Bisnis asuransi kredit sedang tidak baik-baik saja. Sejumlah perusa haan asuransi dan reasuransi yang mengelola asuransi kredit tengah berjuang untuk memperbaiki neraca keuangan dan solvabilitasnya. Beberapa perusahaan bahkan memutuskan untuk menghentikan menerima premi baru dari asuransi kredit dan fokus melakukan restrukturisasi.
Secara bisnis, asuransi kredit ini sebenarnya sangat prospektif karena sebagai bagian dari mitigasi risiko kreditur dalam hal ini perbankan dan lembaga pembiayaan. Terlebih, kredit memiliki peran penting dalam mendorong roda ekonomi nasional. Bagi perusahaan asuransi, produk asuransi kredit menjadi salah satu produk yang dapat meng-generate cash atau premi secara cepat. Tak heran bila kemudian produk asuransi kredit ini menjadi primadona sehingga banyak perusahaan asuransi yang bermain. Lini bisnis asuransi kredit ini tercatat sebagai kontributor terbesar ketiga penyumbang premi industri asuransi umum.
Data Statistik Perasuransian OJK pada 2020 mencatat total perusahaan asuransi umum yang menawarkan produk asuransi kredit sebanyak 26 perusahaan yang didominasi oleh perusahaan asuransi lokal. Saking banyaknya pemain asuransi kredit ini membuat kompetisi menjadi tidak sehat, terlebih regulasi PMK No. 124/2008 tidak memberikan patokan terkait tarif dan coverage. Alhasil, perang tarif, obral komisi, obral coverage, dan melonggarkan term and conditions adalah strategi yang dilakukan demi mendapatkan premi. Bahkan, coverage yang sebenarnya menjadi ranah
asuransi jiwa yaitu risiko meninggal dunia pun dibungkus dalam produk ini.
Kondisi kian diperburuk dengan metode perhitungan premi tunggal yang disamakan dengan metode premi pada lini bisnis asuransi umum lainnya. Padahal, dalam asuransi kredit, masa pertanggungannya tidak hanya setahun, tetapi bisa mencapai 20 tahun. Alhasil, terjadilah mismatch antara cash flow dan liability di saat lonjakan klaim terjadi akibat pandemi Covid-19. Data OJK mencatat hingga Juli 2022, klaim asuransi kredit mencapai Rp5,68 triliun atau setara 27,38 persen dari total nilai klaim. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, nilai klaim tersebut melonjak sebesar 80,57 persen.
Masalah ini pun merembet ke pihak perusahaan reasuransi karena sekitar 40 persen dari premi asuransi kredit diteruskan ke reasuradur. Praktik bisnis yang salah pun diadopsi dalam treaty antara asuradur dan reasuradur. Bak mendapatkan mistery box, pihak reasuradur pun tidak tahu seperti apa kualitas risiko yang ditanggungnya. Indikasi bahwa produk asuransi kredit ini bermasalah sebenarnya terlihat dari tidak adanya pihak reasuradur luar negeri yang menerima retrosesi asuransi kredit dari reasuradur dalam negeri.
Melihat kompleksitas permasalahan terkait asuransi kredit ini yang berpotensi berdampak sistemik terhadap industri perasuransian nasional, kami dalam Rapat Redaksi di Media Asuransi memutuskan untuk mengangkatnya menjadi Cover Story atau Laporan Utama edisi November 2022 bertajuk “Mencari Solusi Perbaikan Asuransi Kredit.”
Cover Story ini terdiri dari 6 tulisan yang merupakan satu kesatuan. Pertama, Duduk Permasalahan Asuransi Kredit. Kedua, Asuransi Kredit dari Perspektif Perbankan. Ketiga, Asuransi Kredit dari Perspektif Industri Perasuransian. Keempat, Asuransi Kredit dan Asuransi Jiwa Kredit dari Sudut Pandang OJK. Kelima, Special Interview dengan Direktur Utama PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasional Re) Achmad Sudiyar Dalimunthe. Keenam, Pendapat Eksekutif Perasuransian, Perbankan, Pemerintah, dan Regulator tentang Permasalahan Asuransi Kredit.
Semoga laporan yang kami sajikan pada edisi November 2022 ini dapat memberikan masukan dalam upaya mengatasi dan memperbaiki masalah asuransi kredit agar pengelolaannya menjadi lebih baik ke depannya. Achmad Aris
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News