Media Asuransi, JAKARTA – Berbagai lembaga seperti IMF, World Bank, dan OECD telah merilis laporan kuartalan terbaru terkait outlook dan proyeksi ekonomi dunia. Ada keseragaman analisa dan kesimpulan dari ketiga lembaga tersebut, yaitu ketidakpastian dan kenaikan ekstrem tarif perdagangan akan menekan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan inflasi.
Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Freddy Tedja, mengatakan bahwa seberapa besar tekanan yang tercipta akan berbeda-beda antarnegara, tergantung pada kontribusi perdagangannya pada PDB dan perubahan tingkat tarifnya. “Semakin besar kontribusi dan atau tingkat tarif, maka risiko bagi negara tersebut akan semakin meningkat,” katanya dalam keterangan resmi, Rabu, 14 Mei 2025.
Dia mengingatkan bahwa proyeksi ekonomi lembaga-lembaga dunia ini akan selalu diperbaharui setiap kuartal. Kebetulan 90 hari penundaan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) berjalan di kuartal kedua ini.
|Baca juga: Tetap Waspada Terhadap Dampak Tarif Trump
Menurutnya, jika negosiasi antara AS dan mitra-mitra perdagangannya di 90 hari ini berjalan baik, menghasilkan kesepakatan tingkat tarif yang dianggap adil dan ‘win-win’ bagi kedua belah pihak, dan diakhiri dengan kepastian ke depan, maka potensi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi akan turun, dan mungkin saja ekspektasi pertumbuhan dunia akan kembali naik.
“Berita-berita terkini menunjukkan perkembangan positif negosiasi tarif. Pemerintah AS sudah mengindikasikan optimisme kesepakatan dapat tercapai dengan beberapa negara seperti India, Jepang, Korea Selatan, Vietnam, UK, dan Saudi Arabia,” jelasnya.
AS juga melonggarkan tarif beberapa sektor seperti produk elektronik dan otomotif. MAMI memperkirakan AS mulai melunak setelah menyadari sinyal yang disampaikan pasar ‘melalui’ anjloknya pasar finansial, turunnya indeks keyakinan konsumen, turunnya approval rating terhadap pemerintah, peningkatan proyeksi resesi, dan sebagainya. Semuanya mengerucut menyampaikan ‘peringatan’ bahwa kenaikan tarif yang ekstrem akan berbalik arah berdampak buruk pada perekonomian dalam negeri AS sendiri.
Kondisi ini yang kemungkinan mendorong Presiden AS secara eksplisit meminta The Fed untuk segera menurunkan suku bunga. Pemangkasan suku bunga untuk mendorong laju ekonomi yang mulai tersendat adalah hal yang wajar. Namun fokus The Fed saat ini masih pada upaya penurunan inflasi, yang walaupun sudah turun jauh yakni dari 3,9 persen di Januari 2024 ke 2,8 persen di Maret 2025, tapi masih belum mampu turun ke level target dua persen.
|Baca juga: Pasar Keuangan Terimbas Tingginya Ketidakpastian Global
Di tengah ancaman perang tarif, The Fed juga khawatir inflasi malah akan berbalik arah kembali naik. Sepertinya inilah yang membuat The Fed masih tetap mempertahankan sikap untuk tidak segera menurunkan suku bunga.
Walaupun beberapa pejabatnya sudah mulai lebih terbuka mempertimbangkan penurunan suku bunga lebih cepat dengan mencermati dampak tarif terhadap pertumbuhan ekonomi dan sektor tenaga kerja. “Kita harus tunggu bulan Juni nanti, saat The Fed merilis dot plot terbaru yang akan memberi gambaran arah kebijakan bank sentral ke depan,” tutur Freddy.
Di tengah dinamika global yang terjadi saat ini, pasar Asia menunjukkan kinerja resilien. Seperti telah kami sampaikan, kebijakan tarif AS yang sangat agresif justru diperkirakan lebih berdampak negatif untuk perekonomian AS sendiri. Turunnya minat investor terhadap aset AS, dengan tema ‘Sell America’, pelemahan USD, serta perkembangan negosiasi tarif dengan beberapa negara Asia menjadi faktor positif yang mendukung minat investor global kembali ke pasar Asia, seperti yang juga terlihat pada tren arus dana ETF.
Pasar Obligasi dan Saham
Berdasar perkembangan-perkembangan terkini dari global dan domestik, serta mempertimbangkan potensi-potensi katalis yang ada, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Menurut Freddy, untuk kelas aset obligasi, beberapa faktor terpenting yang menentukan minat investor adalah persepsi risiko kredit, stabilitas nilai tukar, dan arah suku bunga.
|Baca juga: Walau Volatil, Dana Asing Masih Masuk ke Pasar Obligasi
Dari potensi-potensi katalis yang telah disampaikan MAMI, dapat disimpulkan daya tarik pasar obligasi saat ini masih tetap tinggi. Peluang dan urgensi penurunan suku bunga terlihat semakin terbuka, nilai tukar Rupiah mulai stabil, penilaian terakhir dari dari Fitch & Moody’s bulan Maret lalu juga tetap mengafirmasi sovereign rating Indonesia di kategori layak investasi ‘BBB’ dengan outlook stabil.
“Inilah yang membuat minat investor domestik tetap kokoh, dan minat investor asing pun relatif terjaga dengan arus masuk bersih tahun berjalan mencapai US$1,26 miliar, dibandingkan arus keluar US$2,73 miliar di periode yang sama tahun 2024 lalu,” katanya.
Sementara itu di kelas aset saham, setelah empat bulan terakhir mengalami volatilitas ekstrem diakhiri koreksi tajam, menurut Freddy, perkembangan-perkembangan global terkini membuat kinerja pasar saham melejit kembali, walaupun kesinambungannya masih terlihat rentan. Eksekusi kebijakan pro pertumbuhan dan transisi belanja pemerintah yang tepat sasaran sangat kita harapkan untuk dapat mendorong konsumsi dan daya beli masyarakat, dan pada akhirnya memperbaiki kinerja korporasi.
Potensi pemangkasan suku bunga, walaupun dampaknya tidak seinstan seperti pada pasar obligasi, diharapkan dapat semakin mendorong stabilitas dan kesinambungan kinerja pasar saham jangka panjang, terutama karena iklim suku bunga tinggi merupakan salah satu faktor utama yang menekan performa korporasi dan sentimen pasar. “Terakhir, meningkatnya daya tarik pasar Asia di tengah melemahnya supremasi AS diharapkan sedikit banyak dapat berimbas baik juga ke pasar saham Indonesia,” tuturnya.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News