Kota Penang, Malaysia, selama ini dikenal sebagai tujuan wisata medis bagi wisatawan asal Indonesia. Rumah sakitnya menawarkan layanan berkualitas dengan harga yang lebih bersahabat.
Tetapi siapa sangka, di balik reputasi medisnya, kota ini menyimpan cerita lain yang tak kalah menarik. Mulai dari suasana tropis yang hangat, mural jalanan yang artistik, kuliner yang menggoda, hingga lorong-lorong tua yang membawa kita menyusuri jejak sejarah.
Perjalanan penulis ke Penang dimulai dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 09.15 pagi. Setelah sekitar tiga jam mengudara, pesawat mendarat di Bandara Internasional Pulau Pinang, Bayam Lepas, pukul 12.33 siang saat sinar matahari sedang teriknya. Begitu keluar dari area pengambilan bagasi, langsung menuju hotel bintang lima di tengah kawasan George Town.
Hotel itu dikelilingi bangunan tua berarsitektur kolonial. Dari balik jendela kamar, pemandangan laut dan kapal-kapal besar tampak begitu dekat. Di sisi lain, menjulang tinggi The TOP Komtar Penang, gedung tertinggi di kota ini sekaligus magnet wisata yang membuat saya langsung penasaran pada ujung bangunan berpuluh-puluh lantai tersebut.
Tak jauh dari penginapan, ada restoran sederhana bernama Kassim Nasi Kandar. Hidangan khas Penang ini terdiri dari nasi putih, aneka lauk, dan siraman kuah kari melimpah yang disebut “nasi banjir”. Rasa nasi banjir ini bagi saya, si pemilik lidah asli Indonesia, rasanya begitu pas, hal ini karena nasi ini kaya rempah seperti halnya masakan di Tanah Air.
Waktu berlalu, setelah perut terisi, saya memutuskan untuk berjalan kaki mengelilingi jalan-jalan sekitar hotel dengan bantuan Google Map untuk menuju The TOP Komtar, gedung yang membuat saya penasaran saat sampai di hotel tadi siang. Sebelum naik ke atas, menjelajahi area mall vintage di bagian bawahnya. Toko-toko suvenir, kaos bertuliskan “Penang”, tenant makanan, hingga pernak-pernik lucu mudah ditemukan di sini.
Bangunan ini memiliki 68 lantai dengan dua lantai bangunan menawarkan sesuatu yang khas bagi pengunjung, yakni lantai 65 dan 68. Lantai 65 menawarkan dek observasi dengan pemandangan 360 derajat kota, sementara lantai 68 menjadi rumah bagi Rainbow Skywalk, sebuah jembatan kaca yang menyuguhkan panorama dari ketinggian.
Saya juga sempat mengunjungi Jurassic Research Centre yang menyimpan lebih dari 200 replika dinosaurus, serta Top Boutique Aquarium yang memperlihatkan keindahan dunia bawah laut.
Puncaknya, saya naik ke Rainbow Skywalk menjelang matahari terbenam, di sana menyaksikan langit perlahan berubah warna di balik siluet kota George Town dari atas sana, rasanya seperti waktu berjalan lambat. Saya duduk di resto atas, membiarkan angin sore mengantarkan ketenangan yang jarang saya rasakan di tengah rutinitas di Jakarta.
Malam harinya, memilih menjelajah kawasan Little India yang jaraknya sekitar 16 kilometer dari tempat penginapan. Untuk menuju ke kawasan tersebut menggunakan taksi daring. Begitu turun, suasana berubah drastis. Musik India berdentum pelan, papan toko beraksara Dewanagari berjajar, dan aroma rempah-rempah memenuhi udara.
Jalanan ini seolah membawa saya ke tempat yang jauh dari Malaysia, padahal hanya beberapa menit dari pusat kota. Toko, bangunan, bahkan makanan yang dijajakan terasa begitu otentik. Selesai mengelilingi Little India dan makan di restoran khas India, tepat jam 10 malam, memutuskan kembali ke hotel.
Hari kedua, saya berjalan kaki ke Cheong Fatt Tze, The Blue Mansion. Lokasinya tidak sampai dua kilometer dari hotel. Di sepanjang perjalanan, menikmati deretan bangunan tua yang membuat George Town terasa seperti galeri arsitektur terbuka.
Tujuan berikutnya adalah Penang Hill atau Bukit Bendera. Jaraknya sekitar sembilan kilometer dari kota. Untuk menuju puncak, naik kereta funikular, sebuah kereta kabel yang dapat mengangkut hingga seratus orang. Dalam waktu 15 menit, saya sampai di puncak. Sepanjang perjalanan, pepohonan tropis membingkai pandangan. Di atas sana, saya menjelajah The Habitat, mengunjungi Penang Hill Gallery, dan menggantung gembok cinta di Love Lock Bridge.
Di hari ketiga, saya menyempatkan diri kembali ke Armenian Street. Di sana banyak aktivitas yang memanjakan pengunjung, seperti membatik di museum, masuk ke kuil, mencicipi kuliner lokal, dan keindahan dindingdinding tua yang ikonik. Saya pun bergegas mengambil ponsel dan mencari spot-spot mural yang sempat terlewat saya abadikan semalam, karena rasanya belum sah ke Penang tanpa berfoto di depan mural-mural ikonik itu.
Menjelang siang, sebelum jadwal penerbangan kembali ke Tanah Air pukul 14.00, saya iseng menelusuri jalanan hingga menemukan kafe unik bernama Loong Fong Café di Jalan Lebuh Pantai. Kafe ini menghadirkan suasana nostalgia ala kopitiam Tionghoa tahun 70–80an yang otentik dan penuh karakter.
Menu di Loong Fong Café penuh dengan hidangan lokal favorit yang tampil dengan sentuhan klasik dan sedikit modern. Beberapa sajian ikonik yang patut dicoba, seperti
Butter Toast dengan setengah telur rebus, versi kukus atau panggang, disajikan hangat dengan selai kelapa kaya manis-gurih. Claypot Lou Shu Fun, bihun goreng berkuah soy sauce yang creamy dengan kuning telur setengah matang dan udang besar, disajikan dalam claypot panas.
Di sela perjalanan, saya sempat berbincang dengan Aleta Hanafi, seorang bankir asal Jakarta yang sudah ke Penang untuk ketiga kalinya. Baginya, kota ini punya pesona yang tak habis-habis.
“Mengapa Penang menjadi kota pilihan destinasi wisata saya? Pertama, kotanya kecil, enak. Terus udah gitu, sangat dekat dengan kita (Indonesia). Dari segi vibes itu tuh
sangat dekat dan sangat menarik. Jadi kayaknya kalau misalnya pergi ke Penang gitu, dalam satu-dua hari tuh banyak yang bisa kita lihat ya. Culture, makanan gitu,” ujar Aleta.
“Terus affordable juga ya buat semua gitu loh. Jadi kayak ibaratnya kalau saya kan senang culture ya. Saya suka culture, saya suka makan gitu. Jadi di Penang itu semuanya sudah ada. Kayak di Georgetown, ada makanan, ada culture-nya, ada ceritanya, budayanya. Itu sih karena itu ya,” tambahnya.
Saya dapat memahami apa yang Aleta rasakan. Penang bukan hanya kota yang indah dipandang, tetapi juga menyuguhkan ruang untuk bernapas, merenung, dan menikmati hidup dengan ritme yang lebih pelan. Kota ini bukan hanya destinasi, tetapi juga tempat untuk menemukan kembali kelegaan yang sempat hilang dikikis oleh pekerjaan di tengah metropolitan.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News