Menjelang akhir tahun 2018, otoritas perbankan dan otoritas moneter sama-sama mengeluarkan proyeksi pertumbuhan kredit untuk tahun 2019. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaikan proyeksi pertumbuhan kredit bank pada tahun 2019 mendatang akan berkisar di angka 12-13 persen. Dasarnya adalah masukan dari industri perbankan melalui Rencana Bisnis Bank (RBB) yang disampaikan ke OJK, yakni prediksi pertumbuhan kredit 2019 sekitar 12,23 persen. Selain itu, proyeksi ini didasarkan keyakinan bahwa pertumbuhan kredit 2019 mencapai 13 persen.
Proyeksi dari Bank Indonesia (BI) terhadap pertumbuhan kredit perbankan, sedikit lebih rendah, walau tetap double digit. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan proyeksi pertumbuhan kredit dari bank sentral untuk tahun 2019 di kisaran 10-12 persen. Sedangkan untuk Dana Pihak Ketiga (DPK), walau ada peluang tumbuh double digit, BI memproyeksi pertumbuhannya di kisaran 8-10 persen di 2019. Proyeksi pertumbuhan DPK dari BI ini juga sedikit lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi pertumbuhan DPK yang dikeluarkan OJK yakni mencapai 11 persen pada tahun 2019.
Sejumlah ekonom memperkirakan bahwa likuiditas masih akan mengalami pengetatan di tahun 2019. Kondisi tersebut tidak lepas dari situasi pasar global yang penuh tantangan dan ketidakpastian yang membuat angka pertumbuhan DPK khususnya deposito masih melambat hingga 2019. Pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK, akan berdampak pada ketatnya likuiditas yang tergambar dari tingginya LDR (loan to deposit ratio) yang dipatok oleh BI 78-92 persen. Sebagai gambaran, data OJK menunjukkan bahwa LDR industri perbankan di bulan November 2018 sebesar 92,5 persen.
Kondisi ketatnya likuiditas yang dialami perbankan, mesti disikapi oleh manajeman bank. Karena apapun yang terjadi, manajemen tetap dibebani kewajiban untuk menghasilkan laba. Bahkan dituntut labanya tumbuh dari tahun ke tahun. Hal inilah yang menurut Wakil Direktur Bank Danamon Michellina Laksmi Triwardhany, membuat bank harus mengoptimalkan pendapatan non bunga. Saat berbicara dalam Seminar Insurance Outlook 2019 yang diadakan Media Asuransi di Jakarta, akhir November 2018, Triwardhany mengakui dengan melihat kenaikan suku bunga akhir akhir ini yang dapat menekan net interest margin (NIM), maka fee based income menjadi hal sangat penting bagi bank.
Oleh karena itu dia memperkirakan prospek ke depan, setidaknya dalam dua hingga tiga tahun ke depan, banyak bank akan memfokuskan kepada pertumbuhan fee based income-nya yakni salah satunya melalui kerja sama dengan perusahaan asuransi (bancassurance). “Fee based income dari bancassurance akan tumbuh double digit dalam lima tahun ke depan. Jadi saya lihat prospeknya masih bagus sekali,” katanya.
Triwardhany menuturkan bahwa bagi bank setidaknya ada dua benefit dari kerja sama bancassurance ini. Pertama adalah mendapat peluang tambahan fee based income. Kedua adalah melengkapi produk jasa keuangan, sehingga dapat mempertahankan nasabah yang memiliki kebutuhan aneka produk tersebut. “Dari sisi bank, kami melihat bancassurance adalah untuk meningkatkan loyalitas dari nasabah. Tidak dipungkiri bahwa fee based income dari bisnis asuransi ini tentu saja merupakan bagian yang sangat penting bagi kinerja suatu bank,” katanya.
Terlepas dari masalah fee based income, bagi bank yang paling penting dari kerja sama ini adalah kesempatan untuk memberikan one shot solution kepada customer, sehingga mereka dapat memenuhi berbagai kebutuhan keuangannya sekaligus dari satu bank. “Nah, yang paling penting bagaimana kita bisa bersama-sama memenuhi kebutuhan nasabah,” katanya.
Jadi, salah satu hikmah di balik ketatnya likuiditas yang dialami perbankan adalah makin terbukanya peluang bagi industri asuransi untuk meningkatkan kerja sama bancassurance. Sekarang tinggal bagaimana asuransi memanfaatkan peluang ini. S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News