1
1

Ekonomi Asia Pasifik dalam Pemulihan, Saatnya Melirik Reksa Dana Saham

Pergerakan pasar reksa dana. | Foto: Ist

Media Asuransi, JAKARTA – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai pasar saham di kawasan Asia Pasifik ex Jepang (Asia Pasifik tidak termasuk Jepang) memiliki potensi pertumbuhan yang menarik seiring berlangsungnya pemulihan ekonomi di kawasan ini. Inflasi yang terkendali, terbukanya peluang pemangkasan suku bunga oleh bank sentral di negara-negara Asia, serta berbagai kebijakan pemerintah yang tepat sasaran mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan ini.

Chief Economist & Investment Strategist MAMI, Katarina Setiawan, mengatakan bahwa dibandingkan Amerika Serikat (AS) dan Eropa, inflasi di Asia tidak terlalu intens. “Dalam empat tahun terakhir, sejak akhir Juni 2019 hingga akhir Juni 2023, inflasi di AS dan Eropa meningkat jauh di atas tren sebelum pandemi, yaitu dari 2,1 persen ke 5,3 persen dan dari 1,3 persen ke 5,4 persen secara berurutan. Sedangkan inflasi di Asia masih dalam tren yang sama dengan masa sebelum pandemi, terkini angkanya sedikit di atas 2 persen. Inflasi inti di semua negara kawasan Asia juga terlihat menurun, kecuali Jepang,” katanya dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa, 12 September 2023.

Lebih lanjut Katarina mengatakan bahwa walaupun inflasi global telah mencapai puncaknya, namun terlalu prematur untuk mengharapkan penurunan suku bunga global di tahun 2023, karena inflasi inti masih tetap tinggi.

|Baca juga: Investasi: Pilih Reksa Dana atau SBN

Sementara itu, Senior Portfolio Manager Equity MAMI, Samuel Kesuma, mengatakan, bahwa reksa dana saham offshore dengan exposure di kawasan Asia Pasifik memiliki potensi pertumbuhan yang menarik. “Saat ini, saham-saham di Asia Pasifik ex Jepang diperdagangkan dengan valuasi yang lebih menarik dibandingkan saham-saham di negara maju.  Sebagai gambaran, rasio PE (Price Earning) indeks MSCI Asia Pasifik ex Jepang lebih murah 20 persen dibandingkan kawasan negara maju,” jelasnya.

Baru-baru ini Morgan Stanley menurunkan peringkat saham-saham Cina karena masalah perlambatan ekonomi dan kegagalan sektoral, sehingga saat ini indeks MSCI Cina diperdagangkan di bawah rata-rata perkiraan PE 10 tahun. Merespons masalah ini, pemerintah Cina mengeluarkan enam kebijakan yang spesifik dan ditargetkan untuk tepat sasaran untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.

Samuel menguraikan enam kebijakan tersebut berserta pandangan MAMI: pertama, kebijakan meningkatkan permintaan dalam negeri dengan fokus pada pemulihan dan peningkatan konsumsi. “Menurut kami, perbaikan di sektor jasa akan terus mendorong pemulihan ekonomi, terutama dimulai pada industri perjalanan wisata, perhotelan, dan pakaian olahraga,” katanya.

Kedua, kebijakan memperpanjang masa pengurangan dan pembebasan pajak kendaraan energi baru (NEV) hingga tahun 2027. Peningkatan penjualan kendaraan listrik tentunya akan ikut mendorong permintaan atas komponen kendaraan listrik, termasuk baterai, sistem termal, transmisi dan motor listrik, dan lain-lain. Ketiga, kebijakan stabilisasi sektor properti. Kami melihat pemulihan sektor properti di Cina akan berlangsung secara bertahap. Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan neraca keuangan yang kuat diharapkan dapat pulih lebih cepat.

Keempat, kebijakan untuk mendukung pengembangan ekonomi dengan berusaha mengembangkan ekonomi digital. “Menurut kami, pemulihan industri online harus dipercepat. Platform e-commerce yang digunakan oleh penduduk di kota-kota kecil akan mengalami peningkatan yang lebih kuat. Selain itu, pengembangan kecerdasan buatan (AI) juga merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan,” kata Samuel.

Kelima, kebijakan membangun swasembada sains dan teknologi. Perusahaan semikonduktor (komponen, rumah desain, peralatan) dan perusahaan perangkat lunak harus memanfaatkan peluang lokalisasi dan perkembangan teknologi AI.  Keenam, percepatan modernisasi sistem industri dengan mempercepat digitalisasi di industri tradisional dan UKM. Perusahaan perangkat lunak dan otomasi, serta platform industri digital diharapkan menjadi penerima manfaat utama dari kebijakan ini.

|Baca juga: MAMI: Investasi di Reksa Dana Pendapatan Tetap Masih Menarik

Sementara itu, salah satu pasar terbesar di Asia lainnya, yaitu India, telah memiliki agenda reformasi yang kohesif dan konsisten sejak tahun 2014. India memiliki siklus pertumbuhan yang baik dan saling terhubung. Formalisasi bisnis dan digitalisasi yang terjadi di India, didukung oleh pasar domestik India yang besar dan insentif reinvestasi dari pemerintah mampu meningkatkan makroekonomi India, memberikan keuntungan yang lebih tinggi bagi perusahaan, meningkatkan belanja modal (capex), dan menciptakan pertumbuhan kredit yang lebih baik.

Samuel mengatakan bahwa India akan mendapatkan keuntungan sebagai friend-shore manufaktur global. Faktor pendukungnya antara lain karena upah industri manufaktur India sangat kompetitif, lebih rendah dibandingkan Malaysia, China, Taiwan, Vietnam, dan Filipina. “Selain itu, populasi pekerja di India diperkirakan akan melampaui Cina. Jaringan transportasi India juga telah meningkat secara signifikan. Pada akhirnya, peningkatan ekspor neto India akan berdampak pada perbaikan transaksi berjalan negaranya, dan diperkirakan akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pertumbuhan global,” tuturnya.

Lebih lanjut Katarina memaparkan makroekonomi Indonesia yang menurutnya memiliki fundamental perekonomian yang kuat.  Inflasi di Indonesia termasuk yang terendah diantara negara-negara berkembang.  Keuangan publik di Indonesia pun merupakan yang paling sehat diantara negara-negara berkembang lainnya.

“Perbandingan antara utang swasta terhadap PDB baru mencapai 29 persen, sehingga masih ada peluang bagi sektor swasta untuk meningkatkannya. Perdagangan komoditas mengalami surplus seiring dengan persentase PDB yang telah melambat, namun angkanya tetap jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum Covid-19,” ujar Katarina.

Ditambahkan, untuk memanfaatkan peluang pasar di kawasan Asia Pasifik ex Jepang, investor dapat berinvestasi di reksa dana saham offshore yang berfokus pada saham-saham di kawasan ini. Salah satunya yaitu reksa dana saham Manulife Saham Syariah Asia Pasifik Dollar AS (MANSYAF) yang portofolionya terdiri dari saham-saham perusahaan Asia berskala global. Reksa dana ini memberikan imbal hasil sebesar 7,98 persen year to date (ytd) (Fundfact sheet per akhir Juli 2023, diperoleh dari Homepage (manulifeim.co.id)).

Selain melalui MAMI, investor juga dapat berinvestasi di MANSYAF melalui 24 dari 36 mitra distribusi MAMI, yaitu Bank Central Asia, Bank CIMB Niaga, Bank Commonwealth, Bank CTBC Indonesia, Bank Danamon Indonesia, Bank DBS Indonesia, Bank HSBC Indonesia, Bank KEB Hana Indonesia, Bank Mandiri, Bank Maybank Indonesia, Bank Mega, Bank Negara Indonesia, Bank OCBC NISP, Bank Permata, Bank Tabungan Negara, Bank UOB Indonesia, Citibank NA Indonesia, Standard Chartered Bank, Bareksa, BMoney, Fundtastic, Invesnow Principal Optima, Moduit, dan Tanamduit (disusun berdasarkan urutan abjad).

 

Editor: S. Edi Santosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Market Brief: Wall Street Rontok Sebab The Fed Ragu Turunkan Suku Bunga
Next Post IHSG Diprediksi Mixed, Ajaib Sarankan KLBF, JSMR, DRMA

Member Login

or