1
1

Jalin Health Hadirkan Pemanfaatan AI di Industri Kesehatan dan Asuransi

Founder Jalin Health, Djaja Joesoef, menyampaikan presentasi pada acara Conference Health Insurance 2025, yang diadakan Media Asuransi bekerja sama dengan Jalin Health di Jakarta, 30 Juli 2025. | Foto: Media Asuransi/Arief Wahyudi

PT Jalin Sarana Media (Jalin Health) berkolaborasi bersama Media Asuransi menggelar seminar Conference Health Insurance 2025 dengan tema “Memanfaatkan AI untuk Mengatasi Inflasi Medis Serta Meraih Peluang Pasar”, di Jakarta, 30 Juli 2025.

Acara yang mengupas tentang strategi pemanfaatan intelligence (AI) dalam artificial industri kesehatan dan asuransi ini dihadiri oleh perwakilan dari berbagai perusahaan asuransi umum, asuransi jiwa, pialang asuransi dan reasuransi, adjuster serta mitra-mitra lain dari Jalin Health.

Dalam sambutannya, Founder Jalin Health, Djaja Joesoef, mengatakan bahwa peran Jalin Health selain sebagai platform administrasi asuransi, juga sebagai technology and service provider. “Teknologi yang akan menjadi paling penting, terutama AI, pada saat ini,” katanya.

Sementara itu, Chief Operating Officer PLEXIS Healthcare Systems, Sean Garrett, yang hadir via Zoom menyampaikan bahwa Jalin Health saat ini diintegrasikan dengan
teknologi administrasi inti PLEXIS. “Sehingga dapat membantu, baik perusahaan asuransi, ataupun pemberi kerja, menjadi lebih efisien secara operasional dan mengurangi biaya termasuk penipuan, pemborosan, dan penyalahgunaan,” jelasnya.

Pihaknya mendukung Jalin Health berkolaborasi dengan BPJS Kesehatan dan perusahaan asuransi swasta untuk menghadirkan biaya administrasi yang lebih rendah dan kepuasan yang lebih tinggi bagi para pemangku kepentingan, termasuk perusahaan asuransi, peserta asuransi, dan penyedia layanan.

Pembicara berikutnya adalah Business Development Specialist Jalin Health, dokter Leonardus Hariwishnu. Dia menyampaikan bahwa Jalin Health saat ini memiliki sebuah sistem yang bisa memprediksi suatu penyakit hanya berdasar gambar. Sistem tersebut juga menyertakan fraud detection analysis.

Dia menuturkan, Jalin Health memanfaatkan AI sebagai program pendukung dari sebuah operasional third party administration (TPA). “Nah itu dia AI-nya yang bikin seperti ini. Jadi AI tidak akan memutuskan sesuatu, tetapi kita, yaitu analis klaim dan medical advisor-nya terbantu dengan gambaran ini,” kata Leonardus.

Presentasi berikutnya oleh Subject Matter Expert-Graye Inti Nusantara/Investment Banking Consultant, dokter Nickolai Indrarajasa. Dia mengatakan bahwa secara review global, terdapat 190 studi yang mendukung AI dalam screening dan kontrol kualitas di industri kesehatan.

Nickolai menegaskan fisiologi manusia itu tidak bisa diterjemahkan oleh mesin. Dia menyatakan bahwa AI hanya berfungsi untuk melakukan screening dan kontrol kualitas tapi tidak membuat keputusan. “Sekali lagi teman-teman semua, AI adalah mitra, bukan pengganti dokter dan bukan pengganti decision manusia,” tuturnya.

Hadir sebagai pemakalah dalam diskusi panel ini adalah Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan & Ketua Tim Transformation Digitalisasi Kesehatan (TTDK) Kementerian Kesehatan, Setiaji, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Prof Ali Ghufron Mukti, Ketua Kompartemen Humas dan Pengabdian Masyarakat ARSSI Pusat sekaligus Direktur RS Hermina Bogor, dokter Muyi Ayoe Hapsari, dan Anggota Bidang Teknik dan Produk Forum Asuransi Kesehatan Indonesia (Formaksi), Reza Putra.

Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan & Ketua Tim TTDK Kementerian Kesehatan, Setiaji, dalam paparannya menyampaikan mengenai rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pemeriksaan kesehatan. Selain itu, belum optimalnya pemanfaatan teknologi digital dalam mengatasi fraud. Menurutnya, dua hal ini adalah tantangan mendasar dalam penurunan klaim di asuransi kesehatan.

Setiaji mencontohkan dengan tersedianya program cek kesehatan gratis, hingga saat ini masih banyak masyarakat yang menunjukkan ketidakpedulian. Tercatat, dari
ratusan juta masyarakat hanya kurang lebih 13 juta masyarakat yang mau berpartisipasi. “Ini butuh waktu dan memang baru tahun pertama. Nanti tahun depan bisa jadi kesadarannya lebih tinggi untuk melakukan pengecekan kesehatan,” katanya.

Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menegaskan pentingnya memanfaatkan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai ujung tombak dari layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ghufron menyampaikan BPJS Kesehatan merupakan asuransi sosial dan berbeda dengan asuransi komersial. Hal ini karena BPJS Kesehatan diarahkan untuk kepentingan publik dan tidak mencari profit. Maka dari itu, public private partnership atau hubungan kerja sama antara swasta dan pemerintah perlu dibangun.

“Nanti bagaimana public private partnership kita kerja sama antara swasta dan pemerintahan. Tetapi saya ditugasi bukan untuk itu, saya ditugasi untuk mendorong
masyarakat dalam menggunakan jaminan kesehatan,” ujarnya.

Dia menyebutkan cakupan JKN saat ini sudah melebihi 98 persen dalam waktu kurang dari 10 tahun. Salah satu keunggulan BPJS Kesehatan adalah dari FKTP atau
klinik tingkat pertamanya. “Kita itu manage care modelnya, bukan indemnity. Manage care ini harus memakai FKTP, ” kata Ghufron.

Menurutnya, BPJS Kesehatan juga tengah melakukan transformasi mutu layanan yang mudah, cepat, dan setara. Transformasi ini tecermin dari peserta BPJS yang dulunya diharuskan membawa kartu keanggotaan maka saat ini hanya menggunakan KTP. Bahkan ke depan BPJS hanya akan menggunakan identitas dengan autentifikasi wajah saja.

Sementara itu, awal 2014, utilisasi penggunaan FKTP saat persiapan BPJS sebesar 252.000 pengguna. Namun saat ini, dari 2024, BPJS berhasil melakukan utilisasi sebesar 1,9 juta pengguna. “Jadi semua aktivitas ini didukung oleh sistem IT yang canggih, dan semua ini tercapai oleh sistem kita,” terangnya.

Dia menjelaskan, sekarang BPJS Kesehatan menerapkan teknologi Health Facilities Informations System (H.F.I.S). Dengan penerapan tersebut, BPJS Kesehatan dapat melihat masa akhir dari lisensi seorang dokter. Tidak cuma itu, juga dapat mengetahui berapa banyak jumlah operasi yang dilakukan dalam sehari dan melihat performa lain.

“Kita punya inovasi sistem untuk memonitor, namanya Performance Management Center atau sebuah room. Jadi ruang pusat untuk manajemen kinerjanya,” ujar Ghufron.

Pemakalah berikutnya adalah Ketua Kompartemen Humas dan Pengabdian Masyarakat ARSSI Pusat yang juga merupakan Direktur RS Hermina Bogor, Muyi Ayoe Hapsari. Dia menyampaikan strategi alur kesehatan yang harus diperbaiki untuk meraih peluang besar, sekaligus menegakkan layanan yang efektif, khususnya terkait sistem asuransi kesehatan.

Menurutnya, adanya miskomunikasi dan ketidaktahuan peserta asuransi mengenai batasan layanan yang dapat diterima. Banyak peserta yang tidak tahu jika ingin datang ke rumah sakit, harus mengunjungi FKTP terlebih dahulu.

Hot issue-nya, sekarang kita lagi kena bomb. Artinya saat pasien (asuransi) datang, harapannya karena dia sudah bayar (premi), lu harus handle itu. Tetapi ternyata tidak,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Muyi, komunikasi juga menjadi masalah dalam sistem alur layanan. Pasalnya, banyak terjadi komunikasi yang kurang efektif antara rumah sakit, klinik, BPJS, dan perusahaan asuransi. Menurutnya, edukasi yang disampaikan sampai saat ini kurang optimal. “Nah, ini yang menjadi PR (pekerjaan rumah) kami. Bagaimana mensosialisasikan itu, agar semua pasien itu terpuaskan. Walaupun tidak 100 persen puas, ya,” imbuhnya.

Salah satu yang ditekankan oleh Muyi dalam alur layanan agar lebih efektif, efisien, dan manusiawi adalah penegakkan Standar Prosedur Operasional (SPO) dan Panduan Praktik Klinis (PPK). “Jadi, secara tidak langsung kita memperbaiki diri. Memperbaiki diri dari sisi insurancenya, BPJS, dan komersial. Jadi, sistem itu jalan dan kita sudah terkoneksi sama mereka (pasien),” terangnya.

Muyi menyebutkan bagaimana meningkatkan arus layanan itu bukan sekadar sistem saja, tetapi juga, melayani pasien dengan hati. Selain itu, juga memfokuskan pada layanan kesehatan yang berjenjang, utamanya untuk seluruh lapisan masyarakat. “Itu balik lagi. Kita ada high cost, high volume. Itu tetap diakreditasi dan tetap kita kawal,” jelasnya.

Pemateri terakhir adalah Anggota Bidang Teknik dan Produk Formaksi, M. Reza Putra, yang memaparkan tentang pemanfaatan AI untuk menjadi solusi strategis dalam menekan lonjakan klaim dan mencegah fraud. Tentunya hal ini tanpa mengorbankan mutu layanan kesehatan.

Reza menyampaikan bahwa integrasi data harus diterapkan terlebih dahulu. Mulai dari BPJS Kesehatan, asuransi swasta, obatobatan, tarif pelayanan, sampai peraturan Kementerian Kesehatan. “Jadi, ada BPJS Kesehatan, datanya seperti apa? Terus asuransi swasta, obat-obatan, tarif layanan, peraturan. Itu kumpulnya di rumah sakit. Saya pikir ada satu super AI atau super aplikasi yang kurang lebih dapat meng-cover semua data tadi,’’ tuturnya.

Menurutnya, integrasi data perlu dilakukan. Pasalnya hingga saat ini Formaksi sering mengalami kendala seperti complain dari peserta yang merasa dokumennya kurang lengkap dari BPJS Kesehatan, kemudian harga yang tidak sama terkait obat-obatan.

Reza juga menjelaskan alasan mengapa harus menggunakan AI. Pasalnya dengan penggunaan AI, sistem akan diberi manfaat seperti bebas dari intervensi, memiliki hasil
yang cepat dan prediktif, dan terakhir bisa self learning ataupun switch SDM.

Reza berharap sistem ini dapat terbuka dan dapat digunakan di seluruh fasilitas kesehatan, baik rumah sakit vertikal milik pemerintah maupun rumah sakit swasta. Jadi, semuanya interaksi, tercatat dan terukur. Seharusnya keberadaan AI di tahun ini, sudah menjadi kenyataan.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Menanti Hadirnya Bank Syariah Raksasa Sekelas BSI
Next Post Kadin: Penggunaan Kecerdasan Buatan Bakal Efektif Jika Ditopang GRC

Member Login

or