Media Asuransi – Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari Selasa, 13 Juli 2021, diperkirakan akan bergerak pada range level support 6.050 dan level resistance 6.100 setelah berhasil menguat ke level 6.078 pada perdagangan kemarin.
Regina Fawziah, Equity Research Analyst PT Erdikha Elit Sekuritas, memaparkan bahwa IHSG pada perdagangan Senin, 12 Juli 2021, ditutup menguat pada level 6.078 (0,64%). IHSG ditopang oleh sektor Healthcare (3,29%), Consumer Non-Cyclical (1,511%), Financials (1,411%), Industrials (0,134%), kendati dibebani oleh sektor Infrastructures (-0,008%), Energy (-0,136%), Basic Materials (-0,319%), Properties & Real Estate (-0,575%), Consumer Cyclicals (-0,857%), Transportation & Logistic (-1,691%), Technology (-2,251%) yang mengalami pelemahan walaupun tidak signifikan.
Lebih lanjut, Regina menjelaskan, ada beberapa faktor yang membuat IHSG cukup menguat pada hari Senin lalu, di antaranya yakni kenaikan dari angka sembuh karena Covid-19 yang perhari minggu kemarin terus meningkat hingga 32.615 sehingga menjadikan angka total kesembuhan dari Covid-19 sebanyak 2.084.724 orang. Ini adalah rekor kasus kesembuhan harian karena sebelumnya rekor tertinggi tercatat pada angka 28.561 pasien pada 10 Juli kemarin.
|Baca juga: MNC Sekuritas: 4 Saham Menu Trading 13 Juli 2021
Meskipun demikian, angka kasus baru Covid-19 secara harian pun juga masih turut mengalami kenaikan. Saat ini tengah masuk ke pekan kedua PPKM Darurat yang diberlakukan oleh pemerintah. Pemerintah memiliki target bahwa untuk kasus harian Covid-19 ini setelah pemberlakukan PPKM Darurat dilaksanakan bisa menurun hingga di bawah angka 10.000 per harinya.
“Target ini kalau kita lihat memang masih terlampau jauh karena per hari minggu kemarin kenaikan kasunya masih di kisaran 36.197 (total kasus Covid-19 di Indonesia 2.527.203 kasus terkonfirmasi). Apabila hingga akhir pemberlakuan PPKM Darurat ini masih juga mengalami kenaikan maka menurut kami ada potensi terjadinya perpanjangan PPKM Darurat dengan periode yang sama atau bahkan lebih lama.”
Menurutnya, dampak dari kebijakan PPKM Darurat saat ini mungkin tidak begitu signifikan terhadap fluktuasi pasar baik saham, obligasi ataupun instrumen lainnya termasuk fluktuasi nilai mata uang Rupiah. Namun, apabila terjadi perpanjangan periode PPKM Darurat yang diberlakukan oleh pemerintah dan dengan jangka waktu yang lebih lama maka hal tersebut dapat sedikit banyak mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III dan fluktuasi indeks domestik.
Beberapa waktu lalu The Fed telah menjelaskan bahwa bank sentral saat ini sudah mulai membicarakan terkait kebijakan moneter namun belum ada potensi untuk diubah dalam waktu dekat ini melainkan minimal tahun depan 2022 ataupun selambat-lambatnya sebelum tahun 2023 yakni disesuaikan kembali dengan kondisi yang ada baik secara domestik AS dan globalnya.
|Baca juga: Reliance Sekuritas: IHSG Mencoba Menguat
“Namun, kalau kita melihat secara keseluruhan dari beberapa data ekonomi AS seperti PMI Manufactur yang sudah ekspansi hingga 62,10, cenderung meningkat jika dibandingkan dengan tahun lalu yang sempat menyentuh level terendahnya yakni 36,10 (terkontraksi cukup dalam) pada April 2020, kemudian untuk tingkat pengangguran di AS juga cenderung sudah menurun hingga 5,9% yang sebelumnya tahun lalu sempat menyentuh kenaikan angka pengangguran hingga 14,8%.”
Kenaikan dari lapangan pekerjaan di AS ini pada bulan Juli sebesar 850.000 dengan sektor penyumbang kenaikan atau recovery terbanyak yakni dari rekreasi dan perhotelan (343.000) karena pembatasan terkait pandemi terus mereda di beberapa bagian negara, pendidikan negeri (230.000) dan swasta (39.000); layanan profesional dan bisnis (72.000); perdagangan eceran (67.000) dan jasa lainnya (56.000). “Dengan adanya beberapa data tersebut maka menurut kami perubahan kebijakan moneter oleh bank sentral The Fed bisa saja berpotensi terjadi pada tahun depan 2022,” jelas Regina.
Selain dari AS, dari domestik saat ini Bank Indonesia telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semula 4,1%-5,1% untuk tahun ini, diturunkan menjadi 3,8% dengan asumsi pembatasan virus bertahan selama sebulan dan menyebabkan mobilitas dan konsumsi berkurang. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa PPKM Mikro Darurat yang saat ini tengah berlangsung bisa saja berpotensi diperpanjang apabila kenaikan kasus Covid-19 masih meningkat dan oleh karenanya akan berpengaruh juga nantinya terhadap aktivitas ekonomi yang ada, meskipun tidak sedalam tahun lalu hingga terkontraksi cukup dalam.
“Dengan demikian, kebijakan moneter oleh bank Indonesia terkait suku bunga menurut kami sama halnya dengan bank sentral The Fed yakni baru ada potensi perubahan minimal tahun 2022 dengan asumsi kurva kasus Covid-19 mulai kembali melandai dan tidak ada lagi pembatasan sosial yang diberlakukan oleh pemerintah terkait kasus Covid-19.”
Kenaikan indeks yang terjadi pada hari Senin juga disebabkan oleh akumulasi beli asing yang cukup besar terhadap saham-saham big caps seperti ICBP, BBCA, INCO, UNVR, ASII, serta BBNI. Meskipun kalau kita lihat beberapa saham dari net foreign buy asing tersebut secara teknikal trennya masih cenderung downtrend, tetapi secara fundamental memang beberapa saham tersebut tergolong baik sehingga wajar apabila ketika harganya mengalami penurunan asing melakukan akumulasi beli yang cukup besar.
Selain itu, hari Senin juga telah rilis data terkait penjualan eceran Indonesia selama bulan Mei yang meningkat hingga 14,7%. Kenaikan tersebut didorong oleh kenaikan yang cukup signifikan pada beberapa komponennya meliputi penjualan suku cadang & aksesori otomotif terus meningkat (39,6% vs 8,1%), bahan bakar (53,5% vs 37,3%) dan barang budaya & rekreasi (8,4% vs 7,8%).
“Dari beberapa kenaikan tersebut kita dapat melihat bahwa dari sisi aktivitas ekonomi pada bulan Mei Indonesia mengalami perbaikan yang ditandai oleh meningkatnya komponen penjualan eceran pada bahan bakar. Sedangkan penjualan turun lebih jauh untuk peralatan informasi & komunikasi (-28,6% vs -31,1% pada April), peralatan rumah tangga (-7,4% vs -10,8%).”
Kemudian untuk hari Selasa, 13 Juli 2021, ada beberapa indikator ekonomi yang perlu diperhatikan oleh para pelaku pasar meliputi neraca perdagangan China bulan Juni yang diproyeksikan akan mengalami sedikit penurunan yakni US$40 miliar dari US$45,53 miliar, kemudian ekspor China yang diproyeksikan menurun juga yakni sebesar 24% dari sebelumnya 27,9%, dan impor China dari 51,1% diproyeksikan sebesar 32%.
Selanjutnya dari Jerman akan rilis terkait angka inflasi yang mana sebelumnya tumbuh 2,5% diproyeksikan berdasarkan konsesnsus Trading economic akan turun menjadi 2,3% (yoy). Kemudian dari AS juga akan rilis data terkait inflasi secara tahunan dan bulanan yang masing masing diproyeksikan cenderung menurun tipis dari sebelumnya yakni 4,9% yoy (VS 5,0%) dan 0,4% mom (VS 0,7%). Aca
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News