Mantan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Isa Rachmatarwata, telah menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Selasa, 26 Agustus 2025. Dia didakwa atas dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya periode 2008-2018 yang merugikan keuangan negara mencapai Rp90 miliar.
Isa didakwa atas perannya saat menjabat sebagai Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Kementerian Keuangan periode 2006-2012. Selain didakwa merugikan keuangan negara karena telah menyetujui penerbitan produk asuransi saving plan ketika kondisi keuangan Jiwasraya bangkrut, Isa juga didakwa telah memperkaya dua perusahaan reasuransi dalam skema penyelamatan Jiwasraya melalui penempatan reasuransi.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan perbuatan Isa telah memperkaya perusahaan reasuransi Provident Capital Ltd sebesar Rp50 miliar dan perusahaan reasuransi Best Meridian Insurance Company sebesar Rp40 miliar. Keuntungan dua perusahaan asing tersebut oleh jaksa dianggap sebagai kerugian keuangan negara.
Menurut jaksa, dua perusahaan tersebut diperkaya melalui pembayaran premi produk reasuransi kepada Provident Capital Ltd pada 12 Mei 2010 sebesar Rp50 miliar. Kemudian, reasuransi PON 1 yang dibayarkan ke Best Meridian Insurance Company pada 12 September 2012 sebesar Rp24 miliar, serta PON 2 yang dibayarkan ke Best Meridian Insurance Company pada 25 Januari 2013 sebesar Rp16 miliar.
Skema reasuransi ini bermula saat Kewajiban Manfaat Polis Masa Depan (KMPMD) Jiwasraya telah terakumulasi sebesar Rp10,7 triliun pada Desember 2009. Untuk mengatasi kondisi ini, Jiwasraya mengadakan perjanjian reasuransi terlebih dahulu dengan Provident Capital Ltd pada 15 Desember 2009. Perjanjian reasuransi ini baru disetujui Bapepam-LK pada April 2010.
Direktur Utama Jiwasraya saat itu, Hendrisman Rahim, mengajukan kepada Isa skema reasuransi untuk jangka waktu 17 tahun. Namun, Isa hanya menyetujui skema reasuransi dilakukan dalam kurun waktu dua tahun.
Dalam proses eksekusinya, manajemen Jiwasraya berdiskusi dengan sejumlah perusahaan reasuransi luar negeri seperti SCOR, Willis Group, dan Swiss Re, tetapi mayoritas menolak kerja sama reasuransi dengan Jiwasraya, alasannya jumlah pertanggungan yang terlalu besar dan tidak ingin menggunakan modal perusahaan tersebut hanya untuk Jiwasraya. Alhasil, Jiwasraya menjalin kerja sama reasuransi dengan Provident Capital Indemnity Ltd dan Best Meridian Insurance Company.
Dalam dakwaan atas skema reasuransi ini, jaksa menyatakan bahwa penentuan reasuransi atas kewajiban pemegang polis ke perusahaan asuransi di luar negeri tidak diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Padahal dalam Bab VI dan Bab VII KMK Nomor 422 diatur jelas mengenai kewajiban perolehan dukungan reasuransi untuk setiap produk asuransi yang dipasarkan serta ketentuan mengenai dukungan reasuransi dari perusahaan penanggung ulang di luar negeri.
Dakwaan jaksa atas keputusan penempatan reasuransi ini bisa dibilang sebagai bentuk ‘kriminalisasi’ keputusan penempatan reasuransi. Ini tentu berbahaya karena bakal menjadi preseden buruk bagi praktik bisnis di industri asuransi nasional khususnya bagi perusahaan asuransi pelat merah.
Pasalnya, penempatan reasuransi adalah praktik bisnis yang lazim di industri asuransi dunia, yang ditujukan untuk mengalihkan sebagian risiko dan tanggungjawab finansial dari perusahaan asuransi kepada perusahaan reasuransi. Penempatan reasuransi adalah bentuk pengelolaan risiko agar perusahaan asuransi bisa memenuhi kewajiban klaimnya kepada nasabah.
Bahkan dalam SEOJK Nomor 31/SEOJK.05/2015 tentang Batas Retensi Sendiri, Besar Dukungan Reasuransi, dan Laporan Program Reasuransi/Retrosesi diatur tentang batasan minimum dan maksimum retensi sendiri. Retensi sendiri adalah jumlah maksimum risiko yang ditanggung sendiri oleh perusahaan asuransi. Artinya, sisa retensi sendiri wajib dilimpahkan kepada perusahaan reasuransi.
Sesat pikir JPU atas skema reasuransi ini harus diluruskan. Biaya premi reasuransi sama seperti biaya premi asuransi, bila tidak ada klaim maka uang premi akan menjadi milik perusahaan reasuransi.
Regulator dan pelaku industri asuransi Tanah Air harus meluruskan sesat pikir ini. Jangan sampai direksi perusahaan asuransi, khususnya perusahaan asuransi BUMN menjadi takut menjalankan skema penempatan reasuransi gara-gara kasus ‘kriminalisasi’ ini.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News