Media Asuransi, JAKARTA – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) melihat saat ini terdapat perubahan sentimen di pasar saham domestik. Sebelumnya pesimisme melanda pasar saham Indonesia karena berbagai faktor, seperti ketidakpastian tarif AS, kondisi ekonomi domestik yang lemah, maupun kebijakan pemerintah yang tentatif ketika dalam periode transisi.
“Kami melihat saat ini ketidakpastian tarif sudah lebih mereda dan di sisi domestik kebijakan pemerintah dan bank sentral kompak mengarah untuk fokus pada pertumbuhan ekonomi,” kata Chief Investment Officer-Equity MAMI, Samuel Kesuma, dalam keterangan resmi yang dikutip Kamis, 13 November 2025.
Menurut dia, ada tiga faktor yang dapat menjadi faktor positif bagi ekonomi dan pasar saham. Pertama, stimulus ekonomi yang mencapai Rp46 triliun untuk periode September-Desember 2025, termasuk bantuan langsung tunai (BLT) Rp30 triliun yang dapat lebih langsung menjadi katalis bagi konsumsi.
|Baca juga: Direksi Antam (ANTM) Ini Lepas Seluruh Kepemilikan Sahamnya, Ada Apa?
Kedua, belanja pemerintah yang secara historis mengalami akselerasi di kuartal IV/2025. Per September belanja pemerintah baru mencapai Rp2234 triliun (63 persen dari target), dengan asumsi belanja dapat mencapai 100 persen dari target, maka masih ada potensi belanja pemerintah mencapai lebih dari Rp1.200 triliun di kuartal IV/2025, jauh lebih besar dari kuartal-kuartal sebelumnya.
Ketiga, penurunan BI Rate dan injeksi likuiditas dari pemerintah diharapkan dapat mempercepat penurunan suku bunga perbankan dan menarik minat dunia usaha untuk meningkatkan permintaan kredit. Pertumbuhan uang M2 meningkat di September mencapai 8,0 persen (sebelumnya 7,6 persen) dan pertumbuhan kredit sebesar 7,7 persen (bulan sebelumnya 7,5 persen).
Menurut Samuel, MAMI melihat masih ada ruang penurunan suku bunga lebih lanjut bagi BI. Inflasi inti domestik masih pada level rendah, per Oktober di level 2,4 persen year on year (yoy), dan apabila kita mengeluarkan komponen emas yang naik signifikan tahun ini, maka inflasi inti masih di level 1,9 persen.
“Dalam siklus penurunan suku bunga sebelumnya di 2016 dan 2020, selisih antara BI Rate dan inflasi inti dapat menyempit ke kisaran 160 bps (basis points), sementara saat ini selisih tersebut masih di kisaran 235 bps.
|Baca juga: Kondisi Pasar Modal Bukan Satu-satunya yang Memengaruhi Cuan di PAYDI, Lalu Apa?
Sementara itu mengenai kondisi pasar saham, khususnya kinerja saham blue chip yang kalah unggul di sepanjang tahun, Samuel mengatakan bahwa saham-saham kategori blue chip pada dasarnya adalah saham yang pergerakannya dipengaruhi oleh perkembangan fundamental.
“Sayangnya memang tahun ini kinerja laba emiten blue chip terpengaruh oleh ekonomi domestik yang lemah. Ke depannya kami melihat potensi yang lebih baik bagi saham blue chip Indonesia didukung oleh ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang membaik,” tuturnya.
Dia jelaskan, tingkat valuasi saham blue chip saat ini sangat menarik, dilihat dari dividend yield untuk indeks LQ45 saat ini di kisaran 5,3 persen, lebih tinggi dari yield SBN 1Y sebesar 4,8 perseb dan kompetitif dengan yield SBN 5Y sebesar 5,5 persen. “Kami melihat dengan semakin turunnya suku bunga dan yield obligasi maka daya tarik bagi pasar saham akan semakin meningkat, terutama saham blue chip yang telah underperform tahun ini,” tambah Samuel.
Di sisi lain, dalam mengelola portofolio reksa dana saham, MAMI tetap akan fokus pada saham-saham dengan kinerja fundamental yang solid, bahkan di tengah situasi makro ekonomi yang masih menghadapi banyak tantangan. Perubahan sentimen pasar terhadap outlook pertumbuhan ekonomi domestik dan kebijakan pro-pertumbuhan dari pemerintah dan bank sentral diharapkan dapat mendukung perbaikan kinerja keuangan emiten dan menarik minat investor terhadap pasar saham.
Walaupun IHSG telah berada di level yang relatif cukup tinggi, MAMI masih melihat emiten-emiten berkualitas di sektor finansial dan konsumer yang masih diperdagangkan di valuasi yang cukup menarik.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
