Bencana hidrometeorologi parah yang berupa sungai meluap, banjir bandang, dan tanah longsor melanda beberapa wilayah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Skala kerusakan yang ditimbulkan bencana ini bukan hanya terlihat dari besarnya jumlah korban jiwa (meninggal), melainkan juga kerusakan aset publik maupun privat, dan nilai kerugian yang ditimbulkan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan data korban per tanggal 10 Desember 2025, tercatat 969 orang meninggal dunia, 254 orang masih dinyatakan hilang, dan sekitar lima ribu menderita luka. Jumlah korban meninggal dunia terbanyak di Aceh yakni sebanyak 391 orang, di Sumatra Utara jumlah korban meninggal 338 orang, dan di Sumatra Barat jumlah korban meninggal dunia sebanyak 235 orang.
BNPB juga melaporkan kerusakan infrastruktur yang meliputi sekitar 1.200 fasilitas umum, 434 rumah ibadah, 219 fasilitas kesehatan, 290 gedung/kantor, 581 fasilitas pendidikan, dan 498 jembatan terdampak. Masih ditambah dengan hampir 158 ribu rumah mengalami kerusakan.
Kepala BNPB, Suharyanto, menyampaikan bahwa total kebutuhan anggaran pemulihan bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat mencapai Rp51,82 triliun. Paling besar dana pemulihan bencana itu digunakan untuk pemulihan di Provinsi Aceh, jumlahnya sekitar Rp 25,41 triliun. Kemudian untuk pemulihan di Sumatra Barat jumlahnya sekitar Rp13,52 triliun dan untuk Sumatra Utara diperlukan dana pemulihan sekitar Rp12,88 triliun.
Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan bencana ini mengakibatkan kerugian ekonomi nasional Rp68,67 triliun. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan bahwa bencana itu menekan Produk Domestik bruto (PDB) hingga 0,29 persen atau setara Rp 68,67 triliun.
Sejalan dengan itu, Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2025 akan bergerak sedikit melambat dari yang ditargetkan akibat bencana itu. Sebelumnya diperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025 sebesar 5,6 persen hingga 5,7 persen, namun dengan terjadinya bencana, diturunkan target ke level 5,5 persen.
Terlepas dari hal itu, pada tanggal 2 Desember 2025, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) secara resmi meluncurkan program asuransi Barang Milik Negara (BMN) dengan skema pendanaan menggunakan Dana Bersama Penanggulangan Bencana atau yang lebih dikenal dengan Pooling Fund Bencana (PFB).
Program asuransi BMN dengan skema PFB yang diluncurkan pada awal Desember ini dilakukan secara piloting pada tiga kementerian/lembaga (K/L), yaitu Kementerian Agama (untuk BMN berupa bangunan pendidikan), Kementerian Kesehatan (untuk BMN berupa bangunan kesehatan), dan Kementerian Sekretariat Negara (untuk BMN berupa bangunan perkantoran, khususnya kawasan istana negara).
Pendekatan ini memungkinkan pemerintah menguji tata kelola, mekanisme pendanaan, dan koordinasi kelembagaan secara terbatas sebelum program ini diterapkan secara menyeluruh pada tahun-tahun berikutnya.
Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, menyampaikan bahwa implementasi asuransi BMN dengan skema PFB ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk melindungi aset strategis dari bencana. Dia berharap kementerian/lembaga dapat terus meningkatkan pengamanan BMN melalui pengalokasian anggaran asuransi, sehingga pelindungan terhadap aset negara semakin optimal.
Seiring peluncuran program asuransi BMN dengan skema PFB ini, Kemenkeu berharap pelindungan terhadap BMN semakin meningkat, sehingga ketahanan fiskal pemerintah dan keberlangsungan pelayanan publik tetap terjaga ketika terjadi bencana.
Melalui pemanfaatan hasil pengembangan PFB, implementasi asuransi BMN dapat diakselerasi, sebagai pelengkap atas asuransi BMN yang didanai dengan DIPA Kementerian/Lembaga. Kebijakan ini diharapkan mampu memperluas cakupan pelindungan BMN sekaligus meningkatkan efisiensi pengelolaan risiko bencana oleh pemerintah.
Tentunya kita berharap agar PFB ini tidak berhenti hanya untuk asuransi BMN, melainkan juga diperluas untuk masyarakat. Besarnya nilai dana yang diperlukan untuk pemulihan bencana hidrometeorologi di Sumatra saat ini, mestinya menyadarkan bahwa ada skema yang dapat dipilih, selain pembiayaan dari APBN.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
