Media Asuransi, JAKARTA – Pasar saham bergerak fluktuatif di bulan Januari, terutama disebabkan oleh sentimen global. Pasar sempat agak lama menebak-nebak arah kebijakan Bank Sentral AS (Federal Reserve) sampai akhirnya semakin jelas menuju siklus kenaikan suku bunga.
Portfolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Andrian Tanuwijaya, mengatakan bahwa pasar dibayangi oleh komunikasi The Fed yang mengindikasikan kalau Bank Sentral AS ini terbuka untuk mulai melakukan kenaikan suku bunga di kuartal I/2022. Hal itu berubah dari komunikasi sebelumnya yang relatif lebih akomodatif. Selain itu data inflasi Amerika Serikat juga terus meningkat ke level tertinggi sejak 1982, yang meningkatkan kekhawatiran kalau The Fed akan menaikkan suku bunga lebih agresif dari perkiraan untuk menanggulangi lonjakan inflasi tersebut.
Sayangnya kondisi ketidakpastian ini juga diperparah oleh jeda komunikasi The Fed yang panjang, dari komunikasi terakhir di 11 Januari hingga rapat FOMC di 27 Januari. “Vakum komunikasi yang panjang ini menyebabkan spekulasi pasar menjadi semakin liar dan menekan sentimen pasar. Namun saat ini volatilitas pasar sudah relatif turun pasca rapat FOMC The Fed yang mempertegas arah kebijakan moneternya sehingga mengurangi ketidakpastian dan spekulasi di pasar,” jelasnya dalam keterangan resmi yang dikutip Media Asuransi, Minggu, 20 Februari 2022.
|Baca juga: Proyeksi Pasar Modal 2022 Modal Besar untuk Mengukir Rekor Baru
Lantas bagaimana potensi pasar saham dalam siklus kenaikan suku bunga The Fed? Menurut Andrian, satu hak yang menarik adalah dalam beberapa periode siklus kenaikan suku bunga Fed sebelumnya kinerja pasar saham Amerika Serikat dan Asia cukup resilien. Sejak tahun 1988 telah terjadi lima kali siklus kenaikan suku bunga The Fed, di 1988, 1993, 1999, 2004, dan 2015 dan dalam periode tersebut pasar saham Amerika Serikat dan Asia mencatat kinerja positif.
“Dalam pandangan kami kinerja pasar saham jangka panjang lebih dipengaruhi oleh faktor fundamental seperti pertumbuhan ekonomi dan outlook kinerja emiten. Selain itu kalau kita melihat dari perspektif lain, kenaikan suku bunga juga dapat dipandang sebagai sinyal bahwa ekonomi dalam kondisi yang kuat dan siap menghadapi kenaikan suku bunga,” tuturnya.
Mengenai dampaknya bagi Asia, menurut Andrian, kondisi makroekonomi kawasan Asia saat ini lebih solid dibandingkan periode 2013, sehingga dapat memberi ketahanan lebih baik menghadapi siklus kenaikan suku bunga The Fed. Indikator makroekonomi seperti suku bunga riil, inflasi, neraca transaksi berjalan, dan cadangan devisa berada pada posisi yang sehat sehingga dapat menopang stabilitas ekonomi dan sentimen pasar.
Selain itu, Asia juga memiliki peranan penting dalam rantai pasokan global sebagai produsen bahan baku, komoditas, maupun barang manufaktur, yang diuntungkan dari meningkatnya permintaan global seiring pembukaan ekonomi. IMF memperkirakan pertumbuhan volume perdagangan global mencapai 6 persen di 2022, di atas rata-rata sebelum pandemic Covid-19 yang 3,4 persen. “Oleh karena itu arus dana diperkirakan tetap suportif bagi kawasan Asia yang dapat mendukung stabilitas neraca finansial negara kawasan Asia,” katanya.
Sementara itu, MAMI melihat potensi yang menarik di kawasan Asia terutama di ASEAN, India, dan China. Pertumbuhan ekonomi kawasan ASEAN dan India diperkirakan lebih tinggi tahun ini dibanding tahun lalu, hal ini berlawanan dengan tren global yang mengalami normalisasi pertumbuhan. “Ini merupakan kondisi makro yang suportif bagi pasar saham kawasan tersebut. ASEAN dan India juga diuntungkan dari tren diversifikasi basis produksi dari China setelah tensi dagang yang terjadi antara AS dan China,” jelasnya.
Andrian Tanuwijaya menambahkan, beberapa sektor yang potensial adalah sektor otomotif di Thailand, IT di Malaysia, dan rantai pasokan baterai listrik di Indonesia. Selain itu kawasan ASEAN dan India juga memiliki potensi ekonomi digital yang besar, karena terdapat banyak perusahaan teknologi unicorn yang akan IPO dan memiliki potensi menarik karena skala pasar yang besar.
|Baca juga: 6 Startup Unicorn Siap IPO, Valuasi Capai US$38,2 Miliar
China juga menawarkan potensi investasi yang menarik, karena setelah melakukan reformasi berbagai sektor di 2021, fokus pemerintah beralih mendukung stabilitas pertumbuhan ekonomi. Perubahan fokus ini berpotensi membuka keran stimulus dan pelonggaran moneter di 2022, sehingga memberi peluang investasi unik di tengah tren negara lain yang melakukan kenaikan suku bunga. Postur akomodatif pemerintah China sudah dimulai dengan dipangkasnya suku bunga acuan dan giro wajib minimum perbankan di awal tahun ini.
Sementara itu dari perspektif top-down, Indonesia menawarkan potensi menarik karena dalam siklus pemulihan ekonomi, pertumbuhan ekonomi 2022 berpotensi lebih baik dibanding 2021. Dari sisi ketahanan ekonomi kondisi Indonesia juga cukup suportif, terlihat dari indikator stabilitas makroekonomi seperti suku bunga riil, inflasi, neraca transaksi berjalan dan cadangan devisa yang menunjukkan perbaikan. Kondisi ini dapat membuat Indonesia menjadi lebih kuat dalam menghadapi normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat.
Indonesia juga memiliki potensi pertumbuhan struktural menarik dari sektor ekonomi digital dan rantai pasokan energi terbarukan seperti baterai listrik. Oleh karena itu minat investor asing terhadap pasar saham Indonesia cukup baik, terlihat dari pembelian bersih investor asing di pasar saham mencapai USD425 juta di Januari, walaupun kondisi pasar global sangat fluktuatif.
“Risiko utama yang perlu diperhatikan adalah perkembangan kondisi pandemi, terutama terkait respon kebijakan pembatasan mobilitas dari pemerintah, dan perubahan kebijakan moneter yang mendadak dan di luar ekspektasi pasar,” jelas Andrian.
Lantas apa strategi portofolio saham di tengah volatilitas pasar finansial yang tinggi saat ini? Menurutnya, fluktuasi pasar karena faktor makroekonomi global merupakan risiko pasar yang tidak bisa dihindari. MAMI menyikapi kondisi ini dengan fokus berinvestasi pada saham perusahaan berkualitas yang menangkap potensi pertumbuhan struktural Indonesia seperti pada sektor e-economy, green economy, dan sektor yang diuntungkan dari kondisi pemulihan ekonomi seperti sektor finansial. “Di samping itu kami juga terus mencermati kondisi pasar dan dapat sewaktu-waktu melakukan perubahan strategi apabila terdapat perubahan kondisi fundamental,” katanya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News