1
1

AASI: UU P2SK Tetap Mewajibkan Pemisahan Unit Syariah

Industri Asuransi Syariah Indonesia. | Foto: Media Asuransi/Arief Wahyudi

Media Asuransi, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menyatakan bahwa Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) tetap menegaskan adanya kewajiban pemisahan unit syariah di perasuransian.

Kewajiban melakukan pemisahan ini diatur di pasal UU No.4 tahun 2023 yang berbunyi: “Dalam hal perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi memiliki unit syariah, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dimaksud wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi perusahaan asuransi syariah atau perusahaan reasuransi syariah.”

Memang ada perubahan dibandingkan Pasal 87 UU 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang berbunyi: Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi memiliki unit syariah dengan nilai Dana Tabarru’ dan dana investasi peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini, Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi tersebut wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi syariah.

|Baca juga: Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Dalam UU P2SK

“AASI mengucap syukur bahwa UU Nomor 4 Tahun 2023 tetap menegaskan adanya kewajiban pemisahan unit syariah di perasuransian. Baik UU No. 40 tahun 2014 maupun UU No.4 tahun 2023, keduanya tetap mewajibkan adanya pemisahan unit syariah,” kata Direktur Eksekutif AASI, Erwin Noekman, dalam keterangan resmi, Rabu, 25 Desember 2023.

Dia jelaskan, apabila dimaknai, sebagaimana isi Ayat 1 di atas, maka sebenarnya OJK sebelumnya telah mengatur tentang pemisahan unit syariah, yaitu POJK Nomor 67 Tahun 2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, utamanya dalam Pasal 17 Ayat 1, yang berbunyi: Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib melakukan Pemisahan Unit Syariah menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah apabila Dana Tabarru’ dan dana investasi peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Dengan demikian, menurut Erwin, secara hukum hingga saat ini, kewajiban pemisahan unit syariah masih tetap berlaku dengan ketentuan, yaitu:

1.Dana Tabarru’ dan dana investasi peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya.

2.Sepuluh tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yaitu tepatnya pada 17 Oktober 2024

“Berkenaan dengan hal di atas, AASI mengingatkan kembali kepada seluruh Anggota AASI, utamanya yang masih berbentuk Unit Syariah, untuk patuh dan menjalankan ketentuan hukum yang masih berlaku, dan menjalankan semua program kerja sebagaimana penyampaian Rencana Kerja Pemisahan Unit Syariah (RKPUS) yang telah disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) masing-masing perusahaan,” kata Erwin Noekman.

|Baca juga: UU P2SK Perkuat Industri Perasuransian Nasional

Jika terdapat perubahan dalam RKUPS, AASI menghimbau kepada seluruh anggotanya untuk terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dalam RUPS, dan selanjutnya mengajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan (bila disetujui). “AASI siap untuk membantu semua Unit Syariah, baik yang memutuskan untuk melakukan pendirian perusahaan baru hasil pemisahan Unit Syariah, maupun Unit Syariah yang akan melakukan pengalihan portofolionya kepada perusahaan asuransi syariah lain,” tutur Erwin.

Di sisi lain, AASI melihat belum ada urgensi bagi OJK untuk melakukan perubahan atas Pasal 17 di POJK 67. Hal ini tentunya dapat terlihat dari intensi dan RKPUS yang telah disampaikan oleh Perusahaan kepada OJK. AASI yakin, baik dilihat dari sisi jumlah aset maupun dari jumlah entitas, sebagian besar mengarah kepada pendirian perusahaan asuransi syariah baru, hasil pemisahan Unit Syariah.

“Untuk itu, AASI kembali menegaskan komitmen untuk membantu OJK bila diperlukan untuk mempermudah implementasi RKPUS di masing-masing anggota AASI, baik yang akan melakukan pendirian maupun yang akan melakukan pengalihan. Lebih jauh, AASI bersedia menjadi match maker di antara para pemangku kepentingan,” tegas Erwin Noekman.

AASI mencatat, intensi untuk masuk ke pasar asuransi syariah masih tetap tinggi. Di akhir tahun 2022 lalu, tercatat adanya pendirian entitas baru sebagai ‘cangkang’ perusahaan asuransi umum syariah sebagai hasil pemisahan unit syariahnya. AASI juga memantau, di awal tahun hingga kwartal pertama tahun 2023 ini, setidaknya terdapat 3 entitas akan berdiri sebagai ‘cangkang’ sebagai embrio berdirinya perusahaan asuransi syariah baru.

Selain itu, AASI juga mendapatkan permintaan pandangan dari pihak luar negeri yang menyatakan minatnya untuk masuk ke industri asuransi syariah. Pemodal asing ini masih mencari bentuk yang paling sesuai, apakah melalui akuisisi atau melakukan pendirian baru perusahaan asuransi syariah.

Editor: S. Edi Santosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Mirae Pertahankan Rekomendasi Beli Saham BBNI
Next Post BEDAH SAHAM: Menakar Prospek Merdeka Copper (MDKA)

Member Login

or