Bila kita melihat sejarah perkembangan industri asuransi Tanah Air dari tahun ke tahun memang secara tren menunjukkan pertumbuhan. Akan tetapi, bila dilihat lebih mendalam lagi antara total premi dibandingkan dengan nilai Produk Domesti Bruto (PDB) Indonesia, angkanya masih sangat kecil yaitu tidak sampai 5 persen. Sejalan dengan itu, rasio penetrasi asuransi terhadap jumlah penduduk Indonesia juga baru mencapai 6,6 persen. Artinya, industri asuransi ini masih memiliki peluang sangat besar untuk bertumbuh ke depannya.
Rendahnya tingkat penetrasi asuransi tersebut tidak terlepas dari rendahnya tingkat literasi dan inklusi keuangan, termasuk di dalamnya sektor perasuransian. Pada 2019, indeks literasi keuangan baru 38,03 persen, sedangkan indeks inklusi keuangan sebesar 76,19 persen. Sementara itu, khusus indeks literasi sektor perasuransian lebih rendah lagi yaitu hanya 19,40 persen dan indeks inklusi asuransi hanya 13,15 persen.
Tak hanya sekadar memacu tingkat literasi dan inklusi keuangan, kedua indeks ini harus berjalan beriringan agar pemahaman terhadap produk asuransi linier dengan kepemilikan produk asuransi. Begitu pun sebaliknya. Pasalnya bila tidak berjalan linier akan berpotensi menimbulkan masalah yang bisa berujung pada ketidakpercayaan publik.
Ketika tingkat kepemilikan produk asuransi tinggi tetapi tingkat pemahaman produknya rendah, maka berpotensi menyebabkan sengketa di kemudian hari karena apa yang diekspektasikan oleh nasabah saat membeli produk asuransi pada kenyataannya tidak sesuai dengan benefit yang diterima. Terbukti, kasus sengketa ini banyak terjadi saat ini dan memicu curhatan para nasabah di ruang publik. Peristiwa ini tentu kontraproduktif terhadap upaya peningkatan penetrasi industri perasuransian nasional.
Di sisi lain, ketika tingkat pemahaman terhadap produk asuransi lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kepemilikan produk asuransi maka hal ini juga tidak bagus. Artinya, masyarakat yang sudah tahu tentang manfaat asuransi ternyata masih enggan untuk membelinya.
Bisa jadi, pengetahuan masyarakat tersebut masih dihadapkan pada keraguan seiring dengan maraknya pemberitaan dan testimoni negatif terkait produk asuransi dari para nasabah.
Bila antara indeks literasi dan inklusi belum berjalan linier, setidaknya perlindungan konsumen menjadi perhatian semua pihak, baik regulator maupun perusahaan asuransi. Jangan sampai muncul stigma kapok berasuransi ketika konsumen merasa tidak mendapatkan perlindungan.
Melihat pentingnya permasalahan literasi dan inklusi asuransi ini, kami dalam Rapat Redaksi di Media Asuransi memutuskan untuk mengangkatnya menjadi Cover Story atau Laporan Utama edisi Oktober 2021 bertajuk “Tantangan dalam Meningkatkan Edukasi dan Literasi Asuransi.”
Cover Story ini terdiri dari 5 tulisan yang merupakan satu kesatuan. Pertama, Perkembangan Asuransi dari Masa ke Masa. Kedua, Bagaimana Perkembangan Program Edukasi dan Literasi Asuransi. Ketiga, Bagaimana Peran Digitalisasi dalam Membantu Upaya Edukasi dan Literasi Asuransi. Keempat, Hasil Survei Literasi Asuransi dari Lembaga Riset Media Asuransi (LRMA). Dan kelima, Tokoh dan Eksekutif Asuransi Bicara tentang Edukasi dan Literasi Asuransi.
Harapannya, apa yang kami sajikan dapat menjadi masukan bagi industri asuransi dalam upaya peningkatan literasi dan inklusi asuransi. Selamat Hari Asuransi. Achmad Aris
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News