Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menjelaskan bahwa nilai tukar (kurs) merupakan salah satu gambaran tentang fundamental ekonomi negara. Menurut dia, dengan melihat kondisi ekonomi makro Indonesia saat ini seperti pertumbuhan ekonomi yang masih di atas lima persen dan inflasi terjaga di sekitar tiga persen, seharusnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih kuat dibandingkan saat ini di kisaran Rp14.500-an per dolar AS. “Rupiah dengan angka sekarang mungkin masih terlalu murah. Tetapi rupiah tidak sendirian, banyak juga yang melemah karena global. Siapa yang bisa menahan tekanan keluarnya dana asing, kalau ada tekanan dari negara maju,” katanya saat menjadi pembicara dalam diskusi dengan wartawan di Solo, Jawa Tengah, 17 November 2018, yang diikuti Media Asuransi.
Dia jelaskan, untuk menjaga rupiah, BI sendiri sudah sering kali mengambil kebijakan moneter di tahun ini. Suku bunga acuan BI 7-days reverse repo rate di tahun ini sudah naik 175 basis point (bps) atau 1,75 persen dan kini sudah berada di level enam persen. Menurut Dody, keputusan BI menaikkan suku bunga acuan tidak bergantung dengan Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed). “Kalau bicara pre emptive, ahead the curve dan front loading, jangan berpikir bahwa BI berhadap-hadapan dengan The Fed, karena keputusan BI itu data dependence (bergantung kepada data yang ada),” katanya.
Dody memberi contoh, ketika The Fed menaikkan suku bunga acuan pada pertengahan 2018, BI tidak ikut melakukan langkah yang sama karena berdasar data tidak ada urgensi untuk ikut menaikkan suku bunga. Kebijakan itu terbukti tepat karena aliran modal tetap masuk ke Indonesia. Apalagi pada waktu itu pasar keuangan sudah melakukan antisipasi (price in) dengan rencana Fed. “Kenaikan Fed fund rate ini sudah dikalkulasi dan pasar sudah price in. Tidak ada outflow, tapi malah inflow,” ujarnya.
Menurut Dody Budi Waluyo, kebijakan ini diambil untuk mengantisipasi modal keluar dari domestik akibat kenaikan suku bunga kebijakan moneter di pasar global. BI membuat kebijakan terkait suku bunga acuan dengan mempertimbangkan risiko inflasi, pergerakan nilai tukar, serta penilaian terhadap kondisi perekonomian domestik maupun global terkini. Karena itu, ia memastikan pemahaman atas data perekonomian tersebut yang akan digunakan untuk memutuskan kebijakan suku bunga acuan BI 7-days reverse repo rate.
Saat Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada tanggal 14-15 November 2018 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps, yakni dari 5,75 persen menjadi enam persen, dasar pertimbangannya bukan hanya inflasi melainkan sebagai upaya untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Bank Indonesia percaya masuknya dana asing seiring dengan kenaikan suku bunga acuan, dapat menekan CAD.
Pada kuartal ketiga 2018 BI mencatat surplus transaksi modal dan finansial belum cukup untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan. Pada kuartal ketiga 2018, neraca pembayaran Indonesia masih defisit 4,4 miliar dolar AS. “Kita menaikkan suku bunga kemarin karena kita forward looking. Kita melihat transaksi berjalan masih harus dikurangi. Namun tahun ini kami perkirakan CAD terhadap PDB di bawah tiga persen, berarti di kuartal keempat 2018 akan turun,” tuturnya.
Dody Budi Waluyo menambahkan, jika upaya BI membantu menurunkan defisit neraca transaksi redam berjalan ini berhasil, maka nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diyakini akan stabil. Itu karena arus dana asing masuk yang mengurangi defisit neraca transaksi berjalan, berarti juga ada pasokan valas ke dalam negeri. Dengan demikian, jika nilai tukar stabil, maka tugas utama BI untuk jaga inflasi dan nilai tukar dapat tercapai.
Walau demikian, bank sentral menyadari bahwa kenaikan suku bunga terus-menerus biasanya menekan laju pertumbuhan ekonomi. Namun, BI yakin kebijakannya tak akan membuat pertumbuhan ekonomi tahun ini meleset dari target. “Pertumbuhan ekonomi cukup kuat. Kita melihat jadi meski suku bunga naik 150 basis poin ditambah kemarin 0,25 persen, ekonomi kita masih bisa tumbuh lima persen. Proyeksi kita, sampai akhir tahun bisa 5,2 persen,” jelas Dody. Dia tambahkan, sinyal masih kuatnya pertumbuhan ekonomi terlihat dari masih kuatnya konsumsi dan investasi di tanah air. BI menilai pertumbuhan konsumsi domestik tahun ini masih dapat mencapai enam persen.
Untuk bulan Desember mendatang, menurut kata Dody Budi Waluyo, BI akan kembali mempertimbangkan kondisi-kondisi yang ada. Jika kondisinya sama yang membuat BI harus menaikkan suku bunga acuan kemarin, maka tidak menutup kemungkinan suku bunga acuan kembali dinaikkan. “Bulan depan kita buka assessment itu, tapi apakah akan menaikkan kita lihat nanti. Bisa saja enggak, karena cukup untuk bulan ini. Memang ambigu, saya nggak bilang tidak akan menaikkan atau menaikkan bulan depan,” ujarnya. Edi
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News