Media Asuransi, JAKARTA – Fitch Ratings Indonesia telah menetapkan Peringkat Nasional Jangka Panjang ‘AA+(idn)’ untuk obligasi PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBI, BBB-/AA+(idn)/Stabil) senilai sampai Rp1 triliun. Obligasi ini merupakan penerbitan tahap kelima dari program obligasi berkelanjutan perusahaan sebesar Rp15 triliun.
Obligasi akan diterbitkan dalam satu tahap dengan tenor 370 hari dan seluruh hasil bersih akan digunakan untuk membiayai kembali sebagian dari utang TBI yang ada.
Obligasi tersebut diperingkat sama dengan Peringkat Nasional Jangka Panjang TBI karena utang tersebut merupakan kewajiban senior tanpa jaminan dari perusahaan.
Dikutip dari keterangan resminya, Fitch menerangkan Peringkat Nasional ‘AA’ menunjukkan ekspektasi tingkat risiko gagal bayar yang sangat rendah dibandingkan dengan emiten atau obligasi lain di negara atau serikat moneter yang sama. Risiko gagal bayar yang melekat hanya sedikit berbeda dari emiten atau obligasi dengan peringkat tertinggi di negara tersebut.
|Baca juga: Tower Bersama (TBIG) Cetak Pendapatan Rp1,64 Triliun pada Kuartal I/2022
Fitch memperkirakan TBI akan menjaga funds from operation (FFO) net leverage sesuai dengan peringkatnya di tahun 2022-2023 (2021: 5,8x) dan menjaga net debt/EBITDA di bawah 5x. Net debt/EBITDA TBI membaik ke 4,4x di 1H22 (2021: 5,1x) setelah pembayaran sebagian pinjamannya yang didanai oleh penjualan treasury stock senilai USD225 juta kepada pemegang saham langsungnya Bersama Digital Infrastructure Asia Pte Ltd.
Fitch tidak memandang risiko pembaruan kontrak sebagai hal yang signifikan karena hanya 18% dari kontrak perusahaan per 1H22 yang akan jatuh tempo pada tahun 2023 dan 2024. Kami memperkirakan permintaan sewa dari PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom, BBB/Stabil) dan PT XL Axiata Tbk (BBB/AAA(idn)/Stabil) dapat mengimbangi sewa yang tidak diperpanjang oleh PT Indosat Tbk (BBB-/AA(idn)/Stabil) selama 2022-2024. Kontribusi pendapatan dari tiga operator telekomunikasi terbesar sebesar 86% pada 1H22, termasuk Indosat-Hutch yang baru-baru ini merger.
Industri menara Indonesia terkonsolidasi menjadi oligopoli dengan tiga perusahaan menara besar, yang dapat memperkuat daya tawar. Kami mengestimasi TBI dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo, BBB/AAA(idn)/Stabil) mengendalikan sekitar setengah dari industri menara Indonesia. PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk, anak perusahaan dari pemimpin pasar seluler Telkom, saat ini mengontrol sekitar 33% menara di industri setelah mengakuisisi 6.000 menara tambahan dari afiliasi-nya PT Telekomunikasi Selular pada bulan Agustus.
Fitch percaya bahwa kemungkinan merger dan akuisisi (M&A) yang didanai utang oleh TBI, serupa dengan ukuran 3.000 menara yang diakuisisi dari PT Inti Bangun Sejahtera Tbk pada tahun 2021, rendah karena terbatasnya kesempatan untuk mengakuisisi portofolio menara yang besar, karena sisa industri terfragmentasi. Pasar yang tersisa ditempati oleh Edgepoint milik DigitalBridge Group Inc, yang memiliki 9.000 menara, dan beberapa perusahaan menara lebih kecil dengan 1.000-3.000 menara, seperti PT Bali Towerindo Sentra Tbk (A-(idn)/Stabil).
Fitch memperkirakan pertumbuhan pendapatan akan melambat ke satu digit mid-to-high pada tahun 2022-2024, dari low-to-mid-10s pada tahun 2020-2021. Ini disebabkan oleh ekspektasi bahwa permintaan dari Indosat-Hutch, yang terbentuk dari merger pada Januari 2022, akan melambat selama 18-24 bulan awal.
|Baca juga: Tower Bersama (TBIG) Bagi Dividen Rp815,7 Miliar
Namun, permintaan menara dan sewa dari XL dan Telkom akan tetap tinggi, karena kami mengekspektasi perusahaan-perusahaan tersebut untuk menginvestasikan sekitar 25%-30% dari pendapatan sebagai belanja modal. “Kami juga percaya pertumbuhan anorganik akan melambat karena sedikitnya peluang untuk akuisisi besar di industri menara saat ini.”
Fitch memperkirakan TBI akan menghasilkan arus kas bebas yang netral dari tahun 2023, di mana arus kas dari kegiatan operasional cukup untuk mendanai belanja modal dan dividen. Kami mengekspektasi perusahaan akan mendistribusikan pengembalian pemegang saham secara hati-hati, menjaga rasio net debt/EBITDA secara setahun penuh di bawah 5,0x. TBI membayar IDR706 miliar dan IDR816 miliar dividen pada tahun 2021 dan 1H22, secara berurutan.
Peringkat TBI mendapatkan manfaat dari perjanjian sewa jangka panjang yang memberikan visibilitas dan stabilitas arus kas. Total pendapatan terkunci adalah sekitar Rp29 triliun pada akhir Juni 2022, dan rata-rata sisa masa kontrak adalah 5,0 tahun. Fitch menilai risiko tidak diperbaruinya kontrak adalah rendah, karena menara adalah infrastruktur yang sangat penting bagi perusahaan telekomunikasi, dan yang juga ingin menghindari relokasi peralatan untuk meminimalisasi gangguan layanan.
Fitch memproyeksikan margin EBITDA yang telah disesuaikan oleh Fitch pada 2022 akan tetap stabil pada 86% (2021: 87%, 1H22: 87%). Fitch mengekspektasikan margin untuk menurun perlahan ke 85% pada tahun 2023-2024 karena tekanan harga sewa menara. Fitch menghitung EBITDA setelah menyesuaikan untuk beban bunga dan depresiasi yang terkait lease di bawah standar akuntansi Indonesia PSAK 73.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News