1
1

Tak Sekadar Jualan Online

Ilustrasi transaksi melalui online. | Foto: Ist

Di era revolusi industri 4.0, istilah digitalisasi menjadi sangat seksi dan banyak perusahaan nonmanufaktur, khususnya sektor keuangan, yang kemudian mengaplikasikannya. Transformasi digital adalah sebuah istilah yang lazim dipakai untuk menggambarkan proses adopsi teknologi digital ke dalam proses bisnis sebuah perusahaan agar mampu menciptakan performa bisnis yang lebih baik dan tentunya efisien.

Berbicara mengenai transformasi digital, tentu memiliki kaitan erat dengan aktivitas digitisasi dan digitalisasi. Keduanya tampak sama tapi sebenarnya memiliki perbedaan makna. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) digitisasi berarti pengubahan teks, gambar, atau suara ke bentuk digital sehingga dapat diproses oleh komputer. Pengertian sederhananya adalah proses mengubah sesuatu non-digital menjadi digital. Sementara itu, digitalisasi memiliki arti yang lebih luas lagi yaitu proses pemberian atau pemakaian sistem digital yakni penggunaan teknologi informasi dan data menjadi kunci utama.

Di industri asuransi, pemanfaatan teknologi digital masih dilihat sebagai sebuah proses penjualan produk asuransi secara online. Alhasil, tingkat adopsi teknologi digital menjadi terlihat sangat kecil perannya. Misalnya, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyebutkan saluran pemasaran produk asuransi umum dan asuransi jiwa melalui distribusi digital tercatat hanya 3,94 persen dari total premi industri asuransi Tanah Air.

Bahkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat bahwa kontribusi saluran distribusi melalui e-commerce tidak sampai 0,1 persen dari total premi. Sementara itu, data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menunjukkan kontribusi saluran pemasaran yang menggunakan aplikasi internet hanya 0,07 persen dari total premi.

Data tersebut tidak salah karena disusun berdasar pengelompokan saluran pemasaran produk asuransi, saluran pemasaran digital dianggap sebagai saluran pemasaran tersendiri. Padahal, bisa jadi saluran pemasaran seperti direct marketing, agen, broker, bancassurance, dan saluran yang lain juga menggunakan teknologi digital dalam proses pemasarannya. Artinya, secara faktual peran pemanfaatan teknologi digital dalam pemasaran di industri asuransi bisa jadi sudah sangat besar.

Hanya saja yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana pemanfaatan teknologi informasi ini tidak hanya sebatas pada proses pemasaran produk atau during sales, tetapi termasuk aktivitas sebelumnya yaitu presales hingga after sales. Pasalnya, antara presales, during sales, dan after sales memiliki hubungan keterkaitan antara satu dan lainnya.

Pemasaran produk secara online tidak bisa hanya dengan menjual produk sama yang dipasarkan secara konvensional tetapi harus produk yang berbeda yang menyesuaikan dengan profil dan kebutuhan customer. Matching product ini akan mempermudah proses pemasaran.

Untuk bisa menciptakan produk inovatif yang berbeda maka prosesnya pun harus dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi seperti artificial intelligence, internet of things, machine learning, dan big data. Dari sisi after sales, layanan nasabah juga harus didukung dengan teknologi digital agar nasabah memiliki customer experience atau journey yang bagus sehingga menjadi loyal costumer.

Pada prinsipnya, penggunaan teknologi informasi memiliki tujuan untuk mempermudah proses pengolahan dan analisis data, mempermudah akses, membuat harga menjadi lebih terjangkau (affordable), mengurangi cost acquisition, meningkatkan awareness, dan membuat customer merasa nyaman. Pada akhirnya, pemanfaatan teknologi digital membuat proses presales, during sales, dan after sales menjadi sebuah siklus yang berputar sehingga memberikan manfaat secara bisnis kepada perusahaan.

Memang banyak kemudahan dan manfaat yang dihasilkan dari proses transformasi digital ini, tetapi masalahnya transformasi digital ini memiliki nilai investasi yang tidak murah. Sebenarnya, masalah mahalnya biaya investasi transformasi digital tersebut dapat disiasati dengan cara berkolaborasi dengan pemain platform digital atau insurance technology (insurtech).

Sudah bukan zamannya lagi menganggap insurtech sebagai pesaing karena kehadiran insurtech justru membantu penetrasi industri asuransi. Tak hanya membantu berjualan, para pelaku insurtech ini juga gencar melakukan aktivitas edukasi dan literasi kepada masyarakat mengenai pentingnya berasuransi. Di luar itu, para insurtech ini memiliki basis data yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan asuransi dalam menciptakan produk inovatif.

Apalagi ke depan, kabarnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyiapkan regulasi yang mewajibkan pelaku insurtech untuk menentukan ‘jenis kelaminnya’ yaitu sebagai perusahaan asuransi atau perusahaan pialang asuransi (broker). Tentunya, rencana regulasi ini akan menghilangkan dikotomi antara perusahaan asuransi dan insurtech atau antara perusahaan broker dan insurtech. Dengan demikian, insurtech tidak lagi dipahami sebagai sebuah entitas tetapi sebagai sebuah proses pemanfaatan teknologi digital. Achmad Aris 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Literasi & Inklusi Harus Linier
Next Post Industri Asuransi Tumbuh, Rasio Premi terhadap GDP 3,23 Persen

Member Login

or