Media Asuransi, JAKARTA – Transformasi digital di layanan keuangan berbasis teknologi terus berkembang pesat. Hal ini harus diimbangi dengan peningkatan literasi keuangan digital sebagai fondasi dalam membangun Indonesia yang lebih produktif.
Hal ini disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hasan Fawzi, dalam kuliah umum di UIN KH Abdurrahman Wahid, Pekalongan-Jawa Tengah, Selasa, 22 Oktober 2024.
Kegiatan OJK Mengajar tersebut diikuti 1.050 mahasiswa dari berbagai Fakultas di UIN KH Abdurrahman Wahid.
|Baca juga: OJK Dorong Peningkatan Literasi Keuangan Digital Bagi Mahasiswa
Menurut Hasan, berdasar survei Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK pada 2024, indeks literasi dan inklusi keuangan Indonesia baru mencapai 65 persen dan 75 persen. Ini berarti, meskipun akses terhadap layanan keuangan semakin luas, pemahaman masyarakat terhadap risiko dan manfaatnya termasuk penggunaannya melalui media digital masih terbatas.
“Di sinilah pentingnya literasi keuangan digital yang berperan sebagai fondasi dalam membangun Indonesia produktif harus terus ditingkatkan, karena tanpa pemahaman yang memadai, transformasi digital yang seharusnya dimaksudkan untuk mempermudah justru dapat menimbulkan tantangan baru,” kata Hasan.
Salah satu langkah yang tepat dalam meningkatkan literasi keuangan digital adalah dengan memastikan karakteristik produk dan layanan keuangan digital yang dibutuhkan, serta memastikan produk dan layanan keuangan digital tersebut memiliki izin dari otoritas yang berwenang dan benefit yang ditawarkan masuk akal tanpa ada indikasi penipuan atau legal dan logis (2L).
|Baca juga: Ingin Wujudkan Keuangan yang Sehat? Literasi Keuangan Digital Jawabannya!
Hasan juga berpesan agar dalam memilih produk dan layanan keuangan digital, masyarakat/mahasiswa harus memahami profil dan kebutuhan diri sendiri dan menghindari YOLO, FOMO dan FOPO dalam memilih produk dan layanan keuangan agar tetap produktif.
“Harus menghindari YOLO atau You Only Live Once, karena apabila prinsip ini diterapkan maka dapat membuat kita menghabiskan uang tanpa berpikir masa depan. Kemudian, FOMO atau Fear of Missing Out, memilih produk dan layanan keuangan digital hanya karena takut tidak sesuai dengan tren, dan cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan. Berikutnya, FOPO atau Fear of Public Opinion yakni memilih suatu produk dan layanan keuangan digital hanya karena takut mendapatkan kritik negatif dari teman atau keluarga,” kata Hasan.
Hadir dalam kegiatan tersebut antara lain Kepala OJK Provinsi Jawa Tengah, Sumarjono, Kepala OJK Tegal, Noviyanto Utomo, Kepala PT Bursa Efek Indonesia Jawa Tengah, Fanny Rifqi El Fuad, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Alumni dan Kerjasama UIN KH Abdurrahman Wahid, Muhlisin, dan Dekan Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Islam UIN KH Abdurrahman Wahid, Shinta Dewi Rismawati.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News