Media Asuransi, JAKARTA – Pasar saham domestik dan global melanjutkan penguatan di Oktober. Di sisi global, pasar didukung optimisme data inflasi Amerika Serikat yang lebih rendah dari ekspektasi, menilai dampak dari tarif terhadap inflasi tidak sebesar yang diperkirakan sebelumnya. Kondisi ini memperkuat pandangan The Fed masih dapat melanjutkan penurunan suku bunga terutama di tengah sektor tenaga kerja yang melemah.
“Selain itu sentimen pasar juga didukung oleh meredanya tensi dagang AS dengan China setelah Presiden Trump dan Presiden Xi mencapai kesepakatan untuk menahan eskalasi tarif lebih lanjut selama setahun. Walau kesepakatan ini tidak menyelesaikan persoalan inti kedua negara, setidaknya perkembangan ini mengurangi risiko eskalasi tensi yang dapat mempengaruhi sentimen pasar dalam waktu dekat,” kata Chief Investment Officer-Equity, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Samuel Kesuma, dalam keterangan resmi yang dikutip Kamis, 13 November 2025.
Ditambahkan, di domestik, pasar merespons positif stimulus tambahan dari pemerintah berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai Rp30 triliun, yang merupakan paket stimulus keempat tahun ini. Stimulus ini diperkirakan dapat berdampak lebih langsung terhadap ekonomi dibanding paket stimulus sebelumnya, karena sifatnya yang tunai dan terarah pada segmen masyarakat yang membutuhkan, sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal IV/2025.
|Baca juga: Bos OJK Ungkap Kinerja Pasar Saham RI Terus Cuan hingga Triwulan IV/2025
Sementara itu, terkait dengan keputusan Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang menurunkan suku bunga di Oktober sesuai ekspektasi pasar, tapi Fed Chair Powell mengindikasikan pandangan yang tentatif terhadap kebijakan di Desember, menurut Samuel hal itu mencerminkan situasi internal The Fed, di mana terdapat pandangan yang berbeda terkait risiko inflasi, pelemahan tenaga kerja, dan outlook suku bunga.
Dia jelaskan bahwa terdapat pandangan risiko inflasi perlu diwaspadai lebih sehingga penurunan suku bunga perlu perlahan-lahan. Di sisi lain, terdapat pandangan pelemahan sektor tenaga kerja perlu diwaspadai lebih sehingga suku bunga harus turun lebih agresif.
Perbedaan pandangan ini juga diperparah oleh government shutdown AS yang menyebabkan terbatasnya rilis data ekonomi, membuat pengambilan keputusan menjadi lebih sulit bagi The Fed.
“Pandangan kami arah kebijakan The Fed masih akan mengarah akomodatif ke depannya. Pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan akan lebih menantang dalam beberapa kuartal ke depan imbas dari kebijakan tarif terhadap harga barang di AS,” tutur Samuel.
|Baca juga: Prospek Pasar Saham Indonesia Masih Cerah, Berikut Penopangnya!
Beberapa indikator seperti inflasi core goods yang meningkat, indeks keyakinan konsumen dan perekrutan tenaga kerja yang lemah mengindikasikan potensi pelemahan tingkat konsumsi masyarakat AS ke depannya. Sementara itu tingkat suku bunga saat ini masih berada di zona ‘restriktif’, sehingga pelemahan ekonomi dapat mendorong The Fed untuk terus menurunkan suku bunga.
Menurutnya, inflasi harga barang diperkirakan masih dapat meningkat di AS, imbas dari tarif. Sebelumnya importir-importir AS bisa melakukan frontloading impor bahan baku ataupun produk jadi memanfaatkan tarif lama, sehingga perubahan harga dapat dilakukan secara lebih gradual melindungi daya beli. Namun tentunya persediaan barang dengan tarif lama tersebut pasti akan habis dan harga baru akan semakin mencerminkan tingkat tarif terkini, berimbas pada inflasi harga barang di AS.
|Baca juga: Empat Pandangan Keliru Tentang Pasar Saham
Di sisi lain, kenaikan inflasi barang diperkirakan dapat dimitigasi oleh melandainya inflasi jasa di AS. Saat ini komponen jasa sedang dalam tren penurunan inflasi imbas normalisasi harga sewa rumah tinggal pasca pandemi. Komponen jasa memiliki bobot lebih besar dalam keranjang inflasi AS mencapai 60 persen, sementara bobot komponen barang hanya 19 persen dalam keranjang inflasi AS. Ekspektasi pasar inflasi AS akan memuncak di kuartal IV 2025, sebelum melandai di tahun 2026.
Kinerja Pasar Saham Asia Pasifik
Dinamika pasar global mendorong minat investor untuk berinvestasi di pasar saham luar AS. Iklim pelemahan dolar AS, penurunan suku bunga, serta minat diversifikasi di tengah fragmentasi kondisi geopolitik menjadi faktor yang mendorong minat investor untuk memperluas diversifikasi portofolio ke luar AS. “Kami melihat faktor tersebut masih akan menjadi iklim utama yang mendominasi pasar ke depannya dan terus mendorong minat investor terhadap pasar Asia Pasifik,” kata Samuel.
Menurut dia, menariknya adalah selain tren global tersebut, terdapat dinamika terkini di beberapa negara Asia yang juga menjadi faktor daya tarik. China dan Hong Kong menjadi memiliki daya tarik perkembangan sektor teknologi domestik untuk memenuhi kebutuhan industri lokal di tengah usaha pemerintah China untuk mencapai swasembada teknologi.
Korea Selatan menjalani revitalisasi pasar modal di bawah pemerintahan Presiden baru Lee Jae-myung, dengan kebijakan terkini fokus pada reformasi kebijakan tata kelola perusahaan serta diturunkannya pajak untuk dividen saham. Selain itu kawasan Asia juga diuntungkan oleh investasi besar terhadap AI, yakni Asia berperan penting dalam rantai pasok teknologi global dalam produksi semikonduktor ataupun energy storage system.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
