Media Asuransi, JAKARTA – Semua orang sejatinya ingin hidup sejahtera pada masa tuanya. Namun, tak sedikit yang terjebak dalam kesulitan hidup. Bukan hanya tidak memilki cukup uang jelang masa pensiun, tetapi ada yang terlilit hutang. Perilaku boros selagi muda tidak selalu jadi alasan utama. Namun sangat bisa jadi sebagai akibat kurang memahami strategi terbaik dalam mengatur dan mengelola aset keuangan.
Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, memberi beberapa saran. Budi berbagi rumusan pengelolaan alokasi aset investasi yang bertumbuh, seperti properti dan reksa dana saham, agar hidup tajir sebelum tua. Rumusannya adalah “100 dikurang umur” yang telah diterapkan sendiri oleh Budi Hikmat yang dikenal sebagai penggagas “investasi ala Nabi Yusuf”.
Menurut Budi, sebetulnya rumus “100 dikurang umur” sudah lama populer di negara maju. Pada mulanya, rumus itu untuk menjaga agar ketika memasuki usia pensiun, investor dapat menhindari penurunan target total nilai aset sekira terjadi penurunan tajam seperti yang terjadi pada tahun 2008.
|Baca juga: Bahagia di Masa Tua Dengan Dana Pensiun
Mengutip dari laman resmi Bahana TCW, disebutkan bahwa investor dengan demikian disarankan untuk memperbesar alokasi aset yang sifatnya konservatif seperti obligasi negara. Namun karena yield obligasi negara di sana relatif rendah dan sementara harapan usia investor lebih panjang, rumusan itu malah dimodifikasi seperti menjadi “110 dikurang umur”.
Berbeda di Indonesia, ungkap Budi, masyarakat umumnya terbudayakan sebagai penabung, rumus 100–umur mendesak untuk disosialisasikan. “Data menunjukkan deposito tidak memberikan efek pertumbuhan (growth) bagi aset, bahkan kurang memberikan perlindungan terhadap inflasi. Memang bunga deposito pernah sangat tinggi, sekitar 65%, yang terjadi ketika perekonomian Indonesia sedang distabilkan setelah krisis moneter 1998,” jelasnya.
Selama 10 tahun terakhir, rata-rata total imbal hasil aset saham yang diukur berdasarkan capital gain dan dividen atas Indeks Harga Saham Gabungan mencapai 18,9% per tahun. Imbal hasil ini jauh melebihi rata-rata inflasi 4,7% per tahun pada periode yang sama. Laju pertumbuhan aset saham itu memungkinkan investor menggandakan pokok investasi hanya dalam periode empat tahun.
Walau Budi memproyeksikan imbal hasil aset saham menurun pada kisaran 10% per tahun, namun tetap lebih tinggi ketimbang inflasi yang berkisar 3,5% sesuai dengan proyeksi Bank Indonesia.
Lalu bagaimana penerapan rumus 100–umur untuk investor milenial? Budi Hikmat memberikan contoh sebagai berikut:
Seorang milenial bernama Adi berusia 30 tahun memiliki pendapatan Rp10 juta per bulan. Rumus itu menyarankan sekitar 70% total aset Adi dialokasikan dalam bentuk properti melalui fasilitas cicilan KPR dan reksa dana saham yang diakumulasi secara berkala.
|Baca juga: Bahagia di Masa Tua Dengan Dana Pensiun
Namun dalam pembentukannya, Adi perlu menjaga keseimbangan antara konsumsi dan investasi. Bila Adi memilih properti sebagai aset jangka panjang yang akan ditinggali, dia sebaiknya membatasi cicilan KPR maksimum 30% pendapatan atau sekitar tiga juta rupiah. Sementara untuk alokasi investasi reksa dana saham secara berkala, Adi dapat membatasi hanya 2,5% pendapatan seperti yang disarankan oleh David Bach penulis buku laris Automatic Millionaire.
Dengan penguatan karier memungkinkan pendapatan Adi meningkat yang secara otomatis menurunkan rasio cicilan KPR. Kondisi ini memungkinkan Adi meningkatkan alokasi pada reksa dana saham yang relatif lebih likuid dibanding aset properti.
Budi juga menyarankan Adi memiliki aturan ‘ambil untung untuk realokasi antara aset’ berdasar kenyataan sering kali harga aset saham dinilai overvalued. Seperti yang pernah terjadi tahun 2006 dan 2007 yang diwarnai oleh lonjakan imbal hasil aset saham sekitar 50% per tahun.
Adi dapat mengendalikan kerakusan yang mewabah saat itu dengan aksi ambil untung aset saham yang digunakan untuk mengurangi beban cicilan pokok dan bunga KPR. Bahkan dapat digunakan untuk menambah alokasi aset property dengan mengambil KPR baru. Pada kondisi seperti ini Adi lebih leluasa untuk menerapkan aturan ‘100–umur’.
“Pengalaman saya dengan mencermati fundamental perekonomian Indonesia yang didominasi oleh penduduk muda yang senang belanja, lebih baik mengendalikan kerakusan ketimbang menuruti kecemasan dalam berinvestasi,” tegas Budi.
Rumusan alokasi itu memungkinkan mempersiapkan masa pensiun dengan strategi investasi konservatif melalui reksa dana pasar uang dan SBN ritel. Dia menyarankan agar anak muda belajar menyelami manfaat berinvestasi dengan terlebih dahulu mengendalikan tekanan sosial bertingkah konsumtif.
“Kepada anak-anak, saya selalu ingatkan bahwa hidup itu murah. Adalah gengsi yang memuatnya mahal. Mereka harus bisa membedakan antara looking rich dan being rich. Berinvestasi ala Nabi Yusuf pada hakikatnya dilakukan berkala dan bertahap,” tutup Budi.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News