Media Asuransi – Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mengusulkan kepada pemerintah untuk segera mempercepat pembentukan Lembaga Penjamin Polis. AAJI mengusulkan, pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang untuk mengatur hal tersebut, salah satunya adalah memasukkan rancangan LPP kedalam revisi UU yang mengatur LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).
Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu, mengatakan bahwa AAJI dan asosiasi asuransi lainnya telah memberikan usulan kepada pemerintah sesuai dengan amanat UU Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Tiga tahun setelah UU tersebut diundangkan atau sejak tahun 2017, Lembaga Penjamin Polis harus terbentuk. Namun demikian hingga saat ini belum ada tanda-tanda untuk melaksanakan pembentukan LPP ini.
“Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda pemerintah mau membuat lembaga ini. Karena lembaga ini juga harus dibentuk melalui UU juga sama seperti halnya LPS. Dalam masukan-masukan yang kami sampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, sejak 2018 itu kami sampaikan upaya untuk mempercepat proses, ada baiknya di switch ke masukan ke dalam revisi UU LPS. Harapannya LPS juga tidak hanya menjamin perbankan, namun juga asuransi.,” kata Togar Pasaribu dalam acara bincang-bincang MedAs Talks di TVAsuransi, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
- AAJI Salurkan Bantuan Sebesar Rp500 Juta Bagi Korban Bencana Alam
- Peserta Lulus Ujian Reguler AAJI
- Peserta Lulus Ujian Reguler AAJI (Paper Exam)
- AAJI: Asuransi Jamin Klaim Polis Korban Sriwijaya Air
Menurut Togar, meskipun LPPP masuk dalam ranah LPS agar dalam pelaksanaannya lebih fair maka AAJI mengusulkan agar dana LPS yang terkumpul dari perbankan harus dipisahkan. Hal ini dikarenakan nature bisnis yang dijalankan perbankan dan asuransi memiliki perbedaan. Terlebih dari sisi operasional, biaya yang harus dikeluarkan juga dapat dihemat mulai dari kantor baru, rekrutmen, dan lainnya. Sehingga biaya operasionalnya relatif sudah di-cover LPS. Meski demikian, dalam pelaksanaannya nanti LPS harus memiliki aktuaris dan orang-orang yang jago dalam hal kurator sehingga jika terjadi kebangkrutan itu betul-betul prosesnya dijalankan dengan benar.
“Tentu saja ada aturan yang bisa kita usulkan artinya dana yang sudah terkumpul dari perbankan jangan disatukan dengan yang asuransi supaya fair. Dan waktu pembentukan LPS, pemerintah setorkan sebesar Rp4 triliun, sehingga kita juga berharap, pemerintah bisa melakukan hal yang sama untuk Lembaga Penjamin Pemegang Polis,” katanya.
Diakui Togar, pembentukan LPPP ini memberi kemudahan bagi pemerintah untuk melakukan pengaturan kepada perusahaan asuransi. Seperti saat akan melakukan penutupan perusahaan asuransi yang bermasalah tentu lebih mudah karena sudah ada Lembaga Penjamin Pemegang Polis. Beda halnya dengan yang terjadi saat ini, untuk menutup perusahaan asuransi yang bermasalah pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal, mulai dari dampak carrying forward-nya, liability-nya hingga dampak lainnya.
“Kami usulkan dalam LPPP ini, pertama adalah dari sisi pemerintah akan lebih easy dalam hal pengambilan tindakan. Yang kedua, tidak seperti LPS, bank ditutup, keluarin uang untuk mengganti dana pihak ketiga, tidak seperti itu. LPPP itu bisa berfungsi sebagai mediator, yakni polis-polis yang menjadi portofolio sehat dari perusahaan asuransi yang mau tutup atau bangkrut itu bisa di-switch ke perusahaan asuransi lainnya. Jadi tidak ada dana yang dikeluarkan oleh lembaga itu,” jelasnya.
Togar mengungkapkan, tidak semua produk asuransi dapat masuk dalam Lembaga Penjamin Pemegang Polis. “Contoh seperti unitlink, produk unitlink itu ada dua unsur, proteksi dan investasi. Unsur investasinya tidak bisa dimasukkan dalam LPPP, karena risiko investasinya ada pada pemegang polis bukan di perusahaan. Demikian juga dengan asuransi kecelakaan, ya nggak perlu dimasukkan dalam LPPP ini. Yang bisa masuk dalam LPP adalah proteksi murni dan punya jangka panjang,” ungkapnya.
“Ini yang mungkin membuat, pemerintah maju mundur untuk membuat LPP. Karena seperti diketahui, bahwa saat ini ada beberapa perusahaan asuransi yang bermasalah dan masalahnya juga tidak kecil. Jadi kalau perusahaan bermasalah ini dimasukan ke dalam Lembaga Penjamin Pemegang Polis, maka LPP-nya langsung akan bangkrut. Jadi mesti ada aturan tertentu dalam UU yang baru. Kami dalam usulannya itu dalam 3 tahun berturut-turut perusahaan yang harus menjadi anggota itu harus profit, RBC di atas 120 persen. Lalu juga kita menetapkan iuran berdasarkan risiko dari perusahaan tersebut. Kalau perusahaan itu punya produk yang risikonya tinggi, maka iurannya lebih mahal,” papar Togar.
Dalam kajiannya dengan pemerintah, Togar mengungkapkan bahwa AAJI sudah memberikan banyak usulan yang cukup komprehensif. Bahkan kajian dari studi ke beberapa negara juga telah disampaikan. Antara lain dari Kanada, Hongkong, Thailand, dan Malaysia. “Jadi banyak hal yang sudah kita usulkan kepada pemerintah. Seperti dari Hongkong dan Malaysia juga sudah punya dan Thailand bahkan lebih dulu punya sekitar 5–6 tahun yang lalu,” katanya.
Togar mencontohkan, di Kanada jika perusahaan asuransi itu bangkrut maka aset perusahaan itu akan disita oleh yang berwajib atau pihak kepolisian. Hal itu pula yang menjadi salah satu poin yang diusulkan AAJI kepada pemerintah agar dalam proses pembentukan LPP harus memiliki agreement dengan pihak kepolisian, kejaksaan, KPK dan lainnya.
“Sehingga jika terjadi kebangkrutan, semua aset perusahaan tersebut disita sehingga tidak ada aset yang berpindah tangan. LPP di negara lainnya seperti Thailand, Hongkong, dan Malaysia ada kemiripan hanya saja dari kebijakan penyitaan aset itu saja yang membedakannya,” pungkasnya. One
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News