Media Asuransi, JAKARTA – Investor ritel tercatat terus mendominasi pasar modal Indonesia yang mengindikasikan tingginya minat masyarakat terhadap investasi serta rentannya pasar modal Indonesia yang kian dipengaruhi oleh keputusan investor individu.
Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat pada awal 2025, investor ritel pasar modal Indonesia mencapai 99,7% dari total 15,5 juta investor.
Seiring meningkatnya partisipasi investor ritel, tantangan dalam pengambilan keputusan pun ikut berkembang. PT BNI Sekuritas (BNI Sekuritas) mencermati bahwa cepatnya dinamika pasar kerap membuat perhatian tertuju pada aspek teknikal atau jangka pendek.
|Baca juga: Investasi Bitcoin Dinilai Menjanjikan di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global
Padahal, pemahaman terhadap makroekonomi global juga tak kalah penting karena turut memengaruhi arah pasar, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Wawasan yang lebih menyeluruh dapat membantu pengambilan keputusan yang lebih bijak.
Head of Retail Research BNI Sekuritas Fanny Suherman, menegaskan bahwa IHSG tidak bergerak dalam ruang sendiri. IHSG sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kebijakan suku bunga The Fed, inflasi AS, nilai tukar dolar, trade war, hingga kondisi geopolitik.
“Contohnya, ketika terjadi ketegangan geopolitik beberapa waktu lalu, harga minyak naik signifikan sehingga dikhawatirkan dapat menaikkan inflasi dan berpotensi menunda The Fed memangkas suku bunga. Akhirnya hal ini mengakibatkan market US, IHSG dan juga regional melemah, walaupun beberapa saham yang relate dengan pergerakan harga minyak dan emas menguat,” jelas Fanny dalam keterangan resmi dikutip, Sabtu, 5 Juli 2025.
|Baca juga: Kenali 4 Modus Penipuan Berkedok Investasi Ini agar Tak Jadi Korban
Ketidaktahuan terhadap dinamika global dapat berujung pada keputusan yang kurang tepat. Risiko yang mungkin dihadapi investor antara lain pertama, salah momentum masuk atau keluar pasar, karena tidak mempertimbangkan sentimen global saat ini. Kedua, kerugian akibat depresiasi rupiah, terutama bagi investor dengan eksposur di saham berbasis impor.
Ketiga, overexposure pada sektor sensitif, seperti komoditas dan properti, tanpa mempertimbangkan faktor eksternal yang memengaruhi harga komoditas atau suku bunga. Dan keempat, melewatkan peluang investasi, karena terlalu fokus pada kekhawatiran jangka pendek dan mengabaikan sinyal makro yang justru mendukung untuk akumulasi aset.
|Baca juga: Bahaya Besar Mengintai Pasar Keuangan RI Jika Konflik Timur Tengah Terus Membara
“Tanpa pemahaman global, investor rentan bertindak reaktif atau panic selling saat koreksi, atau terlalu euforia saat rally, yang pada akhirnya bisa membuat investor rugi atau kehilangan momentum untuk mendapat harga saham murah saat market koreksi,” ujar Fanny.
Namun, Fanny menegaskan bahwa menjadi investor cerdas bukan berarti harus menjadi ekonom. Cukup dengan memahami prinsip dasar ekonomi global dan bagaimana kaitannya dengan pasar modal, investor dapat memiliki perspektif yang lebih utuh dalam mengambil keputusan.
Di tengah dinamika global yang terus berubah, investor ritel juga didorong untuk memanfaatkan berbagai fitur edukatif dan analitik yang disediakan oleh platform investasi.
Editor: Achmad Aris
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News