Bisnis asuransi (dan reasuransi) syariah punya ruang pertumbuhan yang sangat sangat sangat besar. Kata sangat sengaja diulang tiga kali untuk menggambarkan betapa besarnya potensi atau kue bisnis yang dapat digarap oleh industri asuransi syariah. Kenapa? Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Hingga akhir 2023, jumlah penduduk muslim di Indonesia mencapai 248,37 juta jiwa. Di sisi lain, produk keuangan syariah juga tidak terbatas hanya untuk warga muslim tapi juga bisa dibeli oleh warga non muslim. Artinya, scope of market asuransi syariah jauh lebih luas lagi.
Menyadari besarnya potensi bisnis keuangan syariah ini, pemerintah telah memprakarsai Halal Value Chain (HVC) yang merupakan upaya terintegrasi industri halal, mulai dari produk, distribusi, pemasaran, hingga konsumsi. Terbukti, perkembangan kinerja HVC ini cukup positif setiap tahunnya. Pada tahun 2023, ekonomi dan keuangan syariah Indonesia melanjutkan pertumbuhan positif sebesar 3,93 persen yang didorong oleh kinerja sektor unggulan HVC.
Secara keseluruhan, sektor unggulan HVC menopang hampir 23 persen dari ekonomi nasional. Sektor unggulan tersebut adalah sektor pertanian dan makanan minuman halal, pariwisata ramah muslim, serta fesyen muslim. Prestasi ini membuat peringkat Indonesia dalam Global Islamic Economy Indicator 2023 naik satu tingkat ke posisi ketiga sebagai negara dengan ekosistem ekonomi syariah terbaik.
Namun demikian, dari sisi performa keuangan syariah masih menghadapi tantangan. Pasalnya, peringkat Indonesia dalam Global Islamic Finance Report 2023 melorot satu peringkat ke posisi keempat.
Industri asuransi syariah sebagai salah satu bagian dari keuangan syariah masih berkutat pada tingkat market share yang di bawah lima persen atau tepatnya 4,9 persen pada 2023 untuk total aset dibandingkan dengan total aset industri asuransi nasional. Sementara itu, market share pendapatan premi (kontribusi) asuransi syariah hanya 7,79 persen atau Rp25 triliun pada 2023 dari total pendapatan premi industri asuransi sebesar Rp321 triliun.
Dari sisi pelaku usaha, jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi syariah full fledged adalah 16 perusahaan, sedangkan Unit Syariah (US) mencapai 42 US. Sesuai POJK Nomor 11/2023, semua unit syariah tersebut harus sudah melakukan pemisahan (spin off) paling lambat pada 31 Desember 2026.
Berdasarkan Rencana Kerja Pemisahaan Unit Syariah (RKPUS) yang sudah diterima Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat 32 unit syariah yang akan melakukan pendirian perusahaan baru (spin off), sedangkan sisanya sebanyak 10 unit syariah menyatakan tidak akan spin off alias mengalihkan portofolio unit syariahnya kepada perusahaan lain. Bila rencana spin off tersebut berjalan sesuai target, jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi syariah full fledged akan bertambah menjadi 48 perusahaan pada 2026.
Bila melihat besarnya potensi bisnis HVC dan perkembangan bisnis asuransi syariah yang terkesan jalan di tempat, tampak tidak mudah menjalankan bisnis asuransi syariah di tengah besarnya kue bisnis yang tersedia. Lalu apa penyebabnya?
Selain faktor literasi keuangan syariah yang masih perlu ditingkatkan lagi, faktor kurangnya dukungan regulasi terkait penggunaan jasa asuransi syariah turut mempengaruhi performa asuransi syariah nasional. Masih banyak dijumpai proyek-proyek syariah yang risk coverage-nya menggunakan asuransi konvensional. Hingga saat ini, tidak ada regulasi yang mewajibkan penggunaan asuransi syariah dalam setiap proyek-proyek atau aktivitas bisnis terkait ekosistem halal.
Dalam POJK Nomor 11/2023 tentang Pemisahan Unit Syariah Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, memang telah diberikan insentif bahwa lembaga jasa keuangan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah harus memprioritaskan penggunaan produk dan atau layanan asuransi syariah dan reasuransi syariah. Namun, frasa ‘harus memprioritaskan’ ini dianggap belum cukup kuat mendorong penggunaan layanan asuransi syariah.
Pada praktiknya, frasa tersebut tidak lebih dari sekadar formalitas prosedur yang pada ujungnya jasa yang digunakan adalah layanan asuransi konvensional. Oleh karena itu, frasa ‘harus memprioritaskan’ sebaiknya diganti dengan frasa yang lebih firmed yaitu ‘WAJIB MENGGUNAKAN’. Bila frasa ini tidak bersifat compulsory, maka tidak ada sanksi yang mengikat sehingga layanan asuransi dan reasuransi syariah pada akhirnya tidak akan dipakai.
Jadi, sebenarnya cara untuk meningkatkan performa industri asuransi syariah itu sangat gampang. Cukup diberi kuncian dalam regulasi terkait kewajiban penggunaan layanan asuransi syariah. Toh secara prinsip syariah, setiap usaha atau bisnis syariah seyogyanya di-support oleh layanan keuangan syariah, sebagaimana konsep ekosistem halal dalam HVC.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News