Optimisme berbagai kalangan dalam melihat tren kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di awal tahun, berubah menjadi kekhawatiran saat memasuki kuartal kedua. Bagaimana tidak, jika indeks yang sudah berada di atas level 6.000-an kemudian turun hingga kembali di level 5.900-an di akhir April 2018. Salah satu penyebab anjloknya indeks adalah masifnya penjualan saham oleh investor asing. Mudah-mudahan kondisi ini tak berlanjut, terlebih lagi kondisi fundamental ekonomi kita sebenarnya cukup baik.
Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistyo membenarkan bahwa investor asing belakangan ini banyak yang menarik dana dari pasar modal, sehingga mendorong anjloknya IHSG. BEI mencatat investor asing periode tahunan hingga 26 April 2018 telah melakukan aksi jual sebesar tujuh miliar dolar AS atau setara Rp94,5 triliun dengan kurs Rp13.500 per dolar AS.
Namun Tito memiliki keyakinan bahwa para investor asing tersebut tidak membawa pergi dananya ke luar negeri. Sebab dalam periode yang sama ada capital inflow atau masuknya dana asing ke pasar surat utang. “Jadi masuk ke obligasi 8,5 miliar dolar AS selama periode April 2017 ke April 2018. Pertanyaannya ‘kan uangnya ke mana? Berarti masih di sini,” katanya kepada wartawan di Gedung BEI, Jakarta, akhir April 2018.
Tito memandang, jatuhnya IHSG disebabkan ketidakjelasan kondisiperekonomian global. Sebab dia yakin kondisi dalam negeri masih dalam kondisi positif. “Jadi karena ketidakjelasan, siapa yang bisa jamin?” tambahnya. Dia meyakini, yang menjadi faktor pengganggu adalah persepsi. Salah satunya rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve yang akan menaikkan suku bunga berturut- turut pada tahun ini.
Sementara itu Kepala Riset MNC Securities Edwin Sebayang menilai, penurunan IHSG hingga di bawah level 6.000, terutama disebabkan pengaruh kekhawatiran pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga bank sentral AS. Sehingga mereka kemudian mulai memindahkan portofolio investasinya ke pasar surat utang. “Tercermin dari kenaikan US treasury bond 10 tahun. Lalu dilanjutkan kenaikan obligasi 10 tahun SUN-nya Indonesia,” kata dia akhir April lalu.
Di sisi lain, Edwin mencurigai ada pihak yang tengah melakukan cornering atau sengaja membuat pasar modal runtuh dengan tujuan tertentu. Dia curiga tujuannya agar mendorong Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7 days repo rate. “Ada permintaan katanya suku bunga harus dinaikan. Lalu keluar statemen BI katanya belum terpikirkan menaikkan suku bunga,” tuturnya. Menurut Edwin sebenarnya pasar modal Indonesia sangat menarik, apalagi emiten-emiten sudah mengeluarkan laporan keuangan dan hasilnya positif.
Menurut Chief Economist CIMB Niaga Adrian Panggabean saat ini BI tidak perlu menaikkan suku bunga, mengingat volatilitas pada pasar surat utang dan saham sedang dalam tren menurun. Jika melihat kondisi pasar hingga kira-kira pekan ketiga April, dorongan untuk peningkatan suku bunga itu memang terasa. “Jadi, menaikkan suku bunga ketika volatility (saat ini) sedang dalam tren penurunan tajam, mungkin counterproductive menurut saya,” ujarnya saat berdiskusi dengan wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut Adrian mengatakan meningkatkan suku bunga juga tidak akan memberikan dampak menguatnya rupiah terhadap dolar AS. Karena pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi belakangan ini, bukan disebabkan oleh pelemahan fundamental ekonomi Indonesia. Tetapi pelemahan itu terjadi saat kondisi perekonomian global yang bergejolak dan mempengaruhi hampir seluruh negara di dunia. “Menaikkan suku bunga untuk memberi perhatian terhadap sesuatu yang di luar fundamental itu bagaikan menggarami air laut, sehinga menaikkan suku bunga hingga beberapa points belum tentu dapat membuat rupiah jadi lebih kuat,” ujarnya.
Adrian Panggabean mengingatkan, peningkatan suku bunga acuan justru akan berdampak buruk terhadap industri, salah satunya industri perbankan. Dia mengatakan, perubahan BI 7 days repo rate akan memicu penurunan pertumbuhan penyaluran kredit perbankan, karena debitur cenderung menghindari suku bunga kredit yang tinggi. Di saat yang bersamaan, hal ini juga akan memicu turunnya harga obligasi. Padahal membeli obligasi juga merupakan pilihan para bankir untuk mendapatkan keuntungan karena pertumbuhan penyaluran kredit yang tidak signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Di luar industri perbankan, secara umum Adrian menilai peningkatan suku bunga acuan oleh BI juga tidak diperlukan. Alasannya, gejolak global yang terjadi kali ini hanya akan bersifat sementara. Peningkatan suku bunga acuan, menurutnya justru akan membuat Indonesia terlihat panik. “Jika kita meningkatkan suku bunga, tidak ada jaminan rupiah akan membaik. Tetapi saya yakin apa yang akan terjadi, pertama equity market akan jatuh, kedua ruang market pasti turun, ketiga akan terkesan panik,” katanya.
Surat Utang
Tekanan di pasar obligasi dalam beberapa pekan terakhir membuat nilai kepemilikan asing di surat utang negara (SUN) berkurang. Berdasarkan data Direktorat Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sejak akhir Maret hingga 26 April, jumlah dana asing di SBN telah berkurang Rp10,31 triliun menjadi Rp848,48 triliun.
Chief Economist CIMB Niaga Adrian Panggabean mengingatkan bahwa gejolak pasar keuangan global saat ini, terimbas oleh kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS (Yield US Treasury) ke level level 3,09 persen, tertinggi sejak Juli 2011. Menurut dia ada beberapa indikator perekonomian yang terdampak dari kenaikan yield obligasi AS tenor 10 tahun tersebut, salah satunya adalah Credit Default Swap (CDS/risiko utang) yang melambung.
“Jika yield obligasi AS kembali naik di atas angka tiga persen, premi CDS obligasi global Indonesia tenor lima tahun masih di antara 100 bps hingga 120 bps,” katanya. CDS merupakan sebuah ukuran yang menunjukan tingkat persepsi risiko investasi untuk investor di Indonesia. CDS biasanya digunakan sebagai indikator fundamental yang menjadi acuan investor besar dan para fund manager di seluruh dunia.
Analis Obligasi BNI Sekuritas Ariawan berpendapat bahwa ketidakpastian di pasar obligasi domestik sehingga memicu koreksi Indonesia Composite Bond Index (ICBI), dipicu kekhawatiran para pelaku pasar terhadap potensi kenaikan suku bunga acuan AS lebih dari dua kali. Menurut dia, secara fundamental, perekonomian Indonesia masih cukup baik. Fundamental ekonomi yang solid kembali menjadi ‘senjata’ agar pasar obligasi domestik tidak terkoreksi terlalu dalam.
Selain berdampak terhadap pasar obligasi, lonjakan yield US Treasury yang menembus angka di atas tiga persen juga akan memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan ujung-ujungnya kepada yield obligasi pemerintah Indonesia. “Rentang perdagangan dolar AS terhadap rupiah di rentang Rp13.800 – Rp14.000 dan term structure Bank Indonesia naik untuk sementara waktu, maka rentang perdagangan yield obligasi 10 tahun Indonesia di Mei akan berada di level 6,75 –7,25 persen,” jelasnya.
Hingga akhir April 2018, nilai tukar rupiah terhadap dolar cenderung mendekati kisaran Rp14.000 per dolar AS. Kondisi ini diperkirakan akan terus berlanjut di kuartal kedua tahun ini, dan perlahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menguat pada kuartal ketiga nanti. Momentumnya akan datang bersamaan dengan kembalinya investor ke pasar surat utang dengan potensi capital inflow atau arus modal masuk diperkirakan mencapai kurang lebih Rp6 triliun.
Menurut Adrian Panggabean, stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam dua atau tiga tahun terakhir disebabkan oleh ekspektasi capital inflow di investasi portofolio. “Bukan disebabkan oleh terkendalinya defisit transaksi berjalan. Pasalnya, pasar sudah memiliki prakiraan defisit transaksi berjalan ke depannya,” tandasnya. Selain itu, saat ini pasar surat utang Indonesia yang masuk kalkulasi Barclays Bloomberg Global Bond Index memiliki potensi bobot sebesar 0,3 persen.
Jika bobot tersebut efektif per 1 Juni 2018, Adrian memproyeksikan investor akan kembali masuk ke pasar modal dalam negeri. “Kalau belum punya surat utang Indonesia, maka investor harus beli Indonesia. Artinya itu diterjemahkan inflow 2-4 miliar dolar AS,” jelasnya. Saat ini, imbal hasil surat utang Indonesia bertenor 10 tahun mencapai sekitar tujuh persen. Dengan inflasi Indonesia sekitar tiga persen, maka net imbal hasil surat utang Indonesia sekitar 3,5 persen. “Di dunia tidak ada yang kasih net yield 3,5 persen,” tegas Adrian.
Satu-satunya, saingan Indonesia dengan imbal hasil di kisaran yang sama adalah India. Namun, India memiliki tingkat inflasi yang tinggi yakni 4-5, sehingga imbal hasil bersihnya mencapai 2-2,5 persen. Surat utang Thailand memiliki imbal hasil 2,75 persen dengan inflasi dua persen sehingga net imbal hasilnya sebesar 0,75 persen. Malaysia memiliki imbal hasil empat persen dan inflasi sekitar 2,5 persen, maka net imbal hasilnya sebesar 1,15 persen.
Dari data-data yang ada, baik imbal hasil surat utang maupun fundamental ekonomi, terlihat bahwa kondisi pasar keuangan Indonesia saat ini relatif cukup baik. Hal ini memunculkan optimism, dalam 2-3 kuartal ke depan pasar saham maupun surat utang akan membaik indeksnya. S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News