fundamental makroekonomi yang solid dan sinergi serta kesiapan pemerintah dan bank sentral, kami optimis inflasi Indonesia akan tetap dalam kendali,” katanya.
Terlebih lagi, Bank Indonesia menyatakan tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga karena peningkatan inflasi dan akan mengutamakan pendekatan lain seperti menaikkan GWM. Bank Indonesia akan memantau inflasi inti dan tidak akan menaikkan suku bunga berdasarkan dampak instan kenaikan administered prices. “Kami memperkirakan 2-3 kali kenaikan suku bunga BI mencapai 4,00-4,25 persen sampai akhir 2022,” jelas Katarina.
Di tengah kekhawatiran terhadap stagflasi global, yakni inflasi yang bertahan tinggi dikombinasikan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi, Indonesia diprediksi akan membukukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tahun ini dibandingkan tahun lalu. Sebagai salah satu produsen dan eksportir komoditas terbesar di dunia Indonesia juga menawarkan lindung nilai alami untuk investasi di tengah terus meningkatnya harga komoditas.
“Menariknya prospek investasi di Indonesia diakui oleh investor asing, tercermin dari aliran dana asing yang masuk sebesar Rp72 triliun sejak awal tahun sampai 28 April 2022, sebelum libur Idulfitri, mendorong IHSG naik 9,84 persen dalam 4 bulan, tertinggi di kawasan Aisia Pasifik,” tegasnya.
Sementara itu di tengah penurunan pasar obligasi global, pasar obligasi Indonesia masih menunjukkan resiliensi dibandingkan negara-negara lain dengan peringkat utang yang sama. Peningkatan outlook Indonesia menjadi stable yang diumumkan Standard & Poor menunjukkan apresiasi terhadap perbaikan fundamental Indonesia. “Pemulihan ekonomi dan kuatnya fundamental Indonesia akan tetap menjadi penopang pasar saham dan obligasi Indonesia ke depan,” kata Katarina Setiawan.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News