Media Asuransi, JAKARTA- Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menggelar webinar persiapan spin off bagi unit syariah perusahaan asuransi, dengan mengambil tema “Menyongsong Spin Off Asuransi Syariah”, Rabu, 29 September 2021. Hadir sebagai pembicara dalam webinar tersebut, Direktur IKNB Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kris Ibnu Roosmawati dan Direktur Eksekutif AASI, Erwin Noekman.
Acara ini merupakan bentuk support AASI kepada perusahaan anggota dalam rangka mempersiapkan diri untuk melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 Nomor 67 Tahun 2017 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
Kris Ibnu Roosmawati menjelaskan bahwa perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang memiliki unit syariah wajib melakukan pemisahan unit syariah jika telah memenuhi ketentuan dari regulator, baik menurut Undang-undang maupun dari POJK, yaitu apabila dana tabarru’ dan dana investasi peserta telah mencapai 50 persen dari total nilai dana asuransi, dana tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya atau sudah 10 tahun sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 40 tahun 2014. Di sisa waktu menjelang tahun 2024 ada 44 unit syariah yang akan menindaklanjuti Rencana Kerja Pemisahan Unit Syariah (RKPUS) perusahaan asuransi yang telah disetujui OJK. Selanjutnya OJK akan terus memantau dan melakukan assessment.
|Baca juga: Menebak Akhir Kewajiban Spin off Asuransi Syariah
Pelaksanaan aturan kewajiban spin off ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan mendirikan perusahaan baru yang diikuti dengan pengalihan seluruh portofolio kepesertaan unit syariah kepada perusahaan baru tersebut atau dengan mengalihkan seluruh portofolio kepesertaan unit syariah kepada perusahaan lain yang telah memperoleh izin usaha.
“Sesuai dengan aturannya, setelah penyampaian RKPUS, perusahaan dapat melakukan perubahan terhadap RKPUS yang telah disetujui oleh OJK, paling banyak 2 kali yang disampaikan kepada OJK dan paling lambat 1 tahun sejak tanggal surat persetujuan OJK atas RKPUS pertama,” ungkap Kris Ibnu Roosmawati.
Terkait dengan relaksasi karena pandemi, dia mengatakan bahwa sejauh ini OJK belum mendapatkan informasi atau sikap khusus untuk asuransi dari pemerintah, termasuk untuk kewajiban spin off. OJK sebenarnya sudah mengajukan tiga hal untuk relaksasi, termasuk di dalamnya untuk asuransi. Selain itu, lanjutnya, sejauh ini juga belum ada arahan untuk mengeluarkan POJK terkait kebijakan sinergi asuransi syariah dengan perusahaan induk konvensional. Namun, jika hal tersebut bisa menjadi wacana dan juga dilakukan oleh industri lainnya, barangkali dapat didiskusikan dan dikaji lebih lanjut.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif AASI, Erwin Noekman, menjelaskan bahwa pada tahun 2018, AASI telah menggelar workshop terkait proses spin off bagi perusahaan asuransi yang memiliki unit syariah. Workshop tersebut, lanjut Erwin, menghasilkan format standar dan simulasi financial modelling dalam rangka memberi gambaran kepada anggota AASI yang akan melakukan spin off. Imbasnya, ada yang langsung melakukan kajian di tahun 2018, ada yang di tahun 2019 dan ada pula di tahun 2020.
|Baca juga: Persiapan bagi Agen Asuransi Syariah Jelang Spin off
Di tahun 2021, lanjut Erwin, apapun pilihan bentuk pemisahan yang akan dilakukan, 44 unit syariah tersebut harus membentuk tim khusus pelaksana pemisahan unit Syariah. Karena pada Bulan Oktober 2023 merupakan batas waktu pengalihan portofolio unit syariah kepada perusahaan asuransi syariah yang lain, kalau memang melakukan pengalihan portofolio.
”Yang perlu diperhatikan adalah, apapun pilihan yang diambil untuk pelaksanaan kewajiban spin off, perusahaan itu harus melakukan pengalihan portofolio atas izin OJK dengan tidak mengurangi hak-hak pemegang polis. Di sini juga peran Komisaris Independen dibutuhkan untuk menyuarakan kebutuhan pemegang polis. Kemudian yang juga mesti diperhatikan dalam pengalihan portofolio ini adalah harus sesuai dengan kaidah syariah,” ungkapnya.
Erwin juga menambahkan bahwa ada beberapa alasan unit syariah perusahaan asuransi mendirikan perusahaan baru. Pertama, adanya komitmen dan keyakinan untuk mengembangkan bisnis syariah. Kedua, fokus untuk mengembangkan bisnis tertentu. Ketiga, kesediaan sebagai penampung portofolio bisnis syariah dari perusahaan lain. Keempat, opportunities yang masih terbuka lebar untuk industri asuransi syariah. Dan yang kelima, alasan untuk mematuhi peraturan yang ada.
Sedangkan bagi perusahaan yang memindahkan portofolionya ke perusahaan syariah lain, menurut Erwin juga memiliki beberapa alasan, diantaranya karena kendala skala bisnis yang kurang ekonomis, karena faktor SDM, dan karena masalah permodalan.
“Salah satu tugas kami di AASI adalah selalu mengingatkan kepada anggota agar mempersiapkan diri untuk spin off. Kita masih ada waktu sekitar dua tahun lagi. Apapun pilihan yang diambil tidak akan mudah. Namun yang jelas, jangka waktu pengalihan portofolio asuransi syariah lebih pendek ketimbang mendirikan perusahaan baru. Namun apapun yang akan dipilih yang pastinya menjadi it’s going to be our legacy, apakah akan melahirkan bayi yang sehat, ataukah akan mengubur unit syariah di perusahaan masing-masing,” tutur Erwin. Ken
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News