1
1

Benarkah Literasi Masih Jadi Sumber Masalah?

Ilustrasi Bisnis Asuransi> | Foto: Ist

Pada tanggal 18 Oktober 2023, industri perasuransian Tanah Air akan kembali memperingati Hari Asuransi yang ke-17. Hari Asuransi atau dideklarasikan pada konferensi anggota East Asian Insurance Congress Insurance Day sebenarnya merupakan tradisi yang awalnya (EAIC) ke-23 pada pertengahan 2006 di Brunei Darussalam. Sebanyak 11 ibu kota negara anggota EAIC saat itu bersepakat mengukuhkan tanggal 18 Oktober sebagai Insurance Day yang diperingati setiap tahun. Di Indonesia, nama Insurance Day kemudian diubah menjadi Hari Asuransi sejak 2019.

Pada perayaan Hari Asuransi 2023, tema yang diangkat adalah Literasi Asuransi untuk Negeri atau tema yang sama saat perayaan 2 tahun berturut-turut sebelumnya yaitu Hari Asuransi 2021 dan Hari Asuransi 2022. Di industri asuransi, literasi masih dianggap sebagai masalah klasik yang menyebabkan rendahnya tingkat penetrasi asuransi di Indonesia.

Merujuk hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022, indeks literasi perasuransian 31,72 persen atau meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun 2019 yang hanya 19,40 persen. Dibandingkan dengan sektor jasa keuangan lainnya, indeks literasi perasuransian menduduki peringkat ketiga terbesar setelah perbankan dan pergadaian. Artinya, tingkat literasi perasuransian nasional sebenarnya sudah menunjukkan perkembangan yang cukup baik.

Di sisi lain, peningkatan tingkat literasi tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat inklusi perasuransian. Pada tahun 2022, indeks inklusi perasuransian hanya berada pada level 16,63 persen atau sedikit naik dibandingkan dengan tahun 2019 yaitu 13,15 persen. Meskipun menduduki peringkat kedua terbesar setelah bank, tetapi gap antara inklusi perbankan dan inklusi perasuransian sangat lebar. Pada periode yang sama, indeks inklusi perbankan mencapai 74,03 persen.

Hal menarik dari hasil SNLIK 2022 adalah tingkat inklusi perbankan jauh lebih tinggi yaitu 74,03 persen ketimbang tingkat literasi perbankan yang hanya 49,93 persen. Artinya, tanpa terliterasi sekalipun, animo masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan sangat tinggi. Sementara itu di industri perasuransian, tingkat inklusi perasuransian jauh lebih rendah yaitu 16,63 persen dibandingkan dengan tingkat literasi perasuransian di level 31,72 persen.

Gap antara tingkat literasi perasuransian dan inklusi perasuransian yang cukup lebar tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang sudah melek asuransi ternyata belum tergerak hatinya untuk membeli produk asuransi. Ini tentu yang harus dicari tahu alasannya. Faktor apa yang belum menggerakkan seseorang yang sudah melek asuransi tapi belum membeli produk asuransi? Apakah karena asuransi dianggap bukan kebutuhan primer? Atau karena stigma negatif tentang asuransi yang banyak beredar di media sosial?

Hasil survei literasi asuransi yang dilakukan oleh Lembaga Riset Media Asuransi (LRMA) pada September 2023 juga mengungkap bahwa tidak semua responden yang menganggap bahwa asuransi adalah produk keuangan yang penting, telah memiliki produk asuransi atau berencana membeli asuransi. Dari 300 responden yang disurvei, sebanyak 94 persen responden menyatakan bahwa asuransi itu penting, sisanya hanya 6 persen yang menganggap bahwa asuransi tidak penting. Namun demikian, hanya 68 persen responden yang menyatakan telah memiliki produk asuransi, sedangkan 32 persen lainnya menyatakan tidak memiliki produk asuransi. Lebih lanjut, sebanyak 72 persen responden menyatakan berencana membeli produk asuransi dan sisanya sebanyak 28 persen responden menyatakan tidak berencana membeli produk asuransi.

Ada temuan menarik dari hasil survei kali ini yaitu produk asuransi yang paling banyak dimiliki saat ini dan akan dibeli adalah asuransi kesehatan ketimbang produk asuransi lainnya seperti asuransi jiwa, asuransi pendidikan, asuransi kendaraan, dan asuransi properti. Tak bisa dipungkiri posisi asuransi kesehatan saat ini bisa dibilang sudah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat.

Bahkan tanpa perlu ditawar-tawarkan, masyarakat akan mencari produk asuransi kesehatan. Contoh sederhana, para job seeker akan cenderung mencari perusahaan yang menyediakan fasilitas asuransi kesehatan. Contoh lain, masyarakat rela antre untuk mengurus BPJS Kesehatan karena sudah terbukti manfaatnya. PR-nya adalah bagaimana memposisikan produk asuransi yang lain seperti asuransi kesehatan sehingga masyarakat dapat tergerak untuk membeli asuransi.

Literasi memang tetap harus ditingkatkan karena asuransi adalah produk keuangan yang kompleks, tapi secara paralel industri perasuransian juga harus mampu membuktikan kepada masyarakat bahwa asuransi itu merupakan produk keuangan yang tidak hanya penting tapi harus dimiliki untuk berjaga diri dari berbagai risiko finansial.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Memenuhi Kebutuhan Tenaga Aktuaris
Next Post Edy Tuhirman: Prospek Profesi Aktuaris Masih Terbuka Lebar

Member Login

or