Media Asuransi – Kenaikan harga emas yang sempat menembus level Rp1 juta per gram menjadi penyelamat bagi perusahaan tambang PT United Tractors Tbk (UNTR).
Melalui riset KS Company Update, Senior Manager Research Analyst PT Kresna Securities Robertus Yanuar Hardy mengatakan, keuntungan penambangan emas berhasil mengompensasi imbal hasil yang buruk di segmen lain bagi perusahaan tambang yang berada di bawah naungan Grup Astra itu.
Mengawali November, IHSG Berpotensi Menguat Terbatas
“Laba bersih 9 bulan 2020 turun 29 persen yoy, mencerminkan kontribusi yang lebih rendah dari segmen bisnis alat berat dan terkait batu bara,” jelasnya seperti dikutip Media Asuransi, Senin, 2 November 2020.
Pendapatan UNTR pada kuartal III/2020 turun 10,8 persen qoq menjadi Rp13,27 triliun, dari Rp14,88 triliun di kuartal II/20, menurunkan pendapatan 9 bulan 2020 sebesar 29,2 persen yoy, menjadi hanya Rp46,47 triliun, dari Rp65,61 triliun di 9 bulan 2019. Margin laba operasional dan margin laba bersih yang lebih rendah, masing-masing tercatat hanya 13,4 persen dan 9,6 persen di kuartal III/2020 dibandingkan dengan 14,2 persen dan 15,0 persen pada kuartal II/2020, menekan laba operasi kuartal III/2020 menjadi hanya Rp1,78 triliun dari Rp2,11 triliun di kuartal II/2020.
Sementara itu, laba operasi dan laba bersih konsolidasian UNTR Januari-September 2020 masing-masing turun 45,1 persen dan 38,2 persen yoy, masing-masing menjadi hanya Rp7,09 triliun dan Rp5,34 triliun, sebagai akibat langsung dari kontribusi yang lebih rendah dari segmen bisnis yang terkait dengan alat berat dan batu bara, meskipun kontribusi keuntungan dari segmen pertambangan emasnya tercatat 8,4 persen yoy lebih tinggi.
Laba sebelum pajak dari segmen pertambangan emas UNTR merosot 50,7 persen qoq menjadi hanya Rp524 miliar dari Rp1,06 triliun di kuartal II/2020, menyusul penurunan 22 persen qoq dalam volume penjualannya yang hanya 70.000 oz, dari 90.000 oz. Namun, laba sebelum pajak penambangan emas 9 bulan 2020 masih berhasil tumbuh 8,4 persen yoy menjadi Rp2,22 triliun, dari Rp2,05 triliun di 9 bulan 2019 karena ASP yang lebih tinggi 9,45 persen yoy dari US$1.482/oz vs US$1.354/oz, meskipun volume penjualan turun 17 persen yoy menjadi hanya 254.000 oz dari 307.000 oz.
“Kontribusi penambangan emas terhadap laba sebelum pajak terkonsolidasi grup melonjak menjadi 35 persen di 9 bulan 2020 dari hanya 15,8 persen di 9 bulan 2019,” jelas Robertus.
Di pihak lain, laba sebelum pajak pada segmen jasa pertambangan turun 31,7 persen qoq menjadi hanya Rp1,02 triliun dari Rp1,5 triliun yang tercatat di kuartal II/2020 karena profitabilitas yang lebih rendah, meskipun volume produksi batu bara naik 5,4 persen qoq menjadi 29,4 juta ton, dari sebelumnya 27,9 juta ton.
Laba sebelum pajak jasa pertambangan 9 bulan 2020 merosot 55,7 persen yoy menjadi hanya Rp3,51 triliun dari Rp7,93 triliun di 9 bulan 2019, sebagai akibat dari biaya dan pengeluaran yang jauh lebih tinggi, meskipun volume produksi batu bara hanya turun 12 persen yoy menjadi 85 juta ton, dari sebelumnya 96,4 juta ton. “Kontribusi jasa pertambangan terhadap laba sebelum pajak konsolidasian grup turun menjadi hanya 55,3 persen di 9 bulan 2020 dari 61 persen di 9 bulan 2019”.
Segmen pertambangan batu bara berhasil membukukan laba sebelum pajak sebesar Rp43 miliar di kuartal III/2020, dari kerugian sebelum pajak sebesar Rp476 miliar di kuartal II/2020, karena tidak adanya biaya satu kali yang terjadi di kuartal sebelumnya, meskipun volume penjualan batu bara turun 43 persen qoq menjadi hanya 1,5 juta ton dari sebelumnya 2,7 juta ton. Laba sebelum pajak pertambangan batu bara 9 bulan 2020 merosot 72,2 persen yoy menjadi hanya Rp406 miliar dari Rp1,46 triliun di 9 bulan 2019, sebagai akibat dari penurunan ASP, meskipun volume penjualan naik 14 persen yoy menjadi 7,4 juta ton dari 6,5 juta ton. “Kontribusi penambangan batu bara terhadap laba sebelum pajak konsolidasian turun menjadi hanya 6,4 persen di 9 bulan 2020, dari 11,2 persen di 9 bulan 2019”.
Untuk segmen alat berat mencatat laba sebelum pajak hanya sebesar Rp236 miliar di kuartal III/2020, 50,2 persen qoq lebih rendah dari Rp475 miliar yang tercatat di kuartal II/2020, karena profitabilitas yang lebih rendah, meskipun penjualan Komatsu lebih tinggi sebesar 338 unit dari sebelumnya 236 unit. Laba sebelum pajak alat berat 9 bulan 2020 turun 58 persen yoyY menjadi hanya Rp967 miliar dari Rp2,3 triliun di 9 bulan 2019, sebagai akibat dari penurunan penjualan Komatsu 54 persen yoy menjadi hanya 1.191 unit dari sebelumnya 2.568 unit.
Adapun segmen jasa konstruksi mengalami kerugian sebelum pajak sebesar Rp508 miliar di kuartal III/2020, jauh lebih buruk dari kerugian Rp131 miliar yang tercatat di kuartal II/2020. Segmen jasa konstruksi 9 bulan 2020 mencatat kerugian sebelum pajak sebesar 760 miliar dibandingkan Rp747 miliar kerugian yang dicatat pada 9 bulan 2019.
REKOMENDASI
Berdasarkan kinerja tersebut, Robertus merekomendasikan untuk mempertahankan BUY dengan target harga Rp24.725 per lembar saham. “Perusahaan dengan neraca yang kuat masih diperdagangkan dengan valuasi menarik hanya 4,9/5,0x dari EV/EBITDA 20F/21F,” jelasnya.
Meskipun kontribusi dari segmen bisnis alat berat dan bisnis terkait batu bara tercatat lebih kecil dari periode sebelumnya, tuturnya, UNTR berhasil meningkatkan neracanya dari posisi utang bersih sebesar Rp1,97 triliun pada Desember 2019 menjadi posisi kas bersih sebesar Rp4,64 triliun pada September 2020. “Oleh karena itu, dengan ruang yang cukup untuk mengungkit asetnya, kami berpendapat bahwa investor harus mengantisipasi kemungkinan Perusahaan untuk merambah proyek penghasil kas lainnya yang telah terbukti sebelumnya, dengan berkembang baik secara organik maupun anorganik”.
Dengan demikian, Robertus mempertahankan peringkat BUY untuk UNTR pada target harga Rp24.725 (potensi kenaikan 17 persen), menyiratkan 5,8/6,1x dari 20F/21F EV/EBITDA dan 14,0/13,4x dari rasio P/E 20F/21F. “Target harga terbaru tersebut lebih rendah dari sebelumnya Rp25.650, sebagai akibat dari revisi penurunan atas proyeksi pendapatan dan laba bersih kami menjadi Rp60,2 triliun dan Rp6,6 triliun untuk periode 2020F, dari sebelumnya masing-masing Rp63,8 triliun dan Rp7,8 triliun. Target harga terbaru tersebut juga menyiratkan 1,5/1,4x dari PBV 20F/21F –nya,” kata dia.
Adapun risiko-risiko investasi yang patut diperhatikan oleh investor adalah pertama, pencadangan kerugian atas aset terkait pertambangan batu bara yang lebih besar dari perkiraan untuk periode tahun ini. Kedua, penurunan pendapatan yang lebih dalam dari 28-29 persen yoy tahun ini. Dan ketiga, marjin laba bersih dan EBITDA yang lebih rendah dari 10,9 persen dan 24,3 persen tahun ini. ACA
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News