1
1

Naik Kelas dari Menengah ke Atas dan Perubahan Pola Pikir

Chief Marketing Officer MAMI, Eveline Haumahu. | Ffoto: MAMI

Media Asuransi, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah populasi kelas menengah di Indonesia pada 2024 mencapai 17,13 persen dari total populasi Indonesia, atau sebanyak hampir 48 juta jiwa. Sayangnya, selama periode 2019-2024, terjadi penurunan jumlah populasi kelas menengah sebesar 9,5 juta jiwa dari sekitar 57 juta jiwa.

Ketika kita berada di kelas menengah, kita punya tiga pilihan: naik ke kelas atas, tetap berada di kelas menengah, atau malah turun menjadi kelas bawah. “Faktor eksternal memang sulit kita kendalikan, tetapi ada peran besar faktor internal yang bisa kita sesuaikan untuk membawa kita naik menjadi populasi kelas atas,” kata Chief Marketing Officer PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Eveline Haumahu, dalam keterangan resmi yang dikutip Senin, 7 Juli 2025.

Banyak yang belum memahami bagaimana seharusnya uang dikelola. Ada yang hidup dari gaji atau sumber pendapatan tertentu kemudian menghabiskan apa pun yang mereka dapat, dan menggantungkan bulan berikut pada keberuntungan dan harapan semata.

|Baca juga: 5 Nasihat Gacor Warren Buffett untuk Kelas Menengah

Kelas menengah sedikit berbeda, mereka mulai menjajaki gaya hidup yang lebih ‘terlihat mapan’ melalui beragam utang dan cicilan. Selanjutnya, pendapatan bulanan mereka habiskan untuk membayar cicilan atas benda-benda yang dipandang perlu sebagai lambang status kejayaan: Mobil kelas tertentu, liburan atau healing-healing yang kian jadi menu rutin, rumah yang sebenarnya terlalu besar, bahkan alat komunikasi dan sekolah anak pun harus mengikuti standar sosial tertentu.

Menurut Eveline, pola konsumtif inilah yang menjadi perangkap bagi kelas menengah untuk bisa naik menjadi kelas atas. “Untuk dapat naik kelas ke kelas atas, yang diperlukan adalah perubahan pola pikir keuangan. Jika diamati, mereka yang kekayaannya terus tumbuh menerapkan pola arus uang yang berbeda,” tuturnya.

 

Kenikmatan yang ditunda

Pendapatan yang diterima tidak serta-merta dihabiskan untuk biaya hidup atau membayar cicilan konsumtif, melainkan dibelikan aset. Timbunan aset produktif yang kian membesar ini lalu memberikan pendapatan tambahan, yang sebagian dikonsumsi untuk hidup dan sebagian lagi kembali dibelikan aset agar mesin uangnya semakin besar.

|Baca juga:Solusi Keuangan bagi Kelas Menengah untuk Survive

Apakah pola ini dapat dilakukan oleh mereka yang masih berada di kelas menengah? Tentu bisa. Ada begitu banyak pilihan aset investasi yang terjangkau dan dapat dimiliki populasi kelas menengah dengan pendapatan terbatas.

|Baca juga: Jumlah Kelas Menengah Terus Turun, Bagaimana Strategi Generasi Muda Hadapi Tekanan Ekonomi?

“Pasar modal, misalnya, merupakan pilihan investasi yang sangat terjangkau. Investasi saham dan obligasi ritel saat ini dapat dimulai dengan Rp100.000 atau Rp1.000.000 saja. Investor reksa dana bahkan dapat berinvestasi mulai Rp10.000 saja, sambil menikmati strategi diversifikasi dan pengelolaan aset secara aktif oleh Manajer Investasi,” ungkap Eveline.

 

Risiko yang terukur

Menurut Eveline, mereka yang memiliki cara pandang kelas atas tahu persis seberapa besar risiko yang sanggup ditanggungnya. Mereka berinvestasi dengan strategi mantap sesuai kondisi dan tujuannya sendiri, tidak ikut arus dan terus mencari informasi dari sumber yang terpercaya, bukan hanya scrolling media sosial lalu menarik kesimpulan tanpa dasar yang benar-benar kuat.

 

Bersahabat dengan waktu

Orang yang berada di kelas atas itu sabar. Mereka paham betul the power of compounding interest, atau kekuatan bunga-berbunga. Tahun-tahun awal memiliki aset memang tampak bagaikan perjalanan pelan yang tak mengasyikkan. Tetapi seiring waktu, hasil investasi yang terus menggulung akan semakin besar dan membuat senyum merekah.

Dapatkah pola ini dilakukan oleh mereka di kelas menengah? Tentu bisa. Dengan penyusunan anggaran yang tepat, standar hidup yang mawas diri dan tidak sekadar ikut-ikutan, siapa pun dapat mulai berinvestasi sejak awal karier dan menikmati the power of compounding interest.

“Kelas menengah dan kelas atas itu bukan sekadar status, melainkan cara pandang dan pola perilaku. Dan cara pandang dan pola perilaku kita adalah hal yang dapat kita kendalikan,” pungkas Eveline.

Editor: S. Edi Santosa

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Jangan Lewatkan Diskon 30% untuk Berwisata ke Desa Bakti BCA
Next Post OJK Bantah Terlibat Penawaran Jasa IPO oleh PT Investindo Public Optima

Member Login

or