1
1

6 Negara Asia Alami Krisis Ekonomi, Kerusuhan Merebak

Media Asuransi, JAKARTA – Kebangkrutan yang menimbulkan krisis ekonomi dan politik di Sri Lanka telah menjadi peringatan besar bagi dunia. Bahkan, ancaman krisis Sri Lanka juga telah menghantui negara-negara lainnya.

Hal ini disebabkan akibat adanya negara-negara yang memiliki situasi ekonomi yang cukup mirip dengan negara itu. Ini dapat dilihat dari jumlah utang luar negeri yang cukup banyak serta inflasi yang begitu tinggi.

Lalu negara-negara mana sajakah yang terancam seperti Sri Lanka? Berikut rangkuman CNBC Indonesia, Jumat, 29 Juli 2022, melansir dari berbagai sumber.

Laos

Negara Asia Tenggara ini menghadapi risiko gagal bayar pinjaman luar negerinya selama beberapa bulan. Sekarang, kenaikan harga minyak karena serangan Rusia ke Ukraina telah menambah tekanan pada pasokan bahan bakar dan mendorong naiknya harga bahan pangan di negara dengan 7,5 juta penduduk itu.

Baca juga: AS Resmi Resesi, Namun Presiden, Menkeu, Hingga Gubernur Bank Sentral Ngeles

Media lokal melaporkan antrean panjang untuk bahan bakar dan mengatakan beberapa rumah tangga tidak mampu membayar tagihan mereka. Mata uang Laos, kip, juga telah jatuh dan turun lebih dari sepertiga terhadap dolar AS tahun ini.

Laos yang terlilit utang, sebenarnya sudah berjuang untuk membayar kembali pinjaman tersebut dan mendanai kebutuhan negara yang harus diimpor dari negara lain. Bank Dunia mengatakan negara itu memiliki cadangan devisa US$ 1,3 miliar per Desember tahun lalu.

Tetapi total kewajiban utang luar negeri tahunannya adalah sekitar jumlah yang sama hingga tahun 2025. Akibatnya, Moody’s Investor Services menurunkan peringkat negara yang diperintah komunis menjadi ‘junk’ pada bulan lalu.

“Utang publik Laos berjumlah 88% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2021, dengan hampir setengah dari angka itu berutang ke China,” ujar Bank Dunia.

China memang cukup rajin memberikan pinjaman kepada negara yang juga merupakan tetangganya itu. Menurut pejabat Laos yang berbicara kepada media pemerintah China, Xinhua, Beijing telah mengeksekusi 813 proyek senilai lebih dari US$ 16 miliar pada tahun lalu.

Myanmar

Myanmar pun menghadapi risiko kebangkrutan. Ini lebih karena pandemi Covid-19 dan ketidakstabilan politik terutama setelah kudeta junta militer terhadap pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi di Februari 2021.

Hal itu membawa sanksi Barat yang menargetkan kepemilikan komersial yang dikendalikan oleh tentara, yang mendominasi ekonomi. Ekonomi mengalami kontraksi sebesar 18% tahun lalu dan diperkirakan hampir tidak tumbuh pada tahun 2022.

Baca juga: AirAsia Masuk, Persaingan Pesan Antar Makanan Makin Sengit

Lebih dari 700.000 orang telah melarikan diri atau diusir dari rumah mereka oleh konflik bersenjata dan kekerasan politik. Situasinya sangat tidak pasti, pembaruan ekonomi global baru-baru ini dari Bank Dunia mengecualikan proyeksi bagi Myanmar untuk 2022-2024.

Mengutip data Tradingeconomic, inflasi Myanmar tercatat 12,63% di Januari 2022 (yoy). Sayangnya, tak ada data baru yang ter-update.

Afghanistan

Afghanistan telah terperosok ke dalam krisis ekonomi yang mengerikan sejak Taliban mengambil kendali ketika AS dan sekutu NATO-nya menarik pasukan mereka tahun lalu. Bantuan asing yang telah lama menjadi andalan terhenti.

Pemerintahan Biden membekukan US$ 7 miliar cadangan mata uang asing Afghanistan yang disimpan di AS. Sekitar setengah dari 39 juta penduduk negara itu menghadapi tingkat kerawanan pangan yang mengancam jiwa dan sebagian besar pegawai negeri, termasuk dokter, perawat, dan guru, tidak dibayar selama berbulan-bulan.

Derita Afghanistan tak berheti sampai di situ. Sebuah gempa bumi baru-baru ini menewaskan lebih dari 1.000 orang.

Maladewa

Maladewa telah mengalami pembengkakan dalam utang publiknya di beberapa tahun terakhir. Saat ini, utang tersebut telah melampaui di atas 100% dari PDB-nya. Seperti Sri Lanka, pandemi Covid-19 menghantam negara kepulauan itu yang sangat bergantung pada pariwisata.

Negara-negara yang sangat bergantung pada pariwisata cenderung memiliki rasio utang publik yang lebih tinggi. Namun khusus Maladewa, Bank Dunia mengatakan negara itu sangat rentan terhadap kenaikan biaya bahan bakar yang lebih tinggi karena ekonominya tidak terdiversifikasi.

Bank investasi AS, JPMorgan, mengatakan bahwa negara tujuan liburan itu berisiko gagal bayar utangnya pada akhir 2023.

Bangladesh

Inflasi mencapai level tertinggi delapan tahun di Bangladesh. Bahkan menyentuh 7,42% pada Mei lalu.

Dengan cadangan yang semakin menipis, pemerintah telah bertindak cepat untuk mengekang impor yang tidak penting, melonggarkan aturan untuk menarik pengiriman uang dari jutaan migran yang tinggal di luar negeri dan mengurangi perjalanan ke luar negeri bagi para pejabat.

“Untuk ekonomi yang mengalami defisit transaksi berjalan -seperti Bangladesh, Pakistan, dan Sri Lanka- pemerintah menghadapi tantangan serius dalam meningkatkan subsidi. Pakistan dan Sri Lanka telah meminta bantuan keuangan kepada IMF dan pemerintah lainnya,” terang analis S&P Global Ratings, Kim Eng Tan.

“Bangladesh harus kembali memprioritaskan pengeluaran pemerintah dan memberlakukan pembatasan aktivitas konsumen,” katanya.

Pakistan

Harga bahan bakar di Pakistan naik sekitar 90% sejak akhir Mei, setelah pemerintah mengakhiri subsidi bahan bakar. Ini merupakan salah satu langkah negara itu untuk melanjutkan program bailout dengan Dana Moneter Internasional (IMF).

Ekonomi sedang berjuang dengan kenaikan harga barang. Pada bulan Juni, tingkat inflasi tahunan mencapai 21,3%, tertinggi dalam 13 tahun.

Seperti Sri Lanka dan Laos, Pakistan juga menghadapi cadangan mata uang asing yang rendah, karena hampir setengah jumlah devisa negara itu menurun sejak Agustus tahun lalu.

Negara itu juga akhirnya memberlakukan pajak 10% pada industri skala besar selama satu tahun untuk mengumpulkan US$ 1,93 miliar demi mengurangi kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah.

“Jika mereka dapat membuka dana ini, pemberi pinjaman keuangan lainnya seperti Arab Saudi dan UEA (Uni Emirat Arab) mungkin bersedia memberikan kredit,” ujar analis S&P Global Ratings, Andrew Wood.

Sekali lagi China memainkan peran di sini. Lebih dari seperempat utang Pakistan adalah ke Beijing.

“Pakistan tampaknya telah memperbarui fasilitas pinjaman komersial vis-a-vis China dan ini telah menambah cadangan devisa dan ada indikasi mereka akan menjangkau China untuk paruh kedua tahun ini,” tambah Wood. Aha

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post AS Resmi Resesi, Namun Presiden, Menkeu, Hingga Gubernur Bank Sentral Ngeles
Next Post Bank Mandiri Fasilitasi Pengembangan Akses Kartu ATM BPR Eka Bumi Artha

Member Login

or