Sudah 8 tahun berlalu dari tenggat waktu yang diamanatkan oleh Pasal 53 ayat 4 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, tetapi sampai saat ini Lembaga Penjamin Pemegang Polis (LPPP) belum beroperasi. Dalam perjalanannya, lembaga penjamin polis yang awalnya akan berdiri sendiri sebagai sebuah lembaga, akhirnya dimasukkan ke dalam struktur organisasi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang terbit pada 12 Januari 2023 ini memberikan mandat kepada LPS untuk menjalankan Program Penjaminan Polis Asuransi (PPP). LPS diberi waktu 5 tahun sejak UU P2SK diundangkan untuk mempersiapkan pelaksanaan PPP. Artinya, program yang digadang-gadang akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap asuransi ini baru akan ‘hadir’ pada 2028.
Saat ini, Kementerian keuangan dan unsur pemerintahan terkait lainnya tengah menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan turunan, sedangkan LPS menyiapkan aneka aturan teknis di bawahnya. Menurut Ketua Dewan Komisioner (DK) LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, LPS sebenarnya sudah menyiapkan semua peraturan pelaksana PPP. Begitu PP terbit, LPS akan langsung meratifikasi dengan peraturan pelaksana di bawahnya sehingga PPP langsung bisa diimpelentasikan.
Beberapa aturan main PPP telah dibocorkan oleh pihak LPS. Menurut Direktur Eksekutif Manajemen Strategis dan Perumusan Kebijakan LPS, Ridwan Nasution, PPP hanya akan menjamin asuransi komersial baik umum maupun jiwa yang murni mengandung proteksi. Dengan kata lain, produk asuransi komersial yang dikaitkan dengan investasi seperti PAYDI/unitlink tidak akan masuk penjaminan PPP.
Argumentasinya adalah bila produk asuransi berbasis investasi tersebut dijamin dalam PPP maka akan memicu tindakan spekulatif tidak hanya oleh perusahaan asuransi tapi juga nasabah.
Dalam skema PPP, penjaminan manfaat polis dapat berjalan di saat perusahaan asuransi collapse dan dicabut izin usaha oleh OJK. Artinya, begitu perusahaan asuransi dicabut izin usahanya, LPS akan hadir untuk membayar pemegang polis sesuai dengan certain limit-nya. Terkait dengan nilai batasan manfaat yang bakal dijamin oleh PPP hingga saat ini masih didiskusikan dengan pihak Kementerian Keuangan dan OJK.
Selain nilai batasan manfaat yang dijamin, hal lain yang masih dibahas dengan Kementerian Keuangan adalah terkait dengan batasan minimum tingkat kesehatan perusahaan asuransi yang dapat bergabung ke dalam program PPP. LPS mengusulkan minimum Risk Based Capital (RBC) perusahaan asuransi yang dapat bergabung program PPP adalah di level 200 persen atau di atas threshold minimum yang dipersyaratkan OJK yaitu 120 persen.
Dalam program ini, LPS akan mengenakan iuran awal (initial contribution) satu kali pada saat awal keanggotaan dan iuran rutin atau premi kepesertaan sebanyak dua kali dalam setahun yaitu setiap Januari dan Juli. Skema iuran rutin ini serupa dengan yang diberlakukan kepada industri perbankan. Terkait besaran iuran kepesertaan ini juga masih dalam pembahasan antara LPS, Kemenkeu, dan OJK, serta akan dikonsultasikan kepada DPR.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan agar PPP tidak hanya melindungi nasabah tapi juga mencakup mekanisme resolusi komprehensif bagi perusahaan asuransi yang menghadapi masalah. Tujuannya adalah untuk memberikan pelindungan yang lebih adil dan menyeluruh kepada pemegang polis serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap industri asuransi Indonesia.
Lalu bagaimana mekanisme PPP ini bekerja? Saat ada perusahaan asuransi peserta PPP dicabut izin usahanya oleh OJK, LPS terlebih dahulu akan berupaya mentransfer seluruh polis aktif ke perusahaan lain. Namun, bila tidak ada perusahaan lain yang mau mengambilalih maka LPS akan mengembalikan sisa premi kepada pemegang polis.
Sementara itu untuk klaim dari polis yang sudah jatuh tempo atau sedang dalam proses, LPS akan melakukan pembayaran klaim secara langsung kepada pemegang polis sesuai dengan limit manfaat yang dijamin.
Dalam menjalankan program ini, LPS akan bersinergi dengan OJK terkait hasil pengawasan perusahaan asuransi yang dalam status pengawasan khusus atau menunjukkan indikasi tidak bisa diselamatkan yang bakal berujung pencabutan izin usaha. LPS dan OJK juga akan saling bertukar informasi atau data yang dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang diatur dalam regulasi perasuransian.
Kehadiran PPP sangat mendesak di tengah penetrasi asuransi yang masih sangat rendah. Kepercayaan masyarakat terhadap asuransi harus dipulihkan, selain dengan memperbaiki praktik bisnis, manajemen risiko, dan tata kelola perusahaan asuransi, juga dengan jaminan ‘keamanan’ bagi para pemegang polis melalui PPP.
Meminjam jargon Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, M. Jusuf Kalla, “Lebih Cepat Lebih Baik”, rasanya terlalu lama untuk menunggu sampai dengan 2028. Toh, LPS sudah menyatakan diri ready to go, jadi tunggu apalagi? Penerbitan PP harus dipercepat!
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News