1
1

Disrupsi di Industri Asuransi: Survei 2019

    Menurut kantor akuntan dan konsultan Pricewaterhouse Coopers, sampai saat ini, asuransi merupakan salah satu sektor ekonomi yang paling terdisrupsi. Kecepatan perubahan teknologi dan perubahan yang terjadi dalam tingkah laku konsumen telah membawa kepada suatu gelombang persaingan yang oleh banyak perusahaan asuransi dianggap sebagai mengancam mereka. Hal ini terungkap dari tanggapan dari 140 pemimpin industri asuransi yang ikut dalam PwC’s 22nd Annual Global CEO Survey, bahwa perasaan takut pada awalnya mengenai transformasi digital berubah menjadi optimisme.

    Dalam survei tersebut ditanyakan kepada para eksekutif asuransi hal yang sangat penting, yang merupakan potensi ancaman bisnis terhadap pertumbuhan prospek perusahaan yang mereka pimpin. Hasil survey 2019 ternyata ada perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan 2018 mengenai tiga hal, yaitu Kecepatan perubahan teknologi, Perubahan tingkah laku konsumen, dan Pemain baru yang masuk ke industri asuransi.

    Kecepatan perubahan teknologi dianggap sebagai ancaman pertumbuhan bisnis oleh 31 persen responden (2019), menurun dari 51 persen (2018). Sedangkan Perubahan tingkah laku konsumen dianggap ancaman oleh 21 persen responden (2019), menurun dari 31 persen (2018). Pemain baru yang masuk ke industri asuransi dianggap sebagai ancaman oleh 10 persen responden (2019), menurun dari 22 persen (2018). Penurunan yang terjadi pada tiga hal yang pada awalnya dianggap sebagai ancaman pertumbuhan perusahaan, tentunya menarik. Karena eksekutif asuransi yang menjadi responden tampaknya lebih optimistis dengan perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk perubahan teknologi yang mengancam adanya disrupsi.

  Apakah tersedianya tenaga terampil mempunyai dampak pada prospek pertumbuhan perusahaan? Sebanyak 50 persen dari eksekutif asuransi yang menjadi responden mengatakan bahwa kalau tenaga terampil tidak tersedia, maka mereka tidak bisa melakukan inovasi secara efektif. Sedangkan 64 persen eksekutif asuransi mengungkapkan bahwa biaya untuk sumber daya manusia di perusahaannya meningkat melebihi dari yang diperkirakan. Sebanyak 48 persen menganggap bahwa tidak tersedianya tenaga terampil akan berdampak kepada standar kualitas di perusahaannya atau pengalaman konsumen mereka terkena dampaknya.

    Sebanyak 38 persen eksekutif asuransi yang menjadi responden mengatakan bahwa dengan tidak tersedianya tenaga terampil di perusahaannya, maka pihaknya akan meleset target pertumbuhannya. Sedangkan 26 persen eksekutif asuransi mengungkapkan kalau tenaga terampil tidak tersedia maka mereka tidak akan dapat mencari kesempatan bisnisnya di pasar yang ada. Sementara itu, enam persen mengatakan bahwa kelangkaan tenaga terampil di perusahaannya, maka mereka akan membatalkan atau menunda inisiatif penting yang strategis. Dan sebanyak delapan persen eksekutif asuransi yang menjadi responden merasa bahwa tidak adanya tenaga terampil di perusahaannya tidak berdampak pada pertumbuhan bisnis dan labanya.

    Bagaimanapun, tantangan-tantangan tetap ada. Banyak perusahaan asuransi, menurut analisis Pricewaterhouse Coopers (PwC) dari hasil survei yang dilakukannya, sedang berusaha untuk memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Tidak hanya kompleksitas yang bertumpu pada teknologi, tapi juga pada praktik pengambilan keputusan dan cara bekerja. Dan, meskipun teknologi seringkali mendominasi rencana transformasi, tapi kesuksesan pada akhirnya tergantung pada manusianya.

  Yang menarik, masih menurut PwC, meskipun perusahaan asuransi selalu membangun kesuksesannya berdasarkan data, transformasi digital, dan perubahan-perubahan yang berkaitan dengan harapan konsumen, telah mengangkat tinggi nilai dari data. Lebih dari 90 persen CEO asuransi yang disurvei menyatakan pentingnya data dalam memahami kesukaan nasabah (97 persen) dan dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan risiko perusahaan (93 persen). Hanya 10 persen dari eksekutif asuransi yang menjadi responden, yakin data mengenai kesukaan nasabah dan kebutuhannya sudah komprehensif sifatnya. Dan hanya 39 persen eksekutif asuransi yang disurvei yakin bahwa data bisnis yang dijalankan sudah komprehensif. Para CEO itu, masih menurut survei PwC, mengeluh bahwa kegagalan saling-tukar data dalam perusahaan asuransi menggambarkan sifat diamnya marketing, underwriting dan klaim.

   Demikian hasil survei yang dilakukan oleh kantor akuntan dan konsultan Pricewaterhouse Coopers terhadap 140 CEO asuransi pada 2019 di kawasan Asia. Mucharor Djalil

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Unitlink
Next Post Kerja Sama BNI Syariah dan Nusantara USA

Member Login

or