Media Asuransi – Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), HSM Widodo, mengatakan bahwa jika melihat data pertumbuhan industri asuransi umum di kuartal I/2021, memang ada perbaikan. Hal itu terjadi karena datanya dibandingkan dengan kuartal I/2020 yang pertumbuhannya tidak terlalu tinggi.
Sementara itu mengenai pertumbuhan PDB yang per kuartal II/2021 besarnya mencapai 7 persen, menurut Widodo, perlu dilihat juga purchasing managers index (PMI) Manufaktur di bulan Juli yang sebesar 40, turun signifikan dari sebelumnya 53 di bulan Juni. “Jadi ada penurunan dari sebelumnya dua bulan ekspansi yakni 56 dan 53, kemudian di bulan Juli turun menjadi 40. Angka 40 di PMI itu menunjukkan terjadi kontraksi yang luar biasa,” katanya saat menjadi nara sumber dalam acara bincang-bincang di BeritaSatu TV, Kamis, 5 Agustus 2021.
Dia mengingatkan perusahaan asuransi agar sangat peduli dengan kondisi ini. “Kemungkinan ke depan akan ada cancelation–cancelation. Kita berharap penurunan PMI 40 di bulan Juli ini tidak berlanjut di bulan Agustus, karena kalau perusahaan manufacturing sampai tutup 2 bulan itu akan sangat susah untuk recovery,” jelasnya.
|Baca juga: Investasi Jadi Motor Penggerak Pertumbuhan Ekonomi 2021
HSM Widodo mengakui bahwa kalau dilihat dari pertumbuhan premi, kontraksi terbesar memang terjadi pada jenis asuransi kendaraan bermotor. Walau sudah mulai bergerak, masih sangat jauh sebagai impact dengan saat semuanya berhenti mendadak pada bulan Maret tahun lalu. “Indonesia itu biasanya produksi mobil sekitar 100 ribu per bulan, namun di bulan April 2020 itu tinggal sekitar 1.200-an, berdasar data Gaikindo. Impact dari penutupan produksi yang terjadi itu juga sangat signifikan,” tuturnya.
Terkait dengan prospek ke depan bagaimana, menurut Ketua Umum AAUI ini, ada yang cukup menarik dari statistik AAUI yang keluar pada kuartal I/2021. Yakni ada pertumbuhan sekitar 4 persen dari sisi premi terutama di properti. “Namun kalau kita telaah lebih dalam memang ada satu portofolio penutupan polis asuransi yang hanya happening setiap dua tahun sekali,” katanya.
Dia tambahkan, ada grup besar yang punya pabrik banyak sekali dengan premi triliunan rupiah, namun ini hanya terjadi dua tahun sekali. Inilah yang dibukukan pada kuartal I/2021. “Kalau ini kita take out, kontraksinya sudah 25 persen yang ada,” jelasnya.
|Baca juga: Pertumbuhan Premi Asuransi Umum Kuartal III/2020 Terkontraksi
Dengan melihat hal tersebut, ke depan akan seperti apa? Menurut Widodo, industri asuransi akan me-manage sebaik mungkin dari sisi calculation dan tentunya kita akan tergantung sekali pada kenaikan yang mungkin akan terjadi pada PMI. “Karena PMI ini impact-nya langsung, sedangkan kalau GDP kan sekarang naik 7 persen itu yoy, dari tahun lalu yang sudah turun 8 persen. Kalau sekarang naik 7 persen, ini kan berarti baru akan balik ke arah sebelumnya,” katanya.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa perusahaan asuransi juga harus keluar dari kebiasaan-kebiasaan, produk-produk yang ‘tradisional’. Sebagai contoh, mobil hanya jalan dua kali dalam sebulan ini. Namun harus membayar asuransinya untuk setahun, beberapa puluh juta.
Nah, mungkin ke depan perusahaan asuransi akan mulai melihat produk-produk yang usage insurance, yakni asuransi yang hanya dibayarkan saat digunakan saja. “Jadi misalnya saat saya akan traveling keliling Jawa baru saya akan membeli asuransi untuk kendaraan saya. Apakah perlu tahunan, tentu tidak,” kata Widodo.
Menurutnya, mungkin ke depan boleh ada produk-produk yang seperti itu. Misalnya ada asuransi demam berdarah hanya saat musim hujan. Di musim kering, tidak banyak demam berdarah, untuk apa beli asuransi demam berdarah. “Jadi dari sisi pricing, dari sisi produk perlu kita pikirkan lebih dalam lagi, untuk pergi dari model-model tradisional yang sudah kita jalankan berpuluh-puluh tahun ini. Sebagai contoh yang sudah kita lakukan saat ini adalah kita memberikan asuransi untuk curah hujan yang berlebihan atau kekurangan bagi para petani coklat di Sulawesi,” jelasnya. Edi
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News