1
1

Pasar Obligasi Menanti The Fed Pangkas Suku Bunga

Portfolio Manager Fixed Income MAMI, Laras Febriany. | Foto: MAMI

Media Asuransi, JAKARTA – Di bulan Agustus lalu, optimisme pasar obligasi kembali meningkat secara signifikan. Pasar percaya bahwa The Fed dapat mulai memangkas suku bunga di bulan September setelah data inflasi dan tenaga kerja AS semakin melandai.

Pasar juga merespons positif pernyataan Ketua The Fed, Jerome Powell, di simposium Jackson Hole, yang memberikan sinyal kuat bagi The Fed untuk melakukan penyesuaian kebijakan moneter karena meredanya tekanan inflasi dan meningkatnya risiko di sektor tenaga kerja. Perubahan pandangan ini berdampak positif bagi pasar Indonesia, tecermin dari rupiah yang menguat ke kisaran Rp15.400 serta arus dana investor asing yang meningkat ke pasar obligasi.

Menurut Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Laras Febriany, ada beberapa faktor yang mendukung daya tarik investor asing ke pasar obligasi Indonesia. Pada dasarnya Indonesia memiliki profil ekonomi yang menarik di antara negara berkembang lain, didukung oleh tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang stabil, inflasi rendah, tingkat utang negara rendah, kondisi politik stabil, dan tingkat imbal hasil obligasi yang tinggi.

|Baca juga: Tren Pemangkasan Suku Bunga akan Berpengaruh Terhadap Pasar Obligasi

Dia jelaskan, langka bagi suatu negara berkembang memiliki profil yang cukup baik secara menyeluruh karena biasanya ada saja masalah pada salah satu faktor tersebut. Dengan profil yang menarik itu, faktor kunci bagi investor adalah pada stabilitas nilai tukar Rupiah, karena pelemahan nilai tukar akan menggerus potensi imbal hasil bagi investor asing, membuat obligasi Indonesia kurang menarik, dan pada akhirnya dapat membuat arus dana asing berbalik.

“Dimulainya siklus pemangkasan suku bunga The Fed diperkirakan dapat menjadi iklim yang suportif bagi rupiah dan dapat menarik arus dana asing masuk ke pasar obligasi Indonesia lebih lanjut,” kata Laras dalam keterangan resmi yang dikutip Kamis, 12 September 2024.

Mengenai potensi stabilitas rupiah ke depan, Portfolio Manager Fixed Income MAMI ini menjelaskan bahwa secara historis, periode pemangkasan suku bunga The Fed adalah kondisi yang negatif bagi dolar AS. Sejak tahun 1990, terdapat delapan siklus pemangkasan suku bunga The Fed, dan secara rata-rata nilai tukar dolar AS melemah 1,1 persen dalam periode tersebut. “Kondisi pelemahan dolar AS ini harusnya dapat menjadi faktor yang suportif bagi stabilitas rupiah,” tegasnya.

Namun terdapat kondisi menarik, yakni pemangkasan suku bunga The Fed yang dipicu oleh kondisi resesi AS justru mendorong penguatan dolar AS, seperti di tahun 2001, 2007, dan 2020, karena kondisi resesi meningkatkan permintaan dolar AS sebagai aset safe haven. Jadi potensi terjadinya resesi AS dapat menjadi tantangan bagi stabilitas nilai tukar rupiah ke depan, di tengah naiknya ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh  The Fed.

|Baca juga: Pasar Obligasi Masih Menjanjikan

Selain itu faktor lain yang dapat mempengaruhi rupiah ke depannya adalah dinamika kondisi domestik dari inflasi, kinerja neraca perdagangan, dan kebijakan ekonomi  pemerintah baru.

Di sisi lain, Laras Febriany mengomentari kemungkinan risiko resesi AS, terutama setelah indikator resesi ‘Sahm Rule’ yang secara historis akurat memprediksi resesi telah terpicu. Menurut dia, Sahm rule adalah indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi awal dari resesi ekonomi berdasarkan kenaikan tingkat pengangguran.

Indikator Sahm terpicu di bulan Juli, mencapai level 0,53 poin persentase, setelah tingkat pengangguran AS melonjak ke level 4,3 persen. Ini merupakan level tertinggi sejak Oktober 2021, dan menjadi perhatian pasar yang khawatir terhadap risiko resesi.

Meskipun demikian, menurutnyayang perlu diperhatikan adalah penyebab naiknya tingkat pengangguran. Pada kondisi resesi, tingkat pengangguran cenderung meningkat karena perusahaan mengurangi jumlah pegawai untuk efisiensi.

“Namun kondisi saat ini, kenaikan pengangguran lebih disebabkan oleh meningkatnya angkatan kerja (labor force participation naik), sementara tingkat PHK di AS masih rendah. Oleh karena itu kami memandang terpicunya Sahm rule saat ini bersifat semu. Selain itu, berdasarkan konsensus Bloomberg, probabilitas resesi AS 12 bulan ke depan di level 30 persen, turun dari probabilitas 50 persen di awal tahun,” jelas Laras.

Editor: S. Edi Santosa

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Amar Bank Catat Pertumbuhan Pendapatan 30,8%
Next Post Perdagangan Pagi: IHSG Menghijau, Kurs Rupiah Tak Bernyali Menguat

Member Login

or