1
1

Erupsi Semeru Mengingatkan Pentingnya Asuransi untuk Transfer Risiko Bencana Alam

Media Asuransi, JAKARTA – Bencana datang tanpa disangka-sangka. Ungkapan ini rasanya tepat menggambarkan peristiwa erupsi gunung Semeru yang terjadi pada Sabtu sore 4 Desember 2021 yang datang secara tiba-tiba tanpa memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar untuk mempersiapkan diri.

Tak hanya menelan korban jiwa, erupsi gunung Semeru di Lumajang Jawa Timur ini pun menyebabkan kerugian materiil berupa rusaknya pemukiman warga dan fasilitas infrastruktur.

Kerusakan atau kerugian materiil ini tentu semakin menambah beban finansial korban erupsi gunung Semeru karena mereka memerlukan biaya untuk membangun kembali rumah atau properti mereka yang rusak.

Risiko bencana alam sebenarnya merupakan salah satu risiko yang bisa ditransfer ke pihak lain dalam hal ini perusahaan asuransi. Pasalnya, risiko bencana merupakan risiko yang ditanggung oleh asuransi sebagaimana diatur dalam Polis Standar Asuransi Gempa Bumi Indonesia (PSAGBI).

Oleh karena itu, bagi masyarakat yang tinggal di daerah atau wilayah yang rawan terjadi bencana, penting untuk mentransfer atas risiko kerusakan, kerugian, bahkan risiko kematian kepada pihak lain dalam hal ini perusahaan asuransi.

|Baca juga: Urgent, Memasukkan Asuransi dalam Revisi UU Kebencanaan

Hal yang sama juga bisa dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan aset dan fasilitas infrastruktur di daerah-daerah yang rawan terjadi bencana alam.

Chartered Insurance Institute (CII) Ambassador Russel Effandy menjelaskan bahwa kerugian akibat letusan gunung berapi dapat dijamin asuransi bila diperluas dengan PSAGBI.

“Yang dijamin adalah kerugian atau kerusakan harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara langsung disebabkan oleh bahaya seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, kebakaran dan ledakan yang mengikuti terjadinya gempa bumi dan atau letusan gunung berapi, serta tsunami,” jelasnya, Selasa 7 Desember 2021.

Adapun risiko hilangnya potensi pendapatan akibat bencana alam, jelasnya, tidak bisa ditanggung oleh asuransi sesuai dengan pasal 2.2.1 PSAGBI dimana gangguan usaha atau segala macam kerugian konsekuensial dalam bentuk apapun tidak dijamin asuransi.

Di industri perasuransian Tanah Air, pertanggungan atas risiko kerugian akibat bencana alam umumnya merupakan bagian dari perluasan manfaat yang dibundel dengan produk asuransi umum seperti asuransi properti, asuransi harta benda, asuransi kendaraan bermotor, asuransi rekayasa, asuransi pengangkutan barang, asuransi peralatan elektronik, dan lainnya.

 

Strategi PARB

Terkait dengan risiko akibat bencana ini, pemerintah juga sudah melakukan mitigasi dan transfer risiko melalui strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI).

Upaya ini dilakukan mengingat besarnya alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mencatat selama periode 2005-2017, pemerintah rata-rata mengalokasikan dana cadangan bencana sebesar Rp3,1 triliun. Akan tetapi, rata-rata kerugian ekonomi langsung per tahun akibat bencana pada periode 2000-2017 adalah sebesar Rp22,8 triliun. Artinya, terdapat gap pembiayaan sebesar Rp19,75 triliun atau 78 persen.

Prioritas Pemerintah dalam Strategi PARB adalah: (1) Perlindungan terhadap Barang Milik Negara (BMN) dan Barang Milik Daerah (BMD); (2) Perlindungan terhadap rumah tangga dan masyarakat yang terkena dampak bencana, khususnya kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah: (3) Pemulihan kehidupan sosial dan masyarakat yang terkena dampak bencana; (4) Penguatan peran pemerintah daerah (pemda), swasta dan masyarakat dalam pembiayaan risiko bencana; (5) Pemberdayaan industri asuransi dalam negeri; dan (6) Perlindungan terhadap keuangan negara.

|Baca juga: Kerawanan Bencana Alam dan Perlunya Asuransi

Pemerintah menerapkan lima prinsip utama, yaitu: (1) sinergi/kolaborasi Pemerintah Pusat, pemerintah daerah (pemda), swasta, dan masyarakat dalam pembiayaan risiko bencana; (2) layering risiko dan bauran kebijakan/instrumen; (3) ketepatan waktu dan besaran dana; (4) ketepatan pilihan mekanisme penyaluran dana; dan (5) data dan informasi yang akurat.

Strategi PARB terdiri atas lima strategi utama, yaitu: pertama, Pemerintah mengkombinasikan instrumen pembiayaan untuk mendapatkan skema pembiayaan yang efisien dan efektif.

Kedua, Pemerintah menanggung atau menyerap risiko melalui pembiayaan APBN dan/atau APBD untuk bencana yang sering terjadi dan atau berdampak kerugian kecil.

Ketiga, Pemerintah menggunakan instrumen pembiayaan kontijensi sebagai komplementer APBN dalam menanggung risiko bencana dengan dampak kerugian sedang sampai dengan tinggi.

Keempat, Pemerintah membangun skema pooling fund untuk memperkuat peran APBN. Kelima, Pemerintah memindahkan (transfer) risiko melalui asuransi untuk pembiayaan bencana yang jarang terjadi namun memberikan dampak kerugian besar.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Cadangan Devisa November 2021 Naik Tipis Jadi US$145,9 Miliar
Next Post Fitch Pertegas Peringkat Bank BCA (BBCA) BBB-/AA+ Stabil

Member Login

or