Meski tengah menghadapi berbagai persoalan dan tantangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklaim kinerja industri asuransi Tanah Air berhasil menunjukkan tren pemulihan setelah ‘terkoreksi’ dalam akibat pandemi Covid-19. Kabar baik ini disampaikan langsung oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono.
Data OJK mencatat bahwa hingga Maret 2023, total nilai aset dan premi industri asuransi mengalami pertumbuhan masing-masing 5,9 persen dan 12,87 persen. Menurut Ogi, pertumbuhan ini didorong oleh pertumbuhan penerimaan premi pada lini utama sektor asuransi umum yaitu properti yang tumbuh 4,95 persen dan kendaraan bermotor sebesar 9,56 persen.
Hingga kuartal I/2023, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat premi industri asuransi umum tumbuh 16,4 persen menjadi Rp26,09 triliun dibandingkan dengan kinerja periode yang sama 2022 sebesar Rp22,42 triliun. Pertumbuhan tertinggi dibukukan oleh lini bisnis asuransi suretyship dengan pertumbuhan sebesar 60,2 persen menjadi Rp508 miliar dibandingkan dengan kuartal I/2022 sebesar Rp317 miliar.
Pertumbuhan terbesar kedua dibukukan oleh lini bisnis asuransi liability yakni sebesar 39,4 persen, dari Rp1,05 triliun per kuartal I/2022 menjadi Rp1,46 triliun per kuartal I/2023.
Adapun secara nilai, premi terbesar per kuartal I/2023 dibukukan lini bisnis properti dengan nilai Rp6,4 triliun, naik 11,9 persen dibandingkan dengan per kuartal I/2022 yang sebesar Rp5,72 triliun. Kemudian lini bisnis asuransi kendaraan bermotor sebagai kontributor terbesar kedua dengan nilai premi sebesar Rp5,19 triliun per kuartal I/2023, tumbuh 9,6 persen dibandingkan dengan per kuartal I/2022 yang hanya Rp4,74 triliun.
Di posisi ketiga penyumbang premi terbesar industri asuransi umum adalah lini bisnis asuransi kredit dengan nilai premi sebesar Rp4,16 triliun, naik 27,4 persen dibandingkan dengan premi per kuartal I/2023 yang tercatat Rp3,26 triliun. Kemudian di posisi keempat penyumbang premi terbesar adalah lini bisnis asuransi kesehatan dengan nilai premi sebesar Rp2,72 triliun, meningkat 19,7 persen dibandingkan dengan per kuartal I/2022 sebesar Rp2,27 triliun.
Di sisi lain, kinerja perusahaan reasuransi nasional masih cukup menantang. Hingga kuartal I/2023, kinerja premi industri reasuransi nasional mengalami pertumbuhan negatif yaitu -3,3 persen menjadi Rp5,22 triliun dibandingkan dengan kinerja kuartal I/2022 sebesar Rp5,4 triliun. Sebagaimana kita ketahui, sektor reasuransi merupakan lini bisnis yang sangat terpukul akibat dampak pandemi Covid-19. Terlebih lagi, sejumlah perusahaan reasuransi harus mengalami masalah solvabilitas yang dipicu oleh lonjakan klaim asuransi kredit.
Sementara itu untuk industri asuransi jiwa, OJK mencatat kinerja aset dan penerimaan premi sektor asuransi jiwa tumbuh negatif masing-masing -1,09 persen dan -9,8 persen akibat kebijakan baru yang dikeluarkan OJK yaitu SEOJK No.5/2022 tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI) alias unitlink.
Meski terkontraksi secara pendapatan premi, data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat adanya pertumbuhan jumlah tertanggung selama periode Januari-Maret 2023 sebesar 16,6 persen atau terdapat penambahan sebanyak lebih dari 12 juta tertanggung.
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon mengatakan bahwa peningkatan jumlah tertanggung tersebut sejalan dengan pertumbuhan jumlah uang pertanggungan. Total uang pertanggungan industri asuransi jiwa mencapai Rp5.002,29 triliun atau meningkat 17,3 persen dibandingkan dengan hasil capaian pada kuartal I/2022. Menurut Budi, hal ini mengindikasikan bahwa pemahaman masyarakat terhadap fungsi proteksi asuransi jiwa makin bertumbuh.
Tak bisa dipungkiri bahwa masa pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari 2 tahun telah mengoreksi kinerja industri asuransi nasional. Bahkan sejumlah perusahaan mengalami masalah solvabilitas. Oleh karena itu, terlepas klaim pemulihan yang disampaikan oleh OJK terkait kondisi industri asuransi nasional, tetapi pada kenyataanya kita melihat masih terdapat perusahaan asuransi dan reasuransi yang berjuang agar bisa survive.
Wajar bila muncul pertanyaan apakah tren pemulihan itu benar adanya dan akan berkelanjutan? Pasalnya, industri asuransi nasional kini menghadapi tantangan berat implementasi PSAK 74 atau IFRS 17 yang berpotensi menggerus pencatatan pendapatan premi. Belum lagi, wacana kenaikan permodalan industri asuransi dari OJK pasti juga akan menambah berat beban yang dipikul oleh pelaku usaha asuransi dan reasuransi.
Tentu kita berharap regulator bisa lebih cermat dan detail dalam mendiagnosa permasalahan yang dihadapi industri asuransi nasional saat ini. Tujuannya adalah agar obat yang diberikan bisa benar-benar mendorong pemulihan dan kesehatan industri asuransi nasional, bukan malah memberikan dampak negatif yang berujung ‘mematikan’ pelaku industri yang skalanya kecil dan menengah.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News