1
1

Pertumbuhan Pasar Saham 2019 Lebih Baik

   Pada perdagangan saham hari terakhir di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2018, tanggal 28 Desember 2018, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di level 6.194,499. Itu artinya turun dibandingkan saat penutupan perdagangan tahun 2017, tanggal 29 Desember 2017, yakni IHSG berada di level 6.355,650. Selama setahun, indeks saham justru turun sekitar 2,53 persen. Walau demikian, posisi indeks di akhir tahun bukan yang terendah, karena di awal Juli 2018 indeks sempat berada di level 5.600-an.

   Setelah sempat naik-turun selama sekitar enam bulan, semenjak pertengahan November 2018  indeks cenderung terus relatif stabil di level 6.000-an. Walau belum mampu menyamai level di akhir tahun 2017, kecenderungan indeks yang menguat stabil di level 6.000-an menjelang akhir tahun, memunculkan optimisme bahwa masa fluktuasi indeks yang tajam di tahun 2018 telah berakhir.

   Optimisme serupa disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo saat menutup perdagangan saham tahun 2018. “Saya ingin sampaikan optimisme. Saya optimistis terhadap perkembangan pasar modal yang kita miliki,” kata Jokowi sebelum membunyikan lonceng tanda penutupan perdagangan saham tahunan di BEI Jakarta, 28 Desember 2018. Ada hari itu, IHSG tercatat menguat 3,856 point (0,06 persen) ke posisi 6.194,499. Penguatan ini sejalan dengan penguatan di bursa saham Asia lainnya.

   Dalam kesempatan terpisah, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan jumlah emiten baru di tahun 2018 yang tercatat sebanyak 57 perusahaan. Menurut Direktur Utama BEI Inarno Djajadi, jumlah tersebut tertinggi sejak privatisasi BEI pada 1992. Dana yang dihimpun di pasar modal tahun ini sebanyak BaikRp16,01 triliun. Dengan penambahan 57 emiten baru, maka jumlah perusahaan yang sahamnya telah diperdagangkan di BEI pada tahun 2018 mencapai 619 emiten.

   Inarno menambahkan, dari segi jumlah investor, terjadi perkembangan yang positif. Tahun ini, jumlah investor saham baru sebanyak 222.096, atau naik 35 persen, sehingga totalnya mencapai 851.903 investor. Dari segi transaksi, rata-rata nilai transaksi harian saham mencapai Rp8,5 triliun. Sedangkan rata-rata frekuensi harian tercatat 386.696 kali.

   Sementara itu, untuk 2019 ini BEI memasang target 35 emiten baru. “Saat ini terealisasi 57 emiten baru, melampaui target yang ditetapkan yakni 35 emiten baru. Untuk tahun 2019 sama targetnya, yakni 35 juga. Kita optimistis, lebih dari itu,” kata Inarno Djajadi dalam jumpa pers di Jakarta, akhir Desember 2018.

  Menurut dia, target tersebut menunjukkan kondisi pasar tetap bagus kendati ada pemilihan presiden (Pilpres) di tahun 2019. “Kita lihat historikal Pemilu sebelumnya. Memang korelasinya nggak terlalu signifikan adanya Pemilu terhadap indeks dan IPO, itu tetap bagus dan positif. Kita optimistis Pilpres tidak mempengaruhi terlalu banyak pasar modal,” jelasnya.

   Inarno juga menuturkan bahwa dengan capaian yang tinggi di tahun 2018 ini, maka target yang dibidik tahun depan harusnya lebih tinggi. Namun dengan BEI menetapkan target yang sama, hal itu menunjukkan bahwa kondisi pasar tetap baik meski ada Pilpres. “Justru kita mau kasih sinyal, dengan adanya Pilpres kita tetap optimistis, tidak berkurang lho… dari target tahun sebelumnya,” kata dia.

  Optimisme serupa disampaikan Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Katarina Setiawan saat berdiskusi dengan wartawan di Jakarta, pertengahan Desember 2018. Menurut dia, potensi pertumbuhan pasar saham pada 2019 diperkirakan akan lebih baik dari tahun 2018. Penyesuaian ekspektasi investor di tahun 2018, setelah apa yang terjadi di sepanjang tahun 2018, membawa valuasi ke level lebih rendah dari rata-rata lima tahun terakhir. Kepemilikan asing juga sudah sangat rendah, namun di lain pihak pertumbuhan laba korporasi tetap bagus. “Laporan keuangan korporasi terakhir menunjukkan hasil cukup baik, sehingga diharapkan momentum dapat berlanjut di tahun 2019,” tambahnya.

   Dalam kesempatan yang sama, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income MAMI Ezra Nazula mengatakan bahwa tekanan terhadap pasar obligasi di tahun 2019 sudah jauh berkurang. Fundamental ekonomi relatif lebih terjaga. “Langkah prevenif Pemerintah dan Bank Indonesia untuk memperbaiki postur fiskal, defisit neraca berjalan dan volatilitas nilai tukar rupiah mendapat respons positif dari investor. Hal ini terlihat dari akumulasi pembelian asing atas obligasi pemerintah Indonesia sebesar Rp50 triliun yang terjadi di kuartal keempat tahun 2018 per akhir bulan November,” jelasnya. S. Edi Santosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Polis Standar Asuransi Gempa Bumi Indonesia (PSAGBI)
Next Post Target Pertumbuhan Kredit 2019 Dan Ketatnya Likuiditas

Member Login

or