Media Asuransi, JAKARTA – Amerika Serikat (AS) telah mengumumkan tarif perdagangan yang menurut Presiden Donald Trump sudah merupakan angka final. Namun yang menarik, pasar finansial tidak terlalu reaktif berfluktuasi tinggi.
Menurut Senior Portfolio Manager-Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Syuhada Arief, ada dua hal yang membuat pasar finansial tidak terlalu reaktif.
Pertama, pasar tidak suka dengan ketidakpastian. “Pengumuman final serangkaian tarif perdagangan Amerika Serikat di awal Agustus dengan berbagai kategorinya seperti tarif dasar, tarif resiprokal, dan tarif sektoral/spesifik mengurangi ketidakpastian yang ada sejak awal pemerintahan Presiden Trump, dan membuat postur tarif perdagangan dunia ke depan semakin terbentuk lebih jelas,” kata Syuhada dalam keterangan resmi yang dikutip Senin, 11 Agustus 2025.
|Baca juga: Saatnya Menyisir Tantangan dan Peluang di Pasar Obligasi
Kedua, besaran angka-angka tarif final tersebut sudah diprediksi pasti akan lebih tinggi dibandingkan tarif perdagangan tahun lalu, sehingga tidak lagi mengagetkan pasar. Di lain pihak, justru besaran tarif yang diumumkan awal bulan lalu ternyata tidak setinggi angka-angka yang diumumkan bulan April lalu.
“Dua hal inilah yang membuat pengumuman Trump tariff bulan Agustus ini tidak menimbulkan gejolak pasar berlebihan, sangat berbeda dengan pengumuman pertama di bulan April kemarin,” tegas Syuhada.
Lebih lanjut disampaikan bahwa walaupun tidak seburuk prediksi awal, kenaikan tarif perdagangan AS untuk dunia tidak dapat diabaikan, karena lonjakannya cukup tinggi dari kisaran dua persen di akhir 2024 menjadi kisaran 18 persen di Agustus 2025. Dan hal ini tetap berpengaruh pada peta perdagangan global.
|Baca juga: Penguatan Pasar Saham Diprediksi Berlanjut Tapi Terbatas
Berdasarkan proyeksi IMF bulan Juli 2025, perekonomian dunia tahun 2025 diproyeksi tumbuh 3,0 persen, lebih rendah dibandingkan proyeksi awal 3,3 persen yang dirilis bulan Januari, tapi juga mengalami peningkatan dibandingkan proyeksi revisi yang dirilis bulan April sebesar 2,8 persen, saat Presiden Trump pertama kali mengumumkan serangkaian tarif resiprokal yang sangat tinggi.
“Selain tarif, revisi kenaikan di bulan Juli ini juga didasari ekspansi fiskal di banyak negara yang meningkatkan likuiditas, serta kecenderungan pelemahan nilai tukar USD yang membuat tekanan pasar finansial mereda,” tutur Syuhada.
Menurutnya, tarif merupakan pajak atas barang impor, sehingga ada kenaikan biaya yang pada akhirnya berdampak pada kenaikan harga dan inflasi. Di semester I/2025 sinyal kenaikan inflasi belum terlalu terlihat, karena importir AS menerapkan strategi frontloading, melakukan impor lebih banyak untuk persediaan produksi sebelum tarif baru yang lebih tinggi berlaku.
|Baca juga: Bos GOTO: KOMPAG Sumbang Rp19,6 Triliun terhadap PDB Indonesia
Di lain pihak, kenaikan harga juga dapat membuat masyarakat mengurangi konsumsi dan menerapkan skala prioritas. Hal ini sudah mulai terlihat dalam data pertumbuhan PDB kuartal kedua AS, mengingat data private domestic purchase yang menggambarkan konsumsi rumah tangga dan investasi korporasi melandai hanya tumbuh 1,2 persen, pertumbuhan terendah sejak kuartal keempat 2022.
MAMI menilai, menurunnya konsumsi akan mempengaruhi aktivitas produksi dan sektor tenaga kerja. Hal ini pun sudah mulai terlihat dari data sektor tenaga kerja non farm payroll yang rata-rata hanya tumbuh 35 ribu per bulan, level terendah sejak pandemi.
“Mempertimbangkan beberapa kondisi di atas, kami menilai The Fed masih memiliki ruang, bahkan lebih terbuka, untuk menurunkan Fed Funds Rate (FFR) satu sampai dua kali sampai akhir tahun, dengan pandangan bahwa peningkatan tekanan inflasi akan bersifat sementara, di sisi lain pelemahan ekonomi sangat krusial untuk ditangani,” jelasnya.
Sementara itu, tarif untuk Indonesia memang turun dari 32 persen ke 19 persen. Tetapi kita harus ingat, tetap ada kenaikan dibandingkan tahun lalu yang hanya 10 persen. Kenaikan ini tetap akan berdampak pada perdagangan, mengingat ekspor unggulan ke AS adalah sektor padat karya seperti misalnya alas kaki dan tekstil.
|Baca juga: Nilai Transaksi IPO Saham Global Catatkan Kenaikan Signifikan
Namun secara relatif tarif yang dikenakan ke Indonesia adalah salah satu yang terendah di ASEAN, hanya kalah dari Singapura yang tarifnya 10 persen. Indonesia punya peluang untuk meningkatkan daya saing ekspor, jika dilakukan pembenahan dari sisi kualitas, konsistensi, regulasi, logistik dan sebagainya.
Syuhada juga menjelaskan bahwa dinamika makroekonomi global dan domestik tetap suportif bagi pasar obligasi. Meningkatnya preferensi pada aset di luar AS, pelemahan USD, serta outlook turunnya FFR dan BI Rate mendukung minat terhadap pasar obligasi Indonesia. Ekspektasi siklus penurunan suku bunga ini pun sebenarnya masih berlanjut di 2026, sehingga hal ini semakin mendukung daya tarik pasar obligasi ke depannya.
Di sisi lain, komitmen pemerintah untuk menjaga disiplin fiskal (defisit <3 persen dari PDB) juga merupakan faktor positif, seperti misalnya tercermin dari lembaga pemeringkat S&P yang bulan Juli lalu mengafirmasi rating ‘BBB’ dengan outlook stabil, mengindikasikan persepsi positif investor terhadap kondisi fiskal Indonesia.
“Secara singkat sebagai kesimpulan, outlook pasar obligasi sampai akhir tahun ini masih positif. Mengenai pengelolaan portofolio, saat ini kami fokus pada obligasi tenor pendek sampai menengah, ditopang keyakinan bahwa baik The Fed dan BI akan menurunkan suku bunga acuan di paruh kedua 2025 ini,” katanya.
Selain itu, MAMI juga menambah alokasi pada obligasi korporasi dengan kualitas kredit yang baik dan memberikan premium imbal hasil yang menarik. Dalam melakukan investasi pada obligasi korporasi, MAMI melakukan analisa komprehensif termasuk analisa risiko kredit mandiri, sehingga kami tidak bergantung kepada lembaga pemeringkat rating eksternal obligasi.
MAMI juga melakukan analisis risiko likuiditas dengan menganalisis data historis transaksi ataupun ketersediaan harga bid dan offer di pasar termasuk kedalaman volume bid-offer tersebut. “Analisis kompabilitas juga menjadi pertimbangan penting dengan membandingkan yield spread premium terhadap imbal hasil obligasi pemerintah ataupun imbal hasil relatif terhadap obligasi korporasi lain yang sejenis, contoh dengan peringkat kredit yang sama dan durasi yang sama,” jelas Syuhada Arief.
Editor: S. Edi Santosa
Caption: Senior Portfolio Manager-Fixed Income MAMI, Syuhada Arief. (foto: doc. MAMI)
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News