1
1

Fitch Beri Peringkat Obligasi Tower Bersama (TBIG) Rp1,46 Triliun

PT Tower Bersama Infrastructure Tbk | Foto: tower-bersama.com

Media Asuransi, JAKARTA – Fitch Ratings Indonesia telah menetapkan Peringkat Nasional Jangka Panjang ‘AA+(idn)’ untuk obligasi PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBI, BBB-/AA+(idn)/Stabil) senilai Rp1,46 triliun.

Obligasi ini merupakan penerbitan tahap kedua dari program obligasi berkelanjutan emiten berkode saham TBIG itu sebesar Rp15 triliun.

Melalui keterangan resminya, Fitch Ratings menjelaskan bahwa obligasi tersebut diperingkat sama dengan peringkat nasional jangka panjang TBI karena utang tersebut merupakan kewajiban senior tanpa jaminan dari perusahaan.

Perusahaan menara independen yang berbasis di Indonesia ini akan menggunakan dana yang terhimpun dari penerbitan ini untuk membiayai kembali utang yang telah ada saat ini.

Peringkat nasional di kategori ‘AA’ menunjukkan ekspektasi akan risiko gagal bayar yang sangat rendah relatif terhadap emiten atau surat utang lainnya di Indonesia. Risiko kredit hanya sedikit berbeda dari emiten-emiten atau surat-surat utang yang mendapat peringkat tertinggi di Indonesia.

Fitch memproyeksikan funds from operations (FFO) net leverage 2021-2022 TBIG akan tetap stabil pada 5,0x-5,3x (2020: 5,3x), di bawah sensitivitas negatif pada 5,5x. “Perusahaan berkomitmen pada peringkat investment grade dan telah menunjukkan intensi lebih rendah untuk pengembalian pemegang saham.”

|Baca juga: IHSG Berpeluang Rebound, Cermati TBIG, TLKM, ITMG, GGRM, LPPF

Pengembalian pemegang saham lebih rendah daripada ekspektasi Fitch pada 2019-2020. TBI juga menjaga rasio utang bersih/EBITDA kuartal terakhir yang disetahunkan pada 4,5x-5,0x selama lima tahun terakhir. TBI menyelesaikan akuisisi 3.000 menara dari PT Inti Bangun Sejahtera Tbk senilai hampir Rp4 triliun pada April 2021.

“Kami meyakini bahwa rencana merger antara PT Indosat Tbk (BBB/AAA(idn)/Rating Watch Negatif) dan PT Hutchison 3 Indonesia (Hutch) akan memperlambat pertumbuhan TBI pada 2022.”

Namun, menurut Fitch, permintaan menara dan fiber dari PT XL Axiata Tbk (XL, BBB/AAA(idn)/Stabil) dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom, BBB/Stabil) akan mengimbangi risiko tidak diperbaruinya sewa oleh Hutch-Indosat. “Kami mengekspektasi kontribusi pendapatan dari tiga besar operator telekomunikasi akan meningkat menjadi 90% (1H21: 74%) setelah merger Indosat-Hutch”.

Fitch menilai industri menara Indonesia terkonsolidasi menjadi oligopoli dengan tiga perusahaan menara besar. TBIG dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo, BBB/AAA(idn)/Stabil) akan mengendalikan sekitar setengah dari industri, dengan sekitar 20% dan 30% pangsa pasar, secara berurutan, pada akhir 2021. Sekitar 27%-28% pangsa pasar lainnya akan dikendalikan PT Dayamitra Telekomunikasi, anak perusahaan pemimpin pasar seluler, Telkom.

“Kami percaya bahwa kemungkinan merger dan akuisisi (M&A) yang didanai utang oleh TBIG adalah rendah karena terbatasnya kesempatan untuk mengakuisisi portofolio menara yang besar, karena sisa industri terfragmentasi. Di luar tiga perusahaan menara terbesar, perusahaan-perusahaan sisanya adalah kecil, dengan hanya 1.000-3.000 menara, seperti PT Bali Towerindo Sentra Tbk (BBB+(idn)/Positif).”

Omnibus law yang baru, yang mengizinkan perusahaan asing untuk mengakuisisi 100% dari perusahaan menara, kecil kemungkinannya untuk memperburuk kompetisi karena industri sebagian besar telah terkonsolidasi.

Fitch mengekspektasi pertumbuhan pendapatan dan EBITDA satu digit yang rendah pada 2022 (estimasi 2021: 18%-19%) karena merger Indosat dan Hutch dapat mengurangi permintaan menara dan fiber. Namun demikian, permintaan menara dan sewa akan tetap tinggi dari XL dan Telkom, karena Fitch mengekspektasi perusahaan-perusahaan tersebut untuk menginvestasikan sekitar 27%-30% dari pendapatan sebagai belanja modal.

Pendapatan TBIG meningkat sebesar 15% pada 1H21 dan EBITDA meningkat 13%, karena perusahaan mengakuisisi 3.000 menara dan secara organik menambah 954 sewa bersih. TBIG mengekspektasi pendapatan akan meningkat pada 2022.

“Kami memproyeksikan marjin EBITDA yang telah disesuaikan oleh Fitch pada 2021-2022 akan tetap stabil pada 83%-85% (2020: 85%); dengan tekanan harga sewa menara diimbangi oleh profitabilitas yang kuat dari penambahan co-location.”

Fitch menghitung EBITDA setelah menyesuaikan untuk beban bunga dan depresiasi yang terkait lease di bawah standar akuntansi Indonesia PSAK 73. Sekitar 35% dari kontrak sewa akan perlu diperbarui pada 2022-2024. TBIG sebelumnya telah memperbarui kontrak yang berakhir jangka waktunya pada tarif penyewaan menara rata-rata, mempertahankan margin EBITDA operasionalnya tetap stabil selama 2016-2019.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Nilai Tukar Rupiah Hari Ini Masih Berpotensi Melemah
Next Post OJK Siap Perpanjang Kebijakan Stimulus IKNB

Member Login

or