Di pengujung tahun 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan tiga kado spesial kepada industri perasuransian Tanah Air. Kado itu berupa tiga beleid anyar dalam bentuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang berpotensi mengubah lanskap bisnis perasuransian nasional.
Ketiga beleid itu adalah POJK Nomor 20/2023 tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah dan Produk Suretyship atau Suretyship Syariah, POJK Nomor 22/2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, dan POJK Nomor 23/2023 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaaan Reasuransi Syariah.
Pertama, POJK Nomor 20/2023 ini lebih akrab disebut sebagai POJK tentang Asuransi Kredit. POJK ini lahir untuk mengatasi permasalahan pelik terkait produk asuransi kredit yang sepanjang 2021-2022 sempat mengguncang fundamental sejumlah perusahaan asuransi dan reasuransi nasional. Oleh sebagian pihak, kehadiran POJK ini dianggap untuk mengisi kekosongan regulasi lawas yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 124 tahun 2008. Beleid jadul ini belum secara detail membahas mengenai tarif dasar, risk sharing antara kreditur dan perusahaan asuransi, hingga aturan mengenai akses data.
Setidaknya ada 6 pokok perubahan dalam POJK tersebut yaitu adanya risk sharing sebesar 25 persen untuk kreditur dan 75 persen untuk asuransi, pembatasan jangka waktu pertanggungan maksimal 5 tahun, adanya batasan acquisition cost maksimum sebesar 10 persen, data sharing nasabah atau debitur kepada perusahaan asuransi, aturan main tentang subrogasi, dan asuransi umum tidak diperbolehkan mengcover produk asuransi jiwa kredit (AJK).
Kedua, POJK Nomor 22/2023. POJK ini sebenarnya mengatur ketentuan perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan. Namun, sektor asuransi mendapat perhatian khusus terkait dengan produk unitlink alias Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI). Bukan rahasia umum lagi bahwa produk unitlink ini sempat heboh dan berakibat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap produk asuransi. Pada 2022, OJK meresponsnya dengan menerbitkan SE OJK Nomor 5/SEOJK.05/2008 tentang PAYDI.
Kini, OJK kembali mempertegasnya dalam POJK Nomor 22/2023. Ada 7 kewajiban perusahaan asuransi dalam pemasaran PAYDI dan 3 kewajiban perusahaan asuransi dalam penyusunan perjanjian terkait PAYDI.
Ketiga, POJK Nomor 23/2023 yang concern-nya adalah terkait permodalan perusahaan asuransi dan reasuransi baik konvensional maupun syariah. Beberapa poin penting yang diatur adalah perusahaan asuransi harus memiliki ekuitas minimum Rp1 triliun pada 31 Desember 2028, bila ingin beroperasi secara penuh. Namun, untuk tahap pertama yakni per 31 Desember 2026, ekuitas minimum yang mesti dipenuhi adalah Rp250 miliar.
Untuk perusahaan asuransi syariah, ekuitas minimum pada 31 Desember 2028 minimum Rp500 miliar, jika ingin beroperasi secara penuh. Adapun per 31 Desember 2026, ekuitas minimumnya ditetapkan sebesar Rp100 miliar.
Sementara itu untuk reasuransi, ekuitas minimumnya dua kali lipat dari ekuitas minimum asuransi. Perusahaan reasuransi minimum memiliki ekuitas sebesar Rp500 miliar per 31 Desember 2026, dan kemudian minimum Rp2 triliun pada 31 Desember 2028 jika ingin beroperasi secara penuh. Reasuransi syariah, minimum memiliki ekuitas Rp200 miliar per 31 Desember 2026 dan menjadi minimum Rp1 triliun pada 31 Desember 2028.
POJK ini memperkenalkan pengelompokan perusahaan asuransi berdasarkan ekuitas yaitu Kelompok Perusahaan Perasuransian berdasarkan Ekuitas (KPPE) 1 dan KPPE 2. Selain itu, konsolidasi juga menjadi opsi bagi perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan ekuitas minimum tersebut. Konsolidasinya bisa melalui penggabungan/peleburan, akuisisi, atau pembentukan Kelompok Usaha Perusahaan (KUPA).
Bukan kado yang membahagiakan pastinya, khususnya POJK Nomor 23/2023. Ketentuan-ketentuan yang sebelumnya berupa wacana dan diskursus tersebut, kini telah disahkan menjadi regulasi yang mengikat untuk seluruh pelaku perasuransian nasional. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, pelaku industri harus melaksanakannya. Kita percaya tujuannya adalah baik yaitu demi perbaikan industri yang sedang mengalami krisis kepercayaan masyarakat.
Namun demikian, OJK juga jangan menutup mata dalam proses implementasi beleid anyar ini. Bila dalam perjalanannya perlu revisi atau penyesuaian, jangan ragu dan segan untuk dilakukan. Pasalnya, pertaruhannya adalah masa depan industri asuransi sendiri. n Achmad Aris
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News