Rebound Bitcoin Belum Aman, Data Inflasi AS dan Perang Dagang Dapat Mengubah Arah Pasar
1

Rebound Bitcoin Belum Aman, Data Inflasi AS dan Perang Dagang Dapat Mengubah Arah Pasar

Ilustrasi. | Foto: Freepik

Media Asuransi, JAKARTA – Harga Bitcoin (BTC) sempat turun ke kisaran US$106.000 atau sekitar Rp1,76 miliar (kurs dolar AS Rp16.634) pada Kamis, 23 Oktober 2025. Namun kembali menguat ke US$108.000 (Rp1,79 miliar), setelah aksi jual oleh investor mereda dan arus masuk ETF spot meningkat.

Data internal Tokocrypto menunjukkan, BTC sempat menguji area support di US$106.100 setelah gagal menembus level resistance atas. Kondisi ini terjadi di tengah penguatan dolar AS dan pelemahan harga emas yang terancam kehilangan level psikologis US$4.000 per ons.

|Baca juga: Investor Institusi Makin Agresif Masuk Bitcoin

Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, mengatakan bahwa pergerakan harga Bitcoin kali ini masih sangat dipengaruhi oleh dinamika likuiditas jangka pendek dan ekspektasi pasar terhadap kebijakan moneter AS. “Arus masuk ETF memang memicu rebound teknikal, namun tekanan makroekonomi masih membatasi potensi kenaikan yang lebih agresif,” katanya dalam keterangan tertulis yang dikutip Selasa, 28 Oktober 2025.

Analis memperkirakan, data data inflasi Amerika Serikat (CPI) September menjadi satu-satunya indikator yang dapat mempengaruhi arah kebijakan suku bunga The Fed. “CPI yang lebih lemah mendekati 0,2 persen  akan memperkuat prospek penurunan suku bunga dan memperbaiki sentimen terhadap aset kripto, termasuk Bitcoin,” ujar Fyqieh.

|Baca juga: Bitcoin Siap Uji Level $130.000

Selain faktor moneter, ketegangan dagang antara AS dan China juga menjadi variabel penting dalam dinamika pasar kripto. Fyqieh menilai, kombinasi antara ketegangan geopolitik dan ekspektasi penurunan suku bunga menciptakan fase yang disebutnya ‘ketidakpastian terkendali’ bagi Bitcoin.

Dia menjelaskan bahwa pasar saat ini sedang menimbang dua hal yang berlawanan, yakni tekanan dari sisi makro seperti perang dagang dan inflasi, serta harapan pemangkasan suku bunga yang bisa mendongkrak likuiditas. “Dalam situasi ini, investor ritel sebaiknya menunggu konfirmasi tren baru setelah rilis CPI,” tuturnya.

Fyqieh menambahkan, jika inflasi AS menunjukkan tanda perlambatan dan DXY terus melemah, maka peluang bagi BTC untuk kembali menguji area US$115.000–US$120.000 masih terbuka. Namun jika data CPI justru lebih tinggi dari ekspektasi, pasar bisa kembali menguji support kuat di kisaran US$100.000.

“Investor perlu memperhatikan bukan hanya angka CPI, tapi juga bagaimana pasar obligasi dan dolar meresponsnya. Karena keduanya menjadi indikator arah selanjutnya bagi Bitcoin dan aset kripto lainnya,” kata Fyqieh.

Editor: S. Edi Santosa

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post WTW Bawa Kabar Buruk: Pasar Asuransi di Asia Melemah Lebih Cepat dari Perkiraan!
Next Post Bank Negara Malaysia dan Kemenkes Bertemu dengan Komunitas Medis Bahas Asuransi Kesehatan

Member Login

or
403 Forbidden

403

Forbidden

Access to this resource on the server is denied!


Proudly powered by LiteSpeed Web Server

Please be advised that LiteSpeed Technologies Inc. is not a web hosting company and, as such, has no control over content found on this site.