Industri perasuransian Tanah Air hanya punya waktu kurang dari empat tahun untuk memenuhi ketentuan permodalan baru pada 2028. Perusahaan asuransi umum dan jiwa harus memiliki minimum ekuitas sebesar Rp1 triliun pada 2028, sedangkan perusahaan reasuransi sebesar Rp2 triliun, perusahaan asuransi syariah sebesar Rp500 miliar, dan perusahaan reasuransi syariah modal minimumnya harus Rp1 triliun.
Peningkatan ketentuan minimum permodalan juga berlaku untuk industri penunjang asuransi dengan deadline pada 2028. Perusahaan pialang asuransi dan reasuransi harus memiliki modal minimum sebesar Rp5 miliar pada 31 Desember 2028, sedangkan perusahaan penilai kerugian asuransi (adjuster) harus memiliki modal mini mum sebesar Rp1,5 miliar.
Hasil riset yang dilakukan oleh Lembaga Riset Media Asuransi (LRMA) menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari perusahaan asuransi dan reasuransi, baik konvensional maupun syariah, yang bakal lolos ketentuan permodalan secara organik pada 2028. Organik yang dimaksud adalah pemupukan modal dari hasil laba perusahaan. Dari 93 perusahaan asuransi dan reasuransi baik konvensional dan syariah yang dianalisis, hanya 12 perusahaan yang akan memenuhi ketentuan modal minimum KPPE 2 dan 19 perusahaan yang akan memenuhi ketentuan KPPE 1 pada 2028, secara organik.
Artinya, mayoritas perusahaan asuransi dan reasuransi baik konvensional maupun syariah harus extra effort untuk mencari opsi-opsi pemenuhan modal minimum secara anorganik melalui suntik modal atau merger & acquisition (M&A). Di tengah RoI dan RoE sektor asuransi yang rendah, opsi anorganik ini tentu tak mudah dilakukan.
Bagi perusahaan yang tidak dapat memenuhi ketentuan minimum permodalan pada 2028, memang ada opsi bergabung ke dalam Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi (KUPA). Namun demikian, proses mencari induk KUPA juga bukanlah pekerjaan yang mudah sehingga ada potensi perusahaan untuk ‘lempar handuk’ dan mengembalikan izin usahanya ke OJK alias tutup usaha.
Konsolidasi dan perampingan jumlah pemain di industri perasuransian nasional merupakan tujuan yang ingin dicapai dari penerbitan POJK 23 dan POJK 24 ini. Misi ini pun bagian dari eksekusi salah satu pilar dalam Roadmap Perasuransian 2023-2027 yang diluncurkan pada Senin, 23 Oktober 2023.
Tak ada yang salah dengan misi ini karena memang sudah sepatutnya industri perasuransian memiliki pondasi yang kuat dari sisi permodalan, mengingat posisinya sebagai penanggung risiko dan perkembangan nilai pertanggungan risiko yang kian meningkat ke depannya. Namun demikian, OJK hendaknya juga mengantisipasi efek berantai yang bakal ditimbulkan dari kebijakan permodalan ini pada 2028.
Misalnya, soal bagaimana nasib karyawan yang perusahaannya harus tutup atau merger? Bagaimana nasib karyawan yang perusahaannya melakukan perampingan struktur SDM karena produk yang dijual hanya produk simple dari yang sebelumnya dapat menjual semua produk asuransi? Bagaimana nasib nasabah dari perusahaan asuransi yang tutup atau merger? Dan bagaimana nasib para agen, mitra, dan vendor dari perusahaan asuransi yang tutup atau merger?
Sedikit berbagi cerita tentang kisah pencabutan izin perusahaan asuransi yang sudah dilakukan oleh OJK beberapa tahun terakhir, ternyata menyisakan piutang hingga ratusan miliar bagi vendor atau mitra yang hingga kini nasibnya tak jelas apakah akan dibayar atau menguap begitu saja. Belum lagi kisah pilu dari nasabah yang hak klaimnya tak kunjung dibayar.
Bila menilik data Insurance Directory di Majalah Media Asuransi, jumlah perusahaan asuransi jiwa saat ini mencapai 56 perusahaan, perusahaan asuransi umum mencapai 73 perusahaan, perusahaan reasuransi mencapai 8 perusahaan, perusahaan pialang asuransi mencapai 154 perusahaan, perusahaan pialang reasuransi mencapai 41 perusahaan, dan perusahaan penilai kerugian asuransi mencapai 26 perusahaan. Total ada 358 perusahaan. Silakan dibayangkan, dari 358 perusahaan tersebut, ada berapa banyak karyawan, nasabah, vendor/mitra atau bahkan sektor supporting lainnya yang bakal terdampak dari aturan permodalan ini? Yang pasti angkanya tidak kecil.
Jika dari pengalaman pencabutan izin usaha perusahaan asuransi yang jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari saja efeknya cukup mengguncang industri asuransi Tanah Air, bagaimana bila jumlahnya lebih besar dan terjadi dalam waktu bersamaan? Potensi ‘chaos’ tentu bisa saja terjadi, terlebih ini tidak hanya bicara soal nasib nasabah tapi juga soal karyawan, agen, mitra, dan para vendor.
Oleh karena itu, OJK perlu menyiapkan langkah-langkah mitigasi agar niatan bagus memperkuat industri asuransi ini, tidak berujung menciptakan masalah baru yang lebih besar.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News