Suatu survei yang bertajuk The World Insurance Report 2019 yang dilakukan oleh Capgemini and Efma baru-baru ini mengungkapkan bahwa para nasabah atau tertanggung (insured) membutuhkan produk yang cukup proteksinya dan melindungi dari emerging risks.
Capgemini adalah perusahaan konsultan global, menyediakan layanan teknologi dan transformasi digital. Sedangkan Efma, yang berpusat di Paris, Perancis, merupakan organisasi nirlaba yang mendorong kerja sama para pengambil keputusan. Lebih dari 3.300 bank dan asuransi di 130 negara merupakan anggota Efma.
The World Insurance Report 2019 meliputi seluruh segmen asuransi jiwa, asuransi umum, dan asuransi kesehatan. Laporan hasil survei ini dikumpulkan dari dua riset yang telah dilakukan yang bertajuk The 2019 Global Insurance Voice of the Customer Survey dan 2019 Global Insurance Executive Interviews. Riset dilakukan di 28 pasar asuransi, yaitu Australia, Belgia, Brazil, Kanada, China, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hong Kong, India, Italia, Jepang, Meksiko, Belanda, Norwegia, Filipina, Polandia, Portugal, Singapura, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika Serikat.
The World Insurance Report 2019 mengungkapkan bahwa pemegang polis semakin merasa khawatir bahwa nilai pertanggungan mereka tidak mencukupi untuk apa yang disebut sebagai emerging risks, dari cybersecurity sampai ancaman lingkungan hidup. Sementara itu, perusahaan-perusahaan asuransi justru kurang siap dibandingkan tertanggungnya, yang menghendaki proteksi yang komprehensif dan dinamis. Padahal, pada saat yang sama, ada kesempatan yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan asuransi dengan teknologi dan kerja sama untuk mengatasi tren makro dan menjadi lebih proaktif terhadap kebutuhan tertanggungnya.
Beberapa hasil riset yang dilakukan oleh Capgemini dan Efma yang disampaikan dalam The World Insurance Report 2019. Pertama, perusahaan-perusahaan asuransi tampaknya lambat dalam menanggapi emerging risks. Laporan ini memetakan lima tren makro yang memunculkan lima emerging risks bagi tertanggung dan bisnis mereka, yaitu pola lingkungan yang disruptif, kemajuan teknologi, trend social dan demografik, perkembangan dunia kedokteran dan kesehatan, serta perubahan yang terjadi di iklim bisnis. Kurang dari 25 persen tertanggung korporat dan kurang dari 15 persen pemegang polis individual yang merasa bahwa polis mereka cukup untuk melindunginya dari emerging risks yang dipacu oleh tren makro tersebut. Dan, kurang dari 40 persen perusahaan asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang menyatakan mereka telah mempunyai produk untuk memproteksi emerging risks secara komprehensif.
Kedua, ada kekurangan proteksi dalam menanggulangi emerging risks. Hasil survei ini mengungkapkan bahwa 83 persen tertanggung individual berhadapan dengan risiko sedang atau tinggi dari cyberattack dan risikonya melebihi tabungan mereka, dan hanya 3-5 persen yang polisnya mampu menghadapi risiko tersebut secara komprehensif. Sedangkan dari tertanggung korporat, 81 persen menghadapi biaya kesehatan untuk karyawannya yang semakin meningkat dibandingkan dengan yang 17 persen reponden yang merasa cukup cover kesehatan karyawannya. Sebanyak hampir 75 persen tertanggung korporat merasa terancam dengan meningkatnya risiko katastrofi bencana alam, sementara itu hanya 22 persen tertanggung korporat yang merasa efektif terlindungi risiko tersebut.
Ketiga, tertanggung lebih merasa siap untuk perubahan dibandingkan dengan perusahaan asuransi mereka. Lebih dari separuh tertanggung (55 persen) dalam survei itu mengungkapkan kesiapannya untuk perubahan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan asuransi mereka, yaitu untuk model asuransi yang baru. Hanya 37 persen dari perusahaan asuransi yang mengungkapkan kesiapannya dalam investasi di asuransi model yang baru.
Keempat, perusahaan asuransi perlu melakukan inovasi dan menjadi mitra tertanggung serta menjadi pencegah risiko. Perusahaan asuransi harus tanggap terhadap ancaman yang muncul dan terhadap ekspektasi tertanggung dengan menggunakan teknologi dan melakukan kerja sama. Terungkap bahwa 57 persen perusahaan asuransi sudah mempunyai akses ke kecerdasan buatan (artificial intelligence), mesin belajar dan analisis yang canggih. Tapi hanya 29 persen perusahaan asuransi yang menerapkannya.
Walaupun Indonesia tidak termasuk negara yang disurvei, setidaknya kita bisa belajar dari 28 pasar asuransi yang ada dalam The World Insurance Report 2019. Mucharor Djalil
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News