1
1

Emisi Obligasi Tower Bersama Rp2,5 Triliun Diganjar Peringkat AA+

PT Tower Bersama Infrastructure Tbk | Foto: tower-bersama.com

Media Asuransi, JAKARTA – Fitch Ratings Indonesia telah menetapkan Peringkat Nasional Jangka Panjang ‘AA+(idn)’ untuk obligasi PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBI, BBB-/AA+(idn)/Stabil) senilai sampai Rp2,5 triliun.

Obligasi ini merupakan penerbitan tahap ke-enam dari program obligasi berkelanjutan perusahaan sebesar Rp15 triliun dan seluruh pendapatan dari obligasi ini akan digunakan untuk membiayai kembali utang anak perusahaan.

Obligasi tersebut diperingkat sama dengan Peringkat Nasional Jangka Panjang TBI karena utang tersebut merupakan kewajiban senior tanpa jaminan dari perusahaan.

Dikutip dari keterangan resminya, Fitch menjelaskan bahwa peringkat Nasional ‘AA’ menunjukkan ekspektasi tingkat risiko gagal bayar yang sangat rendah dibandingkan dengan emiten atau obligasi lain di negara atau serikat moneter yang sama. Risiko gagal bayar yang melekat hanya sedikit berbeda dari emiten atau obligasi dengan peringkat tertinggi di negara tersebut.

|Baca juga: Fitch Afirmasi Peringkat Tower Bersama Infrastructure BBB-/AA+ Outlook Stabil

Fitch memperkirakan TBI akan menjaga EBITDA net leverage di bawah 5,0x. Manajemen berkomitmen pada peringkat investment grade dan akan mempertahankan rasio net debt/EBITDA kuartal terakhir yang disetahunkan di bawah 5,0x selama jangka pendek sampai menengah. EBITDA net leverage telah membaik ke 4,5x pada 3Q22 (2021: 5,1x) setelah pelunasan fasilitas sindikasi dolar AS, yang didanai oleh penjualan saham treasury senilai USD225 juta kepada pemegang saham langsung, Bersama Digital Infrastructure Asia Pte Ltd.

Fitch menilai TBI memiliki risiko pembaruan kontrak yang terbatas, mengingat sekitar 18% dari kontrak per 1Q22 hanya akan jatuh tempo pada tahun 2023-2024. “Kami percaya permintaan sewa dari pemimpin pasar telekomunikasi, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom, BBB/Stabil) dan PT XL Axiata Tbk (BBB/AAA(idn)/Stabil) dapat mengimbangi sewa yang tidak diperpanjang oleh PT Indosat Tbk (BBB-/AA(idn)/Stabil) sampai tahun 2024. Kontribusi pendapatan dari tiga operator telekomunikasi terbesar sebesar 85% pada 9M22, termasuk Indosat-Hutch yang baru-baru ini merger,” jelasnya.

Industri menara Indonesia terkonsolidasi menjadi oligopoly dengan tiga perusahaan menara besar. Fitch mengestimasi TBI dan perusahaan menara independen terbesar, PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo, BBB/AAA(idn)/Stabil), mengendalikan sekitar setengah dari industri menara Indonesia. PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk, anak perusahaan dari pemimpin pasar seluler Telkom, saat ini mengontrol sekitar 33% menara di industri setelah mengakuisisi 6.000 menara tambahan dari afiliasi-nya PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) pada bulan Agustus.

Fitch menilai bahwa TBI kemungkinan tidak akan melakukan merger dan akuisisi (M&A) yang didanai oleh utang seperti akuisisi 3.000 menara dari PT Inti Bangun Sejahtera Tbk pada tahun 2021. Pemain yang tersisa di industri tergolong terfragmentasi dan terdapat kesempatan yang terbatas untuk mengakuisisi portfolio menara yang besar. DigitalBridge Group Inc’s Edgepoint adalah operator menara terbesar keempat dengan 9.000 menara, dan industri ini memiliki beberapa perusahaan menara yang lebih kecil dengan jumlah menara 1.000 sampai 3.000, seperti PT Bali Towerindo Sentra Tbk (A-(idn)/Stabil).

|Baca juga: Rencana Obligasi Tower Bersama (TOWR) Rp1 Triliun Diganjar Rating AA+

Fitch memperkirakan pertumbuhan pendapatan akan melambat ke mid-single digits pada tahun 2022-2024 (2021: 16%, 9M22: 7,9%), dikarenakan konsolidasi portofolio menara Indosat-Hutch dengan cara mengeliminasi menara yang berulang, setelah kedua perusahaan melakukan merger.

Namun, permintaan untuk menara dan sewa dari XL dan Telkom akan tetap tinggi, karena Fitch mengekspektasi perusahaan-perusahaan tersebut untuk menginvestasikan sekitar 25%-30% dari pendapatan sebagai belanja modal.

Kami memproyeksikan margin EBITDA yang telah disesuaikan oleh Fitch akan turun ke 84%-85% pada 2023 dikarenakan integrasi jaringan Indosat dan kontrak kadaluarsa yang memiliki biaya sewa yang lebih tinggi. Namun, margin akan stabil di 83% pada 2024-2025,” jelasnya.

Fitch menghitung EBITDA setelah menyesuaikan beban bunga dan depresiasi yang terkait lease di bawah standar akuntansi Indonesia PSAK 73.

Editor: S. Edi Santosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Tantangan Asuransi Bencana, Butuh Keterlibatan Masyarakat
Next Post Dana Investasi Industri Asuransi sepanjang 2021 Capai Rp1.360,86 Triliun

Member Login

or