1
1

Mengintegrasikan Ekosistem Kesehatan

Orang miskin dilarang sakit adalah ungkapan yang tidak mengada-ada karena ongkos berobat di negeri ini memang tidak murah. Padahal, hak atas kesehatan merupakan hak asasi manusia yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 25 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri, dan keluarganya.

Memang saat ini pemerintah memiliki program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang operasionalnya dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Badan hukum publik yang bertanggungjawab langsung kepada presiden ini bertugas menyelenggarakan program JKN berdasar prinsip asuransi yang bertujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Keberadaan BPJS Kesehatan pun bukan tanpa masalah baik dari sisi pelayanan maupun dari sisi bisnis asuransi kesehatan. Dengan premi yang murah, bahkan untuk sebagian masyarakat iurannya ditanggung oleh pemerintah alias gratis, membuat pelayanan kesehatan di mayoritas fasilitas kesehatan menjadi ala kadarnya. Berbeda ketika si pasien berobat dengan menggunakan asuransi swasta atau mandiri.

Di industri asuransi kesehatan, keberadaan BPJS Kesehatan yang merupakan asuransi kesehatan wajib ini membuat kue bisnis asuransi kesehatan swasta mengecil karena nasabahnya beralih ke BPJS Kesehatan. Hanya mereka yang berpenghasilan menengah ke atas yang tetap membeli asuransi kesehatan tambahan demi mendapatkan kenyamanan dan pelayanan terbaik saat berobat. Memang ada skema Coordination of Benefit (CoB) yang diharapkan dapat melibatkan peran dari asuransi swasta dalam program JKN, tetapi praktiknya tidak berjalan sesuai harapan.

Masalah pun tidak hanya di situ, dari sisi provider kesehatan yaitu fasilitas pelayanan kesehatan, dokter, hingga apotek juga tidak memiliki standar penanganan kesehatan dan integrasi data medis sehingga berdampak pada membengkaknya biaya berobat. Ketiadaan standardisasi penanganan kesehatan dan integrasi data medis ini tak dapat dipungkiri berpotensi memicu terjadinya fraud baik di sisi perusahaan asuransi maupun provider kesehatan yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Ujung-ujungnya pasien atau masyarakat lah yang menderita karena hak asasinya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik dan memadai menjadi tercederai.

Misalnya, dengan keluhan sakit demam akibat flu biasa, oknum dokter bisa saja menyuruh pasien untuk mengikuti serangkaian tes laboratorium yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Lalu, saat menuliskan resep obat, oknum dokter bisa saja meresepkan obat-obat paten yang harganya mahal karena melihat si pasien menggunakan asuransi kesehatan swasta. Padahal sebenarnya dengan obat generik pun sudah cukup.

Berikutnya, saat pasien pindah berobat dari rumah sakit A ke rumah sakit B maka si pasien akan diminta untuk melakukan medical checkup ulang. Padahal bila data medical checkup tersebut terintegrasi antar rumah sakit atau fasilitas kesehatan, pemeriksaan tersebut tidak perlu dilakukan. Belum lagi potensi perbedaan definisi jenis operasi antara rumah sakit dan perusahaan asuransi yang membuat nilai coverage asuransi tidak masuk. Misalnya, definisi antara operasi kecil dan operasi sedang, menurut rumah sakit tindakan operasi yang dilakukan adalah operasi kecil yang seharusnya masih masuk coverage klaim tetapi menurut asuransi adalah operasi sedang sehingga klaim ditolak.

Bagi pengguna asuransi swasta tentu praktik-praktik para oknum di atas sangat merugikan. Pasalnya, hal tersebut akan menyebabkan limit benefit asuransi kesehatan cepat habis, klaim ditolak, dan adanya potensi kenaikan premi untuk masa pertanggungan berikutnya karena nilai klaim periode sebelumnya lebih besar dari premi yang dibayarkan.

Melihat berbagai permasalahan yang kompleks dan cenderung klasik ini, mengintegrasikan ekosistem kesehatan tentu menjadi agenda yang mendesak untuk dilakukan guna mengurai benang kusut dan menyelesaikan permasalahan di ekosistem kesehatan Tanah Air. Di era digital saat ini, seharusnya secara teknis pelaksanaan integrasi ekosistem kesehatan ini bukan hal sulit untuk diwujudkan.

Namun berbicara ekosistem kesehatan, hal ini menjadi tantangan tersendiri karena tidak hanya melibatkan perusahaan asuransi sebagai penanggung tetapi juga provider kesehatan yang menyediakan fasilitas kesehatan dan jasa medis. Keduanya beroperasi di bawah regulator yang berbeda yakni perusahaan asuransi di bawah regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan yang satu lagi di bawah regulasi pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Plus, BPJS Kesehatan yang secara aturan mengacu pada Undang-Undang (UU).

Ketika integrasi ekosistem kesehatan ini telah terwujud, harapannya antara BPJS Kesehatan dan asuransi swasta dapat dengan mudah menentukan skema kerja sama dalam rangka berbagi risiko alias risk sharing dalam memberikan pertanggungan asuransi kesehatan. Pada akhirnya masyarakat akan terpenuhi hak asasinya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan baik dan affordable. Achmad Aris

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Best Insurance and Reinsurance 2021
Next Post Tabel Kinerja Asuransi Jiwa dan Syariah 2019-2020

Member Login

or