Waktu yang dimiliki oleh perusahaan asuransi dan reasuransi untuk mempersiapkan kecukupan modal minimumnya kian sempit. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 23 Tahun 2023 yang diterbitkan pada Desember 2023, perusahaan asuransi harus memenuhi ketentuan modal minimum sebesar Rp250 miliar pada 2026 atau naik dari ketentuan sebelumnya sebesar Rp150 miliar, sedangkan ketentuan modal minimum perusahaan reasuransi sebesar Rp500 miliar atau naik dari ketentuan sebelumnya Rp300 miliar.
Sementara itu, untuk perusahaan asuransi syariah modal minimum pada 2026 harus sebesar Rp100 miliar dan Rp200 miliar untuk perusahaan reasuransi syariah. Ini baru di fase pertama. Untuk fase kedua dengan batas waktu akhir 2028, modal minimum perusahaan asuransi harus mencapai Rp500 miliar untuk Kelompok Perusahaan Perasuransian berdasarkan Ekuitas (KPPE) 1 dan Rp1 triliun untuk KPPE 2. Untuk perusahaan reasuransi, modal minimumnya harus sebesar Rp1 triliun untuk KPPE 1 dan Rp2 triliun untuk KPPE 2.
Beda KPPE 1 dan KPPE 2 adalah pembatasan dari sisi pemasaran produk, yakni KPPEI 1 hanya boleh memasarkan produk-produk sederhana, sedangkan KPPE 2 boleh memasarkan semua produk asuransi. Bagi perusahaan asuransi dan reasuransi yang tidak dapat memenuhi ketentuan modal minimum baik KPPE 1 dan KPPE 2 maka harus bergabung ke dalam Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi (KUPA) dengan kewajiban modal minimum induk usaha sebesar Rp1 triliun. Menjadi anggota KUPA tentu bukan pilihan yang menyenangkan karena ruang lingkup bisnisnya sangat terbatas.
Hasil kajian Lembaga Riset Media Asuransi (LRMA) yang dipublikasikan dalam Majalah Media Asuransi Edisi Februari 2024 mencatat bahwa hanya sepertiga perusahaan asuransi dan reasuransi yang lolos ketentuan permodalan. Dari 93 perusahaan asuransi dan reasuransi konvensional dan syariah, hanya 12 perusahaan yang akan dapat memenuhi aturan modal minimum KPPE 2 dan 19 perusahaan yang akan dapat memenuhi KPPE 1, secara organik. Sisanya, harus menempuh cara-cara anorganik antara lain, rights issue, private placement, hingga merger.
Di tengah waktu pemenuhan ketentuan minimum permodalan tersebut, industri asuransi Tanah Air juga dihadapkan pada situasi yang sulit dan menantang. Tantangan-tantangan tersebut antara lain implementasi IFRS 17 atau PSAK 117 yang dalam jangka pendek akan menggerus kinerja ekuitas dan profitabilitas, implementasi regulasi terkait produk asuransi kredit dan suretyship yang mempengaruhi kinerja produksi premi, perbaikan lini asuransi kesehatan yang sedang tak baik-baik saja, kewajiban pemisahan unit usaha syariah (spin off), ketidakpastian ekonomi global, perlambatan ekonomi global dan domestik, penurunan daya beli masyarakat, persaingan usaha yang tidak sehat, hingga gejolak di pasar modal yang berdampak pada imbal hasil investasi.
Di luar tantangan-tantangan makro tersebut, pelaku industri asuransi juga dihadapkan pada tantangan mikro yaitu tuntutan untuk berbenah diri dalam menjalankan praktik bisnis yang selama ini dianggap cenderung ‘ugal-ugalan’ tanpa mempertimbangkan faktor keberlanjutan usaha. Peningkatan integritas, kompetensi, dan kualitas SDM perasuransian menjadi kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi.
Pekerjaan rumah (PR) yang banyak dan menumpuk tersebut membuat pelaku usaha asuransi terengah-engah dan kesulitan untuk menyelesaikannya. Semua PR tentu tidak mungkin semuanya dikerjakan dalam satu waktu. Harus ada skala prioritas agar hasilnya maksimal dan sesuai dengan tujuan akhir regulator yaitu memperkuat pondasi industri perasuransian nasional.
Kuat bukan hanya soal modal besar tapi juga ada pilar-pilar lain yang tidak kalah penting. Antara lain soal tata kelola yang baik, manajemen risiko yang baik, perilaku bisnis yang baik, kualitas produk dan SDM yang baik, persaingan usaha yang sehat, hingga ekosistem bisnis yang sehat. Kuat tapi tidak sehat juga percuma. Tanpa pilar yang lain, besarnya modal tidak akan menjamin keberlanjutan usaha asuransi karena modal besar bisa dengan cepat menguap bila proses dan cara bisnisnya tidak benar.
Dengan demikian, masih banyak perbaikan-perbaikan lain yang lebih urgen ketimbang sekadar memupuk modal. Toh, ketentuan modal minimum industri asuransi Indonesia saat ini bukan yang paling rendah dibandingkan dengan modal minimum perusahaan asuransi di kawasan Asia Pasifik. Bahkan, di beberapa negara, modal minimum yang dipersyaratkan lebih kecil dibandingkan dengan di Indonesia. Lebih baik kecil tapi sehat, ketimbang besar tapi rapuh.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News