Perekonomian Indonesia dinilai masih dapat tumbuh stabil di tahun depan di tengah tantangan ekonomi global. Daya tahan ekonomi, yang ditopang oleh konsumsi masyarakat, serta efek kebijakan makro seperti penurunan suku bunga dan reformasi struktural yang mendorong investasi, akan dapat menopang pertumbuhan ekonomi. Hal ini disampaikan Ekonom BCA David Sumual dalam acara talkshow Kafe BCA dengan tema “Economy Outlook 2020” yang diadakan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) di Breakout Area, Menara BCA, Jakarta, 18 Oktober 2019.
David memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2020 dapat mencapai 5,0-5,2 persen, dengan risiko eksternal yang masih terjaga, defisit neraca transaksi berjalan berada di level 2,0-2,5 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Asumsi ini didukung oleh kebijakan moneter dan fiskal yang cenderung pro-growth, terlebih dengan kedenderungan suku bunga global yang semakin menurun, meskipun risiko makro dari pembalikan arus modal masih perlu diwaspadai.
Lebih lanjut dia jelaskan, ada sejumlah katalis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di tahun depan, antara lain kelanjutan proyek infrastruktur dan rencana pemindahan ibukota yang akan mendorong kinerja sektor konstruksi dan properti. David juga menekankan pentingnya reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing nasional dan menarik investasi di tengah disrupsi rantai produksi global. Dia member contoh kuatnya konsumsi domestic yang membuat Indonesia tidak terlalu terdampak dari resesi ekonomi global pada 2008 silam.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Riset Centre of Economic Reform (CORE) Pieter Abdullah menyebutkan bahwa ada dua skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020, yakni skenario base line dan skenario optimistis. Secara base line atau jika Indonesia tidak melakukan terobosan apapun untuk merespons perlambatan ekonomi dunia, akan sulit target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah dapat tercapai. “Di sisi lain, apabila pemerintah menerapkan strategi yang tepat, target tersebut sangat mungkin untuk tercapai. Ini skenario optimistis yang akan tercapai,” katanya.
Menurut Pieter, situasi ekonomi global yang diwarnai oleh perang dagang antara Amerika dengan China, Brexit, dan ketegangan geopolitik di negara-negara Timur Tengah masih memberikan peluang. “Peluangnya adalah bank sentral di berbagai negara mengambil respons dengan melonggarkan kebijakan, salah satunya menurunkan suku bunga sehingga ada peluang untuk aliran dana masuk ke Indonesia. Hal ini membuat tekanan rupiah makin berkurang,” ungkapnya.
David Sumual menambahkan bahwa perang dagang Amerika Serikat dan China yang saat ini masih berlangsung, juga mempengaruhi pelemahan kredit perbankan di Indonesia. Menurut Ekonom BCA ini, kebijakan dari Bank Indonesia sudah longgar, hanya memang permintaannya sedikit. “Makanya sekarang ada stimulus, ada kebijakan makro prudensial juga dari Bank Indonesia. Itu dilakukan agar pertumbuhan kita tetap stabil di kisaran angka lima persen tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan bahwa kontribusi dari ekonomi digital, tak dapat diabaikan. Pertumbuhan ekonomi digital yang diperkirakan akan naik pesat hingga 100 miliar dolar AS pada tahun 2025, turut berpengaruh pada prospek ekonomi Indonesia ke depan. “Ekonomi digital jadi penopang, potensinya besar dan tumbuh eksponensial,” katanya.
Penetrasi teknologi dan ponsel pintar telah memunculkan kekuatan baru ekonomi dalam negeri yang bertumpu pada digitalisasi. Riset yang dirilis Google, Temasek, dan Bain menyatakan bahwa Indonesia berkontribusi 40 miliar dolar AS atau Rp567,49 triliun dari total nilai ekonomi digital di Asia Tenggara yang diproyeksikan menembus 100 miliar dolar AS pada 2019. Nilai ekonomi berasal dari lima sektor ekonomi berbasis internet yaitu e-commerce, media daring, ride-hailing, wisata atau travel, dan layanan finansial. Pada 2025, ekonomi digital Indonesia bakal bertumbuh 133 miliar dolar AS.
Menurut David Sumual, industri keuangan tak akan bisa lepas dari pengaruh teknologi digital dan internet yang telah telah mendorong lahirnya beragam Fintech (financial technology). Bagi bank seperti BCA, tentu telah memiliki antisipasi terhadap kehadira Fintech ini. “Kita punya dua pilihan, yang pertama fight dan yang kedua collabs. Trennya, bank-bank nasional dan dunia itu collabs. Sehingga bisa tumbuh bersama-sama,” ungkapnya.
Dia menambahkan bahwa BCA telah menjalin kerja sama dengan beberapa Fintech dan e-commerce, misalnya saja dalam hal top up atau pembayaran. BCA mengembangkan sistem API (Application Programming Interface) yang memungkinkan koneksi sambungan langsung antara sistem Fintech dan sistem bank sehingga proses transaksi menjadi lebih lancar. Transformasi digital yang telah dilakukan BCA seperti internet banking BCA, mobile banking BCA, Flazz BCA, e-wallet Sakuku, hingga solusi perbankan terkini, melalui fitur antara lain VIRA BCA, Webchat BCA, OneKlik BCA, QRku, BCA Keyboard, Buka Rekening Online, dan terakhir WELMA merupakan kiat untuk memberikan preferensi layanan digital yang lebih nyaman dan aman kepada nasabah, khususnya milenial untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Edi
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News