Media Asuransi, JAKARTA – Di awal tahun 2023 terdapat pandangan bahwa The Fed sudah mendekati puncak suku bunga dan bahkan terdapat potensi pemangkasan suku bunga. Memasuki paruh kedua 2023, apakah pandangan tersebut masih valid? Di dalam negeri, dalam kondisi seperti ini, pasar obligasi dapat menjadi pertimbangan bagi investor dengan profil risiko yang lebih konservatif.
Perekonomian Amerika Serikat ternyata menunjukkan daya tahan yang lebih kuat dari ekspektasi, terutama didukung oleh konsumsi masyarakat di sektor jasa yang kuat. Di sisi lain, inflasi ternyata juga lebih persisten dari ekspektasi yang membuat The Fed mengindikasikan kenaikan suku bunga lebih lanjut masih dapat terjadi.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja tapi juga terjadi di kawasan negara maju lain seperti Kanada, Inggris, dan Australia yang mengindikasikan pandangan yang serupa dengan The Fed. “Jadi kami melihat terdapat pergeseran pandangan pasar bahwa puncak suku bunga dan pemangkasan suku bunga diperkirakan dapat mundur dari ekspektasi di awal tahun yang membuat masih ada elemen ketidakpastian di pasar saat ini,” kata Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan, dalam keterangan resmi, Rabu, 12 Juli 2023.
Menurut dia, Kondisi ekonomi yang lebih resilien meningkatkan ekspektasi bahwa risiko resesi menjadi lebih rendah. Dalam proyeksinya, The Fed merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini dari 0,4 persen menjadi 1,0 persen didukung oleh konsumsi masyarakat yang lebih kuat. Dalam laporan The Fed San Francisco, diperkirakan simpanan tambahan masyarakat di periode pandemi mencapai US$2,1 triliun karena adanya stimulus dan tendensi untuk menahan pengeluaran di kondisi pandemi.
|Baca juga: Tips Keuangan MAMI: Siapkan Dana untuk Dukung Masa Depan Anak
Saat ini simpanan tersebut diestimasi masih tersisa US$500 miliar, yang sehingga diperkirakan masih dapat menopang konsumsi masyarakat hingga akhir tahun ini. “Jadi dengan konsumsi masyarakat yang lebih kuat dari perkiraan dan sektor tenaga kerja yang resilien, masih ada harapan bagi The Fed untuk mencapai soft landing, inflasi menurun tanpa menyebabkan resesi ekonomi sampai akhir tahun ini,” jelas Katarina.
Di awal tahun, pembukaan ekonomi China dipandang sebagai katalis bagi pasar Asia. Namun, menurutnya pandangan investor asing terhadap Asia tidak hanya bergantung pada outlook China. “Kami melihat investor asing melakukan pemilihan investasi dengan lebih selektif, memilih negara yang memiliki kondisi konsumsi domestik kuat, kebijakan suku bunga sudah mendekati puncak, atau memiliki peranan di rantai pasok teknologi dunia,” tuturnya.
Preferensi ini terlihat dari arus dana asing yang positif di pasar saham Taiwan, Korea Selatan, India, dan Indonesia. Keempatnya diperkirakan sudah mencapai puncak suku bunga, di samping itu India-Indonesia adalah negara dengan karakter konsumsi domestik yang kuat, serta Taiwan-Korea Selatan berperan besar dalam rantai pasok teknologi dunia yang diuntungkan dari ekspektasi perbaikan inventori dan perkembangan artificial intelligence. “Jadi masih terdapat peluang yang bisa dimanfaatkan di pasar Asia selain China,” tegasnya.
Sementara itu untuk perekonomian domestik, MAMI melihat BI masih memiliki ruang untuk mempertahankan suku bunga, tidak perlu ikut bergerak naik mengikuti The Fed. Kondisi makroekonomi domestik yang suportif memberi ruang fleksibilitas bagi BI. Tingkat inflasi terus melandai, nilai tukar Rupiah tetap pada level yang terjaga, serta surplus neraca perdagangan dan arus dana asing ke pasar finansial Indonesia menjadi faktor pendukung bagi BI untuk mempertahankan suku bunga.
Walau demikian, BI menegaskan bahwa fokus kebijakan saat ini adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah. Oleh karena itu risiko terhadap stabilitas Rupiah seperti pelemahan kinerja perdagangan Indonesia, atau perubahan selera investasi asing ke pasar finansial Indonesia dapat menjadi faktor yang mendorong postur kebijakan BI untuk berubah.
Oleh karena itu MAMI menilai kondisi makroekonomi Indonesia dalam posisi yang baik dan berpotensi untuk lebih baik di paruh kedua tahun ini. Di paruh pertama tahun ini narasi terkait pembukaan ekonomi dan turunnya inflasi domestik menjadi sorotan utama yang menjadi katalis bagi Indonesia.
“Ke depannya, kami melihat terdapat potensi katalis bagi ekonomi dari belanja pemerintah yang dapat dimaksimalkan, dan dampak positif dari periode menjelang periode pemilu 2024. Pemerintah mencatat surplus APBN IDR153 triliun per Juni 2023, di mana pendapatan mencapai 57 persen dari target, sementara belanja negara baru mencapai 41 persen dari target,” kata Katarina.
|Baca juga: Prediksi MAMI: Pasar Global di Paruh Kedua 2023 Relatif Positif
Menurutnya masih ada potensi belanja negara yang bisa dimaksimalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di paruh kedua. Selain itu periode kampanye pemilu diperkirakan dapat berdampak positif bagi konsumsi masyarakat. Anggaran pelaksanaan pemilu serentak 2024 mencapai IDR76 triliun, belum termasuk dana yang akan digelontorkan oleh partai politik. Besarnya perputaran dana dalam pesta politik ini dapat berdampak positif bagi konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, melemahnya ekonomi global yang semakin menekan kinerja perdagangan global, berimplikasi terhadap Indonesia. Menurut MAMI, Indonesia tidak luput dari melemahnya permintaan dunia, terlihat dari kinerja ekspor yang melemah. Sepanjang tahun ini hingga bulan Mei, ekspor mengalami kontraksi 6,01 persen yoy, dengan ekspor ke berbagai negara mengalami kontraksi cukup dalam seperti ke Amerika Serikat -23 persen yoy dan Uni Eropa -13 persen yoy. Positifnya, ekspor ke China masih mencatat pertumbuhan 11 persen yoy, jadi pemulihan ekonomi China, meskipun moderat, memberikan dukungan bagi Indonesia.
“Selain itu kami melihat pemulihan ekonomi domestik dapat membantu memitigasi pelemahan global. Aktivitas sektor manufaktur Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan, di mana PMI manufaktur berada di level 52,5 di Juni, secara konsisten berada di zona ekspansi selama 22 bulan berturut-turut, berlawanan dengan sektor manufaktur global yang mengalami kontraksi. Meningkatnya permintaan domestik mendorong kinerja manufaktur Indonesia, memitigasi melemahnya permintaan eksternal,” jelas Katarina Setiawan.
Di tambahkan, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia sebagai perusahaan manajer investasi terbesar di Indonesia memiliki pandangan yang konstruktif bagi pasar obligasi dan saham Indonesia ke depannya. Pasar obligasi dapat menjadi pertimbangan bagi investor dengan profil risiko yang lebih konservatif, karena kondisi makroekonomi yang kondusif dengan inflasi terus melandai dan kebijakan suku bunga sudah di puncak merupakan iklim yang suportif bagi kinerja pasar obligasi. Kondisi fiskal pemerintah yang sehat dengan kemungkinan penerbitan SBN dikurangi juga menjadi faktor positif bagi pasar obligasi.
Sementara itu kelas aset saham dapat dipertimbangkan untuk investor dengan profil lebih agresif, atau sebagai booster bagi portofolio investor. MAMI melihat saham merupakan kelas aset yang undervalued sepanjang tahun ini, karena secara fundamental kinerja emiten dalam pasar saham mencatat kinerja yang positif di kuartal pertama, dan investor asing juga memiliki pandangan positif terhadap pasar saham Indonesia, tecermin dari pembelian bersih asing mencapai US$1,1 miliar tahun ini per Juni 2023.
Namun sayangnya faktor-faktor tersebut belum diapresiasi oleh pasar. Valuasi pasar saham telah turun ke level yang atraktif dengan forward PE ratio di kisaran 12x, di bawah rata-rata jangka panjang di kisaran 15x yang memberikan entry point menarik bagi investor. MAMI melihat pertumbuhan konsumsi domestik di semester kedua, dan sinyal The Fed sudah mencapai puncak kebijakan suku bunga berpotensi menjadi katalis yang dapat menggerakkan kinerja pasar saham.
Bagi investor dengan horizon investasi jangka panjang, saat ini potensi hasil investasi di pasar saham terlihat menarik. Bagi investor jangka panjang yang ingin berinvestasi di pasar saham, dapat juga melakukannya melalui investasi di reksa dana saham. Disarankan untuk memilah investasi di reksa dana saham dengan strategi high conviction (yang pemilihan sahamnya lebih fleksibel, dengan deviasi lebih besar terhadap indeks acuan) serta strategi core (yang pemilihan sahamnya tidak berdeviasi jauh dari indeks acuan).
Masing-masing strategi memiliki karakteristiknya. Strategi high conviction berpotensi mencatat hasil lebih tinggi ketika pemilihan saham diapresiasi pasar, namun strategi ini juga cenderung menunjukkan volatilitas lebih tinggi dibandingkan strategi core. Selain itu, strategi high conviction lebih cocok bagi investor dengan profil risiko agresif dan telah memiliki pengetahuan cukup terkait investasi di pasar saham.
“Investor sebaiknya melakukan pemilihan investasi sesuai dengan profil risiko, tujuan investasi, serta horizon investasi,” tegas Katarina Setiawan.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News