1
1

Wae Rebo, Kampung Adat dan Unik di Tengah-Tengah Hutan

Desa Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur (NTT) | Foto: Doc

Selepas menjalani dan menyelesaikan studi selama lima tahun di Ibu Kota Jakarta, akhirnya tiba waktunya untuk pulang ke kampung halaman di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tentunya, dalam rangka mengistirahatkan otak dan fisik yang sudah bekerja keras selama lima tahun itu.

Untuk liburan kali ini saya memilih tempat yang lebih santai, yaitu Waerebo atau Wae Rebo. Salah satu kampung adat di tengah pegunungan yang menjadi destinasi wisata budaya di Kabupaten Manggarai, NTT. Tidak sama seperti orang-orang pada umumnya, ketika menyebut Labuan Bajo, sudah pasti Pulau Komodo yang menjadi destinasi wisata, tapi kali ini berbeda, Waerebo yang menjadi tujuan saya.

Perjalanan yang saya lakukan beberapa waktu lalu ini dimulai dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang. Pagi itu dengan wajah penuh sumringah selama perjalanan karena akan kembali ke kampung halaman. Total saya menjalani perjalanan 2,5 jam hingga tiba di Bandar Udara Komodo, Labuan Bajo.

Setibanya di Labuan Bajo, tanpa beristirahat, saya melanjutkan perjalanan menuju Ruteng yang memakan waktu 3 jam hingga 4 jam. Pukul 14.00 WITA saya tiba di Ruteng, kemudian melanjutkan
perjalanan memakai kendaraan roda dua bersama saudara saya menuju kampung Denge.

Kampung Denge merupakan tempat terakhir yang dapat diakses dengan kendaraan bermotor. Setelah melalui perjalanan selama 3 jam akhirnya tiba di kampung Denge. Selepas ini, saya harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki untuk menuju Waerebo.

Perjalanan diawali dari pos 1 untuk menuju pos 2 dengan waktu tempuh antara 2 jam sampai 3 jam, dengan track cukup terjal. Ini menjadi sebuah tantangan dan memacu adrenaline saya. Di sepanjang perjalanan, lelah sedikit berkurang dengan suguhan pemandangan alam yang indah, panorama pepohonan rindang serta terlihat adanya bunga anggrek hutan. Terdengar pula suara-suara hewan seperti burung maupun serangga.

Melanjutkan perjalanan dari pos 2 menuju Waerebo memakan waktu 1 jam yang merupakan pos terakhir sebelum memasuki perkampungan Waerebo. Pos ini dinamakan Rumah Kasih Ibu. Di tempat tersebut saya diminta untuk membunyikan kentongan. Ini sebagai tanda bahwa akan ada tamu yang berkunjung ke Wae Rebo.

Tibalah saatnya menginjakkan kaki di Desa Wae Rebo. Sesampainya di sana, saya disambut oleh penduduk dan pemuka adat. Kemudian dilanjutkan dengan acara adat, sebelum memasuki rumah adat utama. Saya memberikan uang wa’e lu’u sebesar Rp50.000 untuk para leluhur.

Salah satu hal yang menarik dari Wae Rebo ini adalah rumah adatnya yang berbentuk bulat mirip sebuah kerucut setinggi 30 meter yang dibuat dari perpaduan alang-alang dan ijuk yang menjuntai sampai ke tanah. Wae Rebo merupakan sebuah desa tradisional yang berada di kampung Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Desa kecil ini berada di ketinggian 1.200 mdpl dan berada di tengah-tengah beberapa bukit yang berjajar seperti menjaga tempat ini. Sehingga membuatnya seakan-akan terisolasi.

Tetapi, letaknya yang berada di dalam hutan yang jauh dari jalan raya ini tidak menyurutkan peminat wisata. Banyak wisatawan yang rela melancong jauh-jauh untuk menikmati keindahan setiap sudut Desa Adat Wae Rebo. Bahkan banyak wisatawan dari luar negeri juga yang datang untuk menikmati pesona alam di Wae Rebo.

Desa ini hanya memiliki 7 rumah adat berbentuk lumbung kerucut yang disebut ‘Mbaru Niang’. Inilah yang menjadi ikon utama Wae Rebo. Rumah adat Mbaru Niang tersusun mengitari batu melingkar yang dinamakan compang sebagai titik pusatnya.

Compang merupakan pusat aktivitas warga untuk mendekatkan diri dengan alam, leluhur, dan Tuhan. Arsitektur Mbaru Niang mengandung filosofi dan mencerminkan kehidupan sosial masyarakat Wae Rebo.

Rumah tradisional ini merupakan wujud keselarasan manusia dengan alam serta merupakan cerminan fisik dari kehidupan sosial Suku Manggarai. Suku Manggarai meyakini lingkaran sebagai simbol keseimbangan, sehingga pola lingkaran ini diterapkan hampir di seluruh wujud fisik desa, dari bentuk kampung sampai rumah-rumahnya. Ragam kehidupan dan sosialnya pun juga menjadi daya tarik tersendiri.

Desa Adat Wae Rebo ditinggali oleh 44 keluarga dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian. Mereka menanam kopi, cengkeh, dan umbiumbian. Aktivitas para wanita di Desa Adat Wae Rebo, selain memasak, mengasuh anak, menenun, juga membantu kaum pria di kebun.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masyarakat Desa Adat Wae Rebo menggunakan mata air berasal dari pegunungan. Sumber mata air ini dinamakan Sosor, yang terbagi menjadi 2, yaitu Sosor Pria dan Sosor Wanita.

Keindahan dan keunikan Desa Adat Wae Rebo tentu menjadi daya tarik tersendiri dan menghasilkan sebuah kredit positif di mata dunia, baik dari segi pariwisata maupun budaya.

Pada 2021 silam, Wae Rebo secara resmi diakui sebagai warisan budaya dunia. Pengakuan ini juga disebabkan rumah adat Mbaru Niang di desa Wae Rebo yang dinilai sangat langka. Keunikan tersebut menjadikan desa ini sebagai salah satu lokasi Konservasi Warisan Budaya UNESCO. Selain itu, tahun 2013 Desa Wisata Wae Rebo juga mendapat penghargaan dari Aga Khan dalam industri arsitektur.

Kemudian 2021 lalu, desa ini pun menjadi salah satu dari 3 desa yang mewakili Indonesia dalam ajang Best Tourism Village atau penganugerahan desa wisata terbaik di dunia yang diselenggarakan oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO) atau badan di PBB yang khusus menangani pariwisata.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Pendaftaran KIP Kuliah 2023 Sudah Dibuka, Ini Syarat dan Ketentuannya
Next Post Peringati HUT ke-21, AAUI Selenggarakan Donor Darah

Member Login

or